Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah itu, dengan alasan misi utama Bank Dunia adalah mengentaskan kemiskinan di bumi, ayah tiga anak ini mengampanyekan dukungan bagi timbulnya pemerintahan yang baik dan benar (good governance). "Sebab, pertumbuhan ekonomi saja, tanpa diiringi good governance, tak akan mampu mengentaskan kemiskinan," katanya. Belakangan, alasan untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa ini dipakai sebagai dalih untuk pendanaan program antikorupsi dan pemberdayaan masyarakat, termasuk pers dan wanita. "Sebab, tanpa pers yang bebas, tak mungkin tumbuh pemerintahan yang bersih, dan tanpa pemberdayaan separuh penduduk bumi, tak mungkin kemiskinan dientaskan."
Sikapnya ini tentu membuat sejumlah negara anggota Bank Dunia gusar. Namun, kelihatannya lebih banyak yang mendukung. Terbukti, penggagas slogan "pembangunan berwajah manusia" ini terpilih untuk menduduki masa jabatan kedua, yang akan berakhir pada 2005.
Pemegang gelar M.B.A. dari Universitas Harvard ini berkunjung ke Indonesia pekan lalu dan memberikan kesempatan wawancara kepada Bambang Harymurti dari TEMPO dalam perjalanan dengan kereta api ke Bandung. Petikannya:
Anda dikenal sebagai tokoh yang membuat perubahan drastis di Bank Dunia. Anda memperkenalkan istilah "pembangunan yang manusiawi". Apa dampak perubahan ini bagi Indonesia?
Saya kira yang dapat dikatakan adalah telah terjadi perubahan yang progresif di Bank Dunia dalam lima tahun belakangan ini. Semua perubahan itu bertumpu pada upaya pengentasan kemiskinan karena hal ini merupakan alasan utama mengapa Bank Dunia didirikan.
Kalau kita berbicara apa arti perubahan ini bagi Indonesia, saya kira yang pertama dikatakan adalah bahwa sekarang dimungkinkan menghasilkan dampak yang berbeda dari sebelumnya. Adalah tidak mudah untuk melaksanakan program terbuka yang kami inginkan di masa lalu. Tapi pemerintah Indonesia sekarang sangat berbeda. Sangat terasa adanya hasrat untuk lebih transparan, lebih terbuka, lebih banyak mendengar. Pemerintahan yang lebih terbuka. Kami sangat menghargai perubahan ini.
Tapi bukankah ini berarti tidak efisien karena di masa lalu Anda cukup sepakat dengan satu orang dan sekarang harus membuat konsensus dengan banyak pihak yang bertentangan sebelum mulai bekerja?
Menurut pendapat saya, justru malah lebih efisien dan lebih efektif.
Jika tujuannya adalah membuat masyarakat melakukan pembangunannya dengan benar, cara sekarang justru lebih efisien.
Saya pikir Anda akan membuat keputusan yang lebih baik jika mau banyak mendengar. Setidaknya begitulah pengalaman kami di Bank Dunia. Anda tentu harus mempunyai kerangka pengambilan keputusan agar jadwal dapat ditepati. Namun, ketika proses pengambilan keputusan itu sedang berlangsung, ada dua pilihan yang dapat diambil: tinggal di kantor dan berkonsultasi dengan masyarakat atau pergi ke kediaman masyarakat dan berkonsultasi dengan mereka. Jelas cara menghampiri masyarakat itu akan lebih baik. Tentu saja kita tak bisa sepakat dengan semua orang, dan pengambilan keputusan yang dianggap terbaik harus dilakukan, tapi secara teoretis seharusnya ini dilakukan oleh pemimpin lokal. Itu sebabnya pemimpin pemerintah dipilih oleh masyarakat. Dalam hal ini, Indonesia tidak berbeda dengan negara lain.
Jadi, "pembangunan berwajah manusia" itu maksudnya membuat Bank Dunia seperti manusia juga, yakni mempunyai dua telinga dan hanya satu mulut?
Ya, dua telinga dan satu mulut. Juga kadang-kadang kami benar, kadang-kadang kami keliru, seperti manusia biasa. Sebelumnya, kami cenderung merasa yang paling benar. Saya kira sikap itu keliru dan tidak akan pernah dapat dibenarkan.
Jadi, apa yang menyebabkan perubahan ini? Karena sebelumnya pejabat Bank Dunia dilarang berbicara dengan pers ataupun anggota parlemen?
Ketika masuk Bank Dunia, saya melakukan kajian dan berpendapat semua kegagalan proyek yang terjadi umumnya disebabkan oleh kurangnya dukungan lokal. Saya segera sadar bahwa (saat itu) Bank Dunia bersikap arogan, merasa yang paling tahu, dan mengisolasi diri dari keadaan di lapangan serta cuma mendengarkan (kantor pusat di) Washington. Setidaknya itulah kesan yang muncul.
Jadi seperti kolonial baru?
Ha-ha-ha . Itu memang benar. Setidaknya itulah yang dikatakan orang.Namun, saya percaya, orang-orang Bank Dunia tidak bangun pagi dan langsung berpikir, "Bagaimana caranya menguasai dunia?" Mereka ingin membuat perubahan di dunia. Karena itu, wajar kalau saya mengajak mereka, "Mari melakukannya dengan cara yang berbeda." Kami sadar bahwa dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengubah budaya yang ada, seperti Indonesia yang juga membutuhkan waktu untuk mengubah budayanya. Saya percaya, kami sedang berada dalam sebuah proses perubahan itu dan tujuan akhirnya belum tercapai karena Bank Dunia adalah sebuah institusi yang kompleks.
Bertahun-tahun yang lalu, ada orang yang bersikap seperti Anda. Namanya Meneer Pronk. Akibatnya, ia dimusuhi pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur urusan politik dalam negeri. Anda tidak khawatir akan mengalami nasib yang sama?
Saya tidak ingin memberikan pendapat soal Meneer Pronk. Tapi saya merasa senang melakukan apa yang saya lakukan sekarang. Saya pikir Pronk tidak secara sengaja turut campur dalam urusan politik dalam negeri Indonesia. Saya kira tudingan itu datang dari politisi lokal.
Apa yang harus kami lakukan adalah mendengarkan aspirasi masyarakat. Memang pemerintah adalah institusi yang menjadi nasabah Bank Dunia, tapi semakin banyak pemerintah yang mendorong terjadinya konsultasi dan diskusi dalam masyarakatnya. Ketika saya datang ke sebuah negara dan pemerintahnya tak mengizinkan saya bertemu dengan siapa pun, tak ada yang dapat saya lakukan. Tapi semakin banyak negaratermasuk negara Andaberpendapat bahwa ini adalah soal kebijakan umum. Anda menginginkan penyebaran wewenang dan tanggung jawab ke masyarakat luas.
Jadi, yang kami lakukan bukanlah turut campur atau mengganggu pemerintahan terpilih Anda. Tapi semakin banyak negara yang berkesimpulandan saya pikir ini benarbahwa mendengarkan suara rakyat dan menyertakan mereka dalam perencanaan program pembangunan yang ditujukan bagi mereka akan menghasilkan proyek pembangunan yang lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan yang dipaksakan dari atas.
Itu sebabnya saya datang mengunjungi masyarakat di Bandung. Saya ingin mengetahui reaksi mereka. Sebenarnya, saya dapat membaca laporan mengenai hal ini di Jakarta, tapi akan lebih menyenangkan mendengar dan berbicara langsung dengan mereka.
Jadi, Anda percaya berada di lapangan langsung jauh lebih baik?
Dalam setiap kunjungan kerja, saya menggunakan 50 persen waktu saya untuk berada di lapangan. Istri saya, Ellaine, menggunakan 75 persen waktunya di lapangan. Ini bukan Hollywood, Bung. Ini adalah cara bekerja seharusnya.
Di lapangan, banyak orang akan mengatakan kepada Anda bahwa mereka membutuhkan minyak murah, makanan murah, dan segala macam bentuk subsidi lain bagi kaum miskin. Bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?
Saya kira saya akan meletakkannya dalam kerangka ekonomi yang masuk akal.
Saya berpendapat program sosial tidak bertentangan dengan prinsip ekonomi. Perihal, air bersih gratis dan komoditi umum lainnya sudah banyak dibahas dan diterima dalam prinsip ekonomi pasar. Tujuan kami memang menciptakan program pembangunan ekonomi yang ramah sosial. Ini membutuhkan waktu.
Jadi, Anda tidak merasa alergi dengan subsidi?
Saya merasa alergi dengan subsidi. Saya percaya, jika kebijakan yang mendistorsi pasar dilakukan, itu secara jangka panjang akan merugikan masyarakat. Saya tidak percaya bahwa memberikan banyak hal secara gratis akan mengentaskan kemiskinan. Saya pikir yang dibutuhkan kaum papa bukanlah pemberian atas dasar belas kasihan.
Tapi saat ini banyak subsidi dinikmati kaum miskin di Indonesia. Anda ingin menghapusnya begitu saja?
Anda dapat melakukannya secara bertahap. Subsidi hanyalah satu bagian dari upaya mengentaskan kemiskinan. Bagian yang paling penting adalah memberikan peluang mencari nafkah karena hal ini akan meningkatkan harkat dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Orang miskin tidak berharap sumbangan atas dasar belas kasihan. Kami telah melakukan studi terhadap 60 ribu orang di 60 negara dan secara tegas mereka menyatakan bahwa yang mereka inginkan adalah kemampuan untuk hidup bersama keluarga, mereka ingin kemerdekaan dari rasa takut, dan mereka mengharapkan suaranya didengar. Uang hanyalah satu aspek dari kemiskinan. Apa yang mereka inginkan adalah apa yang kita semua inginkan: kesempatan mencari nafkah yang memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Subsidi mendistorsi pasar. Contohnya, kalau Anda mendapat air gratis, itu bagus. Tapi, jika akibatnya kemudian pemakaian air menjadi boros dan 20 tahun kemudian semua orang kehabisan air, bagaimana? Maka, salah satu cara pengalokasian air adalah melalui struktur harga, tapi ini tak dapat dibuat dalam semalam. Jadi, perlu dibentuk program untuk mendukung masyarakat memberdayakan diri mereka sehingga suatu saat tak keberatan membayar harga air yang normal.
Bagaimana dengan kebijakan subsidi silang seperti yang dilakukan PLN?
Ini adalah salah satu perkembangan dalam kebijakan subsidi dan baik saja untuk sebuah kebijakan transisi. Tapi masalah utama dalam kebanyakan kegiatan listrik bukanlah soal subsidi, melainkan rugi-rugi daya di jaringan transmisi. Anda bisa kehilangan 40 persen listrik di jaringan ini.
Jadi, pada prinsipnya, Anda mengatakan sekarang Bank Dunia menginternalisasi biaya sosial, biaya lingkungan, dan biaya politik dalam mempertimbangkan proyek yang dibantu?
Ini keyakinan saya dan saya kira Anda melihat banyak bukti tentang hal ini di Bank Dunia. Sekarang terdapat persepsi yang berbeda, yang lebih manusiawi. Ketika saya baru kembali dari kunjungan kerja pertama saya, seseorang bertanya, "Bagaimana Anda tahu di sebuah desa proyeknya sukses atau tidak?" Dengan naif saya menjawab, "Dengan melihat senyum di wajah anak-anak di desa itu. Sebab, dengan cara itu, dapat diketahui apakah proyek di desa itu berjalan baik atau tidak."
Tapi, di Indonesia, kebanyakan orang tersenyum biarpun lapar.
Well, kalau begitu, indikator ini mungkin kurang cocok diterapkan di Indonesia. Ha-ha-ha .
Jadi, sekarang Bank Dunia tak hanya berpikir untuk menumbuhkan modal ekonomi, tapi juga modal sosial?
Jelas. Lihat saja pada setiap pidato yang saya berikan di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo