PROF. Saleh Afiff tengah sibuk berkemas-kemas ketika TEMPO menemuinya selepas salat Jumat pekan lalu di kantornya, Jalan Taman Suropati 4, Jakarta. Maklum~ Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional ini sudah harus terbang ke Negeri Belanda esok sorenya, untuk berjoang di sidang dua hari IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) di Den Haag, yang dimulai Selasa pekan ini. Afiff akan bergabung dengan Menko Ekuin Radius Prawiro, Ketua Tim IGGI dari Indonesia, yang sebelum bertolak ke ibu kota Negeri Belanda itu akan singgah lebih dulu ke Tokyo. Tim seluruhnya terdiri atas 10 orang, tentu termasuk Gubernur Bank~ Central Adrianus Mooy. Sidang IGGI kali ini tampaknya berbeda dengan sidang-sidang sebelumnya. Masalah yang diperdebatkan tak berhenti pada menyetujui saran dari Bank Dunia, yang, dalam laporan khusus tentang Indonesia tanggal 2 Mei 1988, menyarankan pemberian pinjaman berjangka panjang US$ 3,6 milyar. Tapi yang akan menjadi pembahasan utama juga menyangkut upaya meringankan beban utang Indonesia yang membengkak akibat merosotnya nilai dolar. Menteri Saleh Afiff, menerima Budiono Darsono dan Max Wangkar dari TEMPO untuk kedua kalinya Sabtu lalu, beberapa jam sebelum dia berangkat ke Bandar Udara Soekarno-Hatta. "Perundingan kali ini akan berjalan lebih sulit. Sebab, yang terutama kita butuhkan sekarang bukan hanya bantuan devisa, tapi juga bantuan rupiah. Itulah yang disebut special assistance loan oleh Bank Dunia." Apa bedanya dengan pinjaman lunak yang biasa kita peroleh? Special assistance loan itu tetap merupakan pinjaman lunak. Kelebihannya, pinjaman khusus itu bisa segera ditarik, dan dimanfaatkan untuk mengamankan neraca pembayaran. Jangka penarikannya berapa lama? Dalam satu tahun, begitu kontraknya ditandatangani. Sedang bantuan proyek atau bantuan program baru bisa ditarik dalam lima tahun, setelah kontraknya diteken. Misalnya sebuah bantuan program atau proyek tahun ini diteken di IGGI, jumlahnya bulat 100%. Tetapi penarikannya (disb~ursement-nya) untuk tahun ini mungkin baru 20%, tahun berikut 20%, berikutnya lagi 20%, dan seterusnya sampai lima tahun. Jadi, kalau pemerintah mau membangun jalan, irigasi, tenaga listrik, tak bisa dilakukan secara cepat. Uangnya tidak pernah kita pegang. Tapi yang kita terima adalah barang impor. Sedangkan pinjaman khusus, yang sekarang kita perjuangkan, seluruhnya bisa kita pergunakan dalam waktu setahun. Bagaimana pemanfaatannya setelah kontrak ditandatangani? Special assistance loan ini berbentuk devisa. Itu diberikan ke Bank Indonesia. Pengguhaannya, bisa dijual kepada masyarakat untuk mendapatkan rupiah. Rupiah yang diperoleh dari hasil penjualan dolar oleh BI melalui bank-bank dan pedagang valuta asing, kemudian akan digunakan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek padat karya seperti proyek-proyek Inpres, membangun irigasi dan jalan, dan pengerukan pelabuhan. Jadi, pinjaman khusus itu bisa digunakan oleh importir? Betul. Sekitar 12-13 persen dari kebutuhan impor ~~lalu dibiayai dengan dana dari special assistance itu. Alhasil, pinjaman khusus tersebut akan digunakan untuk kepentingan anggaran pemerintah dan demi mengamankan neraca pembayaran. Ada yang beranggapan, pinjaman khusus tersebut bisa juga digunakan untuk men cicil utan~g luar ne~geri. Jadi, serupa ~den~gan p~injaman komersial oleh BI dahulu untuk membayari utang-utang besar Pertamina? Uang itu memang masuk dalam dompet besar Bank Sentral. Tapi itu bukan lalu berarti pemerintah meminjam untuk membayar utang luar negerinya. Menurut saya, specia~l assistance itu dimaksudkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tahun lalu pertumbuhan ekonomi kita sedikit melaju. Kebutuhan impor ju~ga naik. Tahun lalu sebenarnya kita mulai memperoleh special assistance Bagaimana prosesnya? Special assistance ini kita terima Jepang, Relanda, dan Bank Dunia. ~Prosesnya tidak begitu gampang. Yang di Exim Bank Jepang, misalnya, mulai dibicarakan sejak Juli 1987, tetapi ditekennya baru Desember. Namun, penarikannya ternyata bisa cepat kita lakukan, satu hingga 60 hari. Maka negara-negara donor itu juga mengharapkan agar proyek-proyek yang dibangun dengan pinjaman khusus itu bisa cepat selesai, paling lambat dalam dua tahun. Berapa yang kita terima tahun lalu? Sejumlah US$ 905 juta, dan digunakan sebagai pembiayaan r~upiah untuk sejumlah proyek Bank Dunia. Jadi, Bank Dunia yang menyediakan devisanya, sedang dana rupiahnya datang dari Bank Eksim Jepang. Ke dalam proyek apa saja bantuan khusus it disalurkan? Lebih dari 20 proyek yang memanfaatkan special assis~tance itu. Mulai proyek di bidang perlistrikan, transportasl, perkebunan inti rakyat, irigasi, dan promosi ekspor hasil kerajinan, serta promosi ekspor industri. Alasan apa yang kita berikan sampai mereh mau memberikan tahun lalu? Maksud special assistance itu 'kan antara lain untuk mengamankan neraca pembayaran. Kita tunjukkan bahwa impor kita dari Jepan~g tahun lalu meningkat. Maka, mereka bersedia ikut mengamankan nera~ca pembayaran Indonesia. Pinjaman khusus untuk tahun ini, yang direkomendasikan Ban Dunia sebesar US$ 2,4 milyar, apakah diharapkan seluruhn~ya dari IGGI? Dana sebesar itu, dilihat dari kepentingan neraca pemba~yaran adalah untuk menutupi kebutuhan impor kita dalam tahun anggara berjalan sekarang. Tidak semuanya akan datang dari kelompo IGGI. Ada juga bantuan lain dari luar IGGI. Misalnya, baru-baru ini Jepang menjanjikan special assistance US$ 2,3 milyar, di luar yang US$ 2,4 milyar. Nah, yang US$ 600 juta dari ~Bank Eksim Jepang itu tidak berasal dari dana IGGI. Selain itu, kita juga menerima dari beberapa negara yang bukan anggota IGGI. Ada dugaan, Jepang bersedia membantu US$ 2,~ milyar, sedikit banyak ada imbalannya juga. Misalnya mereka minta agar kita bisa memasang harga minyak yang lebih rendah dari yang mereka beli sekarang. Betulkah? Itu dugaan yang salah. Bantuan itu 'kan diperoleh sebagai hasil pembicaraan antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Takeshita di Manila. Dan itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan harga minyak. Pinjaman itu tanpa ikatan. Adakah sebagian dari bantuan khusus Jepang itu nantinya bisa berupa hibah? Seluruh bantuan Jepang yang US$ 2,3 milyar itu berbentuk special ass~istance. Tidak ada hibah. Menteri Keuangan Sumarlin, dalam seminar Indonesia-Jepang di Bali, pekan lalu, menyebutkan hibah sebagai salah satu cara untuk meringankan beban utang Indonesia akibat membubungnya nilai mata uang yen. Mengenai hibah dan special assistance loan, sudah jelas disebutkan dalam laporan Bank Dunia yang terbaru. Jelas, itu akan dibicarakan dalam sidang IGGI. Apalagi, Presiden Prancis Francois Mitterrand juga sudah mengatakan supaya utang untuk ncgara-negara berkembang dijadikan hibah saja. Hanya resep kedua, yakni supaya utan~g dihitun~g menurut kurs sewaktu kontrak utang diteken, belum disinggung. Maunya kita 'kan memakai kurs tetap. Jadi, ada semacam s~wap yang harus ditanggung para donor. Jangan kita yang tanggung, nanti tambah biaya lagi. Ini belum disebut-sebut di dalam Laporan Bank Dunia. Mungkin karena mereka belum setuju, tetapi kita menginginkan agar kurs cicilan utang itu tetap sesuai dengan waktu diteken. Peluang untuk mendapatkan hibah kira-kira bagaimana? Hibah ini bukan hal baru. Ini sudah dua tiga tahun dilakukan oleh negara-negara Persemakmuran, tanpa kita minta. Kebijaksanaan ini diberikan kepada negara-negara yang per kapitanya di bawah angka tertentu. Mereka melihat keadaan kita, ya sudah hibahkan saja. Daripada pusing-pusing menghitung -- perubahan-perubahan kurs dan suku bunga, ubah saja kontrak utang menjadi hibah. Kanada misalnya. Bantuan dari Kanada itu dulunya pinjaman yang lunak sekali, jangka waktu cicilan 40 tahun. Lalu diubah menjadi hibah. Australia selalu memberikan hibah. Juga Belanda pun sudah ikut. Tahun ini, Belanda akan memberikan bantuan 182 juta gulden, 89 juta gulden berupa hibah. Jumlah bantuan Jepang dalam kelompok IGGI sudah mencapai 40 persen, dan mungkin akan lebih besar lagi. Banyak juga suara yang khawatir, Indonesia akan semakin berat beban utangnya mengingat nilai yen naik terus. Kalau melihat sejarah IGGI, pada mulanya seolah-olah ada kesepakatan antara tiga kelompok: AS, Jepang, dan Eropa Barat agar masing-masing memberikan sepertiga dari seluruh jumlah pinjaman. Tapi kemudian ternyata posisi Jepang menjadi terdepan. Itu karena keadaan ekonominya memang lagi baik. Apalagi Jepang merasa dekat sekali dengan Indonesia. Sebagaimana AS dekat dengan Meksiko. Sedang bantuan dari AS dan MEE semakin berkurang jumlahnya. Itu juga bukan kemauan kita, tetapi kesepakatan yang terjadi di antara kelompok IGGI. Itu sebabnya masih perlu kita perjuangkan agar pinjaman dari Jepang dikaitkan dengan kurs yang terjadi sewaktu kontrak pinjaman diteken. Kenapa Jepang enggan dengan cara hibah, seperti dilakukan oleh beberapa negara Persemakmuran? Tiap negara mempunyai peraturannya masing-masing. Hibah, menurut peraturan yang berlaku di Jepang, tidak dibenarkan. Walau begitu, Bank Exim Jepang sudah bersedia menyisihkan sebagian kecil dari pinjamannya berupa hibah Dari US$ 600 jut~ special assistance -- seperti dijanjikan dalam paket bantuan US$ 2,3 milyar baru-baru ini -- sekitar US$ 200 juta akan berupa hibah. Proyek-proyek apa saja yang akan dibiayai sehingga Bank Dunia bisa menyarankan bantuan US$ 3,6 milyar untuk tahun ini? Dalam setiap pertemuan IGGI, kita membawa dokumen. Bukunya cukup tebal, dikenal dengan nama Blue Book. Di situ terdapat sejumlah usulan proyek yang siap dibiayai. Seluruhnya termasuk proyek prioritas. Nah, rekomendasi bantuan US$ 3,6 milyar didasarkan perhitungan rencana pembiayaan proyek-proyek dari semua sektor, yang diusulkan dari departemen-departemen. Itu pun direkomendasikan setelah usulan proyek dan pembiayaannya diseleksi oleh Bappenas. Kita setiap kali memang perlu berhati-hati. Sebab, setiap proyek baru akan melahirkan pembiayaan di dalam negeri. Bagaimana perhitungan bunga pinjaman IGGI? Itu ter~antun~ kebijaksanaan keuan~gan mereka dan fasenya. Bantuan dari Jepang pernah berbunga 2,5 persen, lalu meningkat menjadi 3,5 persen, dengan jangka angsuran sampai 30 tahun. Belanda dan Jerman Barat meminta bunga 2%, tetapi jangka waktu cicilannya lebih pendek. Katanya, pinjaman kita bunganya tidak berat sehingga mau terus berutang? Jangan bilang tidak berat. Tapi lebih tepat, persyaratannya lebih ringan. Kita senantiasa membatasi berapa yang bisa kita pinjam setiap tahun. Di banyak negara berkembang, boleh dibilang, tak ada yang mampu mengikuti manajemen utang luar negeri seperti yang dianut pemerintah Indonesia. Sistem pinjaman kita, seperti Anda ketahui, sangat ketat. Semuanya akhirnya harus diputuskan dan diawasi secara terpusat, yang dikenal sebagai central borro~wing. Jadi, tidak bisa ada satu departemen yang dibiarkan untuk melakukan pinjaman sendiri. Tapi sejak beberapa tahun lalu penilaiannya sudah lebih ketat. Adakah BUMN yang masih dibolehkan untuk mencari pinjaman sendiri? BUMN pun sekarang tidak lagi bisa mencari pinjaman sendiri. Tapi harus melalui suatu tim yang diketuai Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan. Banyak proyek pembangunan yang dibiayai dengan utang luar negeri lambat selesainya. Sebabnya, antara lain, karena pemerintah sendiri kurang gesit untuk memanfaatkan pinjaman yang sudah bisa dicairkan. Memang kecepatan penarikan pinjaman (disbursement) masih berjalan di bawah sasaran. Hal ini merugikan, mengingat pemerintah sudah harus membayar fee, semacam uang pengikat, di saat pinjaman itu diteken. Itu sebabnya Presiden lalu membentuk Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-proyek Pembangunan dengan Dana Luar Negeri (P4DLN), dan saya ditunjuk untuk mengetuainya. Banyakkah hasil tim tersebut? Ternyata, bisa jalan. Keterlambatan sejumlah proyek terbukti tak selalu disebabkan kesalahan pihak Indonesia. Setelah terbentuknya tim, jumlah pinjaman yang dapat di-disbursed mencapai 30 persen. Tadinya baru sekitar 19 persen setahun dari seluruh pinjaman Bank Dunia. Sedang pinjaman yang masuk dari Bank Pembangunan Asia (ADB) telah dapat kita pergunaan hingga melebihi sasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini