Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tercekik Harga, Lalu Impor

Terlambatnya pasokan bawang putih impor memicu kenaikan harga. Kementerian Perdagangan tak kunjung mengeluarkan persetujuan impor untuk Bulog.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Suwandi gencar menerbitkan rekomendasi impor produk hortikultura untuk mendatangkan bawang putih. Pada Senin, 13 Mei lalu, surat rekomendasi keluar bagi dua perusahaan untuk mengimpor bawang putih sekitar 30 ribu ton. Esoknya, surat serupa disiapkan bagi satu perusahaan. Ia juga telah memberikan rekomendasi kepada delapan perusahaan pada akhir Maret lalu, diikuti sebelas perusahaan pada April.

“Sudah terbit untuk 21 perusahaan. Hari ini mungkin keluar satu lagi,” katanya di Jakarta, Selasa, 14 Mei lalu. Dengan demikian, menurut kalkulasi Suwandi, jumlah rekomendasi pengadaan bawang putih dari luar negeri telah mencapai 285 ribu ton. Angka itu setara dengan pasokan untuk memenuhi kebutuhan domestik selama lebih dari enam setengah bulan. Saat ini kebutuhan konsumsi dalam negeri rata-rata hanya 42 ribu ton per bulan.

Kementerian Perdagangan lalu menindaklanjuti surat rekomendasi itu dengan menerbitkan surat persetujuan impor. Rombongan surat rekomendasi kloter pertama yang terbit Maret baru mendapat persetujuan tiga pekan kemudian. Padahal mekanisme perizinan telah menggunakan sistem online.

Tapi, setelah itu, surat penerbitan impor keluar berturut-turut meski volumenya berbeda dengan usul dalam rekomendasi. Untuk kloter pertama, misalnya, Kementerian Perdagangan menyetujui impor 115 ribu ton dari yang diajukan sebanyak 120 ribu ton. Adapun dari 145 ribu ton yang direkomendasikan pada tahap kedua, izin diberikan hanya untuk 125 ribu ton.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih mengatakan izin impor bawang putih diberikan untuk menambah pasokan selama Ramadan dan Lebaran. “Biasanya ada kenaikan permintaan 10-20 persen,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Pengendalian Harga Pangan” di Jakarta, awal pekan lalu.

Izin impor bawang putih itu dikeluarkan di tengah kegaduhan masyarakat akibat kenaikan harga. Komoditas yang biasanya dihargai Rp 25 ribu per kilogram ini mendadak melambung. Harganya bahkan menembus Rp 100 ribu per kilogram di tingkat eceran, antara lain di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bangka Belitung.

Pada tahun-tahun sebelumnya, izin impor diterbitkan pada Januari atau Februari. Izin bahkan pernah dikeluarkan pada Desember untuk pengadaan tahun berikutnya. Tahun ini, pasokan bawang putih impor baru masuk pada 8 Mei lalu. Itu pun hanya 8.600 ton.

Menurut mantan Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, lonjakan harga seperti itu kerap terjadi akibat impor yang terlambat. Padahal 95 persen pasokan bawang putih domestik selama ini dipenuhi dari luar negeri. Karena itu, ia mengingatkan pemerintah agar antisipatif mengelola impor. “Jangan mengimpor saat sudah terjadi lonjakan harga,” kata Bayu, yang juga pernah menjabat Wakil Menteri Pertanian, di Jakarta, 4 April lalu.

Kementerian Pertanian beralasan kebijakan baru importasi bawang menyebabkan impor terlambat. Pemerintah mewajibkan importir menanam bawang 5 persen dari rekomendasi impor yang diperoleh. Menurut Suwandi, importir sibuk menyiapkan ladang bawang pada awal tahun. Adapun Kementerian Perdagangan mengatakan izin impor diberikan bila dokumen yang diajukan komplet, termasuk surat rekomendasi dari Kementerian Pertanian.

Di tengah lonjakan harga itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengumpulkan para importir bawang putih pertengahan April lalu. Ia meminta mereka membuka gudang. Pengusaha diperintahkan mengeluarkan stok untuk membanjiri pasar melalui program operasi pasar pemerintah.

Dalam operasi di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, misalnya, Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan importir PT Mahkota Abadi Prima Jaya. Bawang putih dijual Rp 25 per kilogram. Tapi pembelian dibatasi: satu karung per pedagang. Operasi pasar serupa digelar Kementerian Pertanian, juga bekerja sama dengan importir.

Kementerian Perdagangan pun meminta toko retail modern melepas bawang putih seharga Rp 35 ribu per kilogram. Pemerintah menggelontorkan 500 ton bawang putih impor ke toko retail modern. Pasokan akan ditambah pada Juni nanti untuk menghadapi Lebaran.

ALARM kenaikan harga bawang putih sebenarnya telah menyala sejak Maret lalu. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional menunjukkan tren peningkatan harga sejak awal Maret. Harga yang semula sekitar Rp 19 ribu per kilogram merangkak menjadi hampir Rp 26 ribu pada akhir bulan. Di beberapa daerah, harga eceran mencapai Rp 40 ribu.

Karena itu, rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian, 18 Maret lalu, menugasi Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik mengimpor bawang putih sebanyak 100 ribu ton untuk menstabilkan harga. Penugasan diberikan tanpa disertai kewajiban menanam sebanyak 5 persen. Pemerintah berharap Bulog bisa menurunkan kembali harga ke level semula, yakni sekitar Rp 25 ribu.

Peringatan juga datang dari Badan Pusat Statistik. Lembaga itu menyebutkan kenaikan harga bawang putih, ditambah lonjakan harga tiket pesawat, telah mengerek angka inflasi Maret 2019 menjadi 0,11 persen.

Masalahnya, Kementerian Perdagangan tak kunjung menindaklanjuti keputusan rapat dengan menerbitkan surat penugasan kepada Bulog melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Semestinya surat itu menjadi acuan bagi Kementerian BUMN untuk memerintahkan Bulog. “Prosesnya harus dari Menteri Perdagangan dulu,” kata Direktur Pengadaan Bulog Bachtiar Utomo kepada Tempo, Rabu, 15 Mei lalu.

Menurut Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro, kementeriannya tak mungkin menerbitkan surat penugas-an tanpa persetujuan dari Kementerian Perdagangan. “Percuma ditugasi tapi tidak mendapat izin impor.”

Polemik penugasan impor bawang putih kepada Bulog itu menjadi babak baru perseteruan antara Direktur Utama Bulog Budi Waseso dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Pada September 2018, mereka berseteru mengenai penugasan impor beras sebanyak 2 juta ton. Saat itu, Bulog sulit menyimpan beras sehingga harus mengeluarkan dana untuk menyewa gudang. Ia pun meminta bantuan Kementerian Perdagangan. Menurut Enggar, urusan menyimpan beras merupakan tugas Bulog, bukan Kementerian Perdagangan. Buwas—panggilan Budi Waseso—naik pitam.

Gara-gara persetujuan impor bawang putih tidak kunjung diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan, Buwas menyebut Enggar kurang waras. Ia menyampaikan pernyataan itu dalam forum pertemuan dengan sejumlah pemimpin media, Selasa, 14 Mei lalu.

Esoknya, Buwas mencurahkan kekesalannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Pertanian DPR, ia mengeluhkan tidak terbitnya surat persetujuan Menteri Perdagangan. Siangnya, keluhan serupa ia tumpahkan di ruang rapat Komisi BUMN DPR.

Karena tak ada surat itulah Bulog tak bisa mengurus rekomendasi impor ke Kementerian Pertanian. Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Suwandi memastikan, hingga pekan lalu, belum ada usul dari Bulog. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan sebelumnya mengatakan Kementerian Perdagangan belum menerima rekomendasi impor Bulog.

Kementerian Pertanian merancang target swasembada bawang putih pada 2021. Pemerintah membutuhkan 73 ribu hektare lahan. Sebanyak 60 ribu hektare- digunakan untuk menghasilkan bawang konsumsi, sementara sisanya guna memproduksi benih. Pemerintah berharap pada petani bawang dan investor di sektor ini, juga pada kewajiban importir menanam bawang 5 persen dari kuota impor.

Salah satu yang memenuhi kewajiban tanam adalah PT Tjipinang Food Station. Badan usaha milik daerah DKI Jakarta ini menanam di lahan seluas 170 hektare.- Perusahaan yang mengantongi kuota impor 10 ribu ton pada 2018 itu bermitra dengan petani bawang putih antara lain di Temanggung, Jawa Tengah; dan Kerinci, Jambi. Tahun ini, perusahaan mengajukan permohonan impor sebanyak 20 ribu ton. “Sudah terbit rekomendasi impor kami tiga hari lalu,” tutur Direktur Utama Tjipinang Food Station Arief Prasetyo, Kamis, 16 Mei lalu.

RETNO SULISTYOWATI, DIAS PRASONGKO, FAJAR PEBRIANTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus