Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengurus pinjaman baru menimbang beban utang

Tahun 1988 indonesia direkomendasikan untuk mendapat utang dari luar negeri lebih besar. sementara beban cicilan utang semakin berat, menkeu sumarlin mengusulkan 3 alternatif keringanan pinjaman.

18 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH yang takut membuat utang, akan berbuat terlalu sedikit untuk masa depan bangsanya. Maka demi kemajuan ekonomi Indonesia, pekan ini delegasi pemerintah RI yang dipimpin Menteri Ekuin Radius Prawiro bertolak ke Den Haag, membawa Buku Biru. Isinya, daftar sejumlah proyek yang telah diseleksi Bappenas, dan perlu dilaksanakan lima tahun mendatang. Tapi pembiayaannya menunggu bantuan negara donor dari IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia). Memang, tidak semua pembiayaannya akan ditanggung oleh organlsasi yang beranggotakan Bank Dunia, Asian Development Bank, dan 14 negara donor seperti Jepang, AS, Belanda, dan Jerman Barat itu. Bank Dunia, dalam laporan tahunan yang terakhir, menduga Indonesia akan meminjam juga dari donor di luar IGGI seperti Exim Bank Jepan~g. dan Islamic Development Bank. Lalu pada IGGI, Bank Dunia menganjurkan kali ini cukup menyediakan bantuan proyek sebesar 3,6 milyar dolar. Itu bisa berbentuk pinjaman bersyarat lunak dan hibah (gratis). Tapi selain itu, menurut Menteri PPN/ Ketua Bappenas Saleh Afiff, Bank Dunia juga menganjurkan agar semua donor (termasuk yang di luar IGGI) menyediakan bantuan pinjaman khusus sebesar 2,4 milyar dolar. Istilahnya special assistance loan, yan~g dirumuskan Bank Dunia sebagai pinjaman tak mengikat dan dapat segera ditarik. Artinya, menurut Saleh Afiff, penarikannya tidak bertahap seperti bantuan rutin IGGI, dan bisa dirupiahkan. (Lihat Dari Dompet Besar di Den Haag). Pinjaman khusus yang direkomendasikan Bank Dunia itu dimaksudkan untuk menolong Indonesia mengamankan neraca pembayaran serta APBN tahun berjalan. Masalahnya, kemerosotan harga minyak tahun 1986 telah menurunkan penerimaan devisa dan penerimaa pemerintah Apalagi, amortisasi -- yakin cicilan utang pokok dan bunga pinjaman pemerintah -- telah menggelembung akibat menguatnya nilai sejumlah valuta asing. Anjuran itu agaknya diberikan, karena Bank Dunia melihat bahwa segala resep yang dianjurkan IMF dan Bank Dunia -- yakni devaluasi, pengurangan impor, dan pemotongan anggaran -- memang telah dilaksanakan pemerintah. Ternyata, semua langkah ketat itu belum juga menyehat~kan ekonomi Indonesia. Akibat jatuhnya harga minyak serta menguatnya yen, sepertiga anggaran tahun berjalan habis tersedot untuk membayar utang. DSR (debt service ratio) -- yakni perbandingan antara jumlah angsuran tahunan dan seluruh penerimaan devisa ekspor -- telah mencapai angka 35% -- angka yang agaknya dinilai berbahaya untuk kesehatan ekonomi kita. Sebenarnya, tahun anggaran silam, Indonesia juga sudah mendapatkan pinjaman khusus 1,4 milyar dolar. Pinjaman ini berupa US$ 900 juta dari Exim Bank Jepang yang berbunga sekitar 6% per tahun, US$ 300 juta dari Bank Dunia dan US$ 200 juta lagi dari Belanda. Seorang pejabat Export Import (Exim) Bank Jepang, pekan silam, menguraikan bahwa bantuan yang 900 juta dolar itu telah dimanfaatkan sebagai pembiayaan rupiah untuk 21 proyek yang dibiayai Bank Dunia. Antara lain untuk sejumlah proyek pembangkit tenaga listrik, irigasi, perkebunan inti rakyat, dan promosi hasil industri dan kerajinan. Persyaratan yang di~~minta para donor adal~~ah, proyek-proyek tersebut harus rampung dalam dua tahun. Menurut laporan Exim Bank Jepang, proyek-proyek tersebut berjalan lancar, sehingga telah menambah kredibilitas dari Bank Dunia dan ADB. Itu mungkin sebabnya mengapa Bank Dunia merekomendasikan bantuan pinjaman khusus yang lebih besar, yakni 2,3 milyar dolar untuk tahun anggaran berjalan. Sedangkan untuk tahun anggaran 1989-1990, Bank Dunia memperkirakan Indonesia masih perlu diberi pinjaman khusus 1,5 milyar dolar lagi. Bulan lalu, Exim Bank Jepang itu sudah menjanjikan pinjaman khusus 600 juta dolar. Dana ini yang tergabung dalam paket 2,3 milyar dolar pinjaman khusus, hasil pembicaraan antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Takeshita di Manila dan misi Prof. Widjojo Nitisastro awal tahun ini. Tapi pinjaman khusus dari Exim Bank Jepang serta yang dianjuran Bank Dunia itu, ternyata, belum cukup memuaskan pemerintah. Dalam konperensi Kerja Sama Indonesia-Jepang yang berlangsung di Bali, Menteri Keuangan Sumarlin meminta bantuan yang lebih ringan. Ada tiga alternatif yang dianjurkannya pada rombongan dari Jepang yang dipimpin Prof. Yasuhiko Torii, pengamat ekonomi Indonesia dari Keio University. Pertama, hapuskan seluruh utang Jepang menjadi hibah (~write off), atau berikan bantuan baru dalam bentuk hibah yang tak mengikat dan bebas dari biaya provisi dan pembayaran kembali atau jika utang-utang lama dipertahankan sebagai utang, hendaknya pencicilan kembali dihitung berdasarkan kurs yang berlaku pada saat utang diteken. Tiga resep Sumarlin ini tampaknya "lebih maju dibandingkan tiga resep yang dibawakan Prof. Widjojo ke Jepang Februari lalu. Alternatif pertama dan ketiga dari Sumarlin sama dengan alternatif dari Widjojo. Alternatif kedua dari Sumarlin, meminta tambahan hibah. Sementara itu, Widjojo meminta pinjaman khusus, sebagai pengganti beban kenaikan utang yen (yakni sekitar 1,1 milyar dolar) sejak 1985 hingga awal 1988. Ini agak bernada restrukturisasl utang, tapi ternyata dikabulkan. Permintaan hibah, sebagaimana dikemukakan Widjojo m~upun Sumarlin, memang bukan suatu hal yang aneh. Pekan silam, Presiden Prancis Francois Mitterrand melontarkan anjuran, agar utang negara-negara berkembang dijadikan hibah saja. Hal itu memang sudah dilakukan beberapa negara Persemakmuran seperti Australia dan Kanada. Menurut Sumarlin, piutang mereka pada pernerintah Indonesia seluruhnya (100%) sudah dihibahkan. AS sudah menghibahkan 53~O, dan hanya Jepang baru menghibah sekitar 10%. Namun, sejauh ini harus diakui bahwa Jepang merupakan pemberi pinjaman dan bantuan terbesar untuk Indonesia. Sedangkan negara-negara lain, setelah memberi hibah, lalu mengurangi bantuannya. Seorang pejabat dari Departemen Luar Negeri Jepang yang dihubungi wartawan TEMPO Seiichi Okawa di Tokyo, pekan lalu, mengatakan bahwa Perdana Menteri Noboru Takeshita sedang menyusun gagasan baru, untuk membantu meringankan utang negara-negara berkembang. Mungkin rencana ini termasuk dalam konsep diplomasi Takeshita, yan~g bertema "Tetap~ Menyumbang untuk Dunia." Hibah konon termasuk salah satu gagasan yang dilontarkan Takeshita di KTT tujuh negara industri maju, yang akan berlangsung 19-21 Juni di Toronto, Kanada. Tetapi, hibah hanya akan diberikan kepada negara-negara yang tergolong kelompok Least Developing Countries (LDC). Indonesia dan Filipina tidak masuk kelompok LDC, melainkan tergolong ke kelompok negara berkembang yang sulit mengatasi masalah utang. Bantuan yang akan diberikan hanya berbentuk kesempatan penjad~walan kembali utang (rescheduling). Alternatif kctiga, yakni refinance (beban utang yang harus dibayar diubah sebagai pinjaman baru). Atau alternatif keempat, beban bunganya diturunkan. Kendati Indonesia kini seperti "terjerat" utang-utang Jepang, menurut Yasuhi ko Toril, bantuan ekonoml yang diberikan Jepang didasarkan pada kerj~a sama manusiawi dengan negara-negara tetangga. Ia mengaku pernah terlibat langsung dalam gugus-gugu~ tugas, untuk meneliti dan menyusur kembali skema-skema bantuan luar negeri Jepang. Apakah itu di OECF, JICA, Exim Bank, dan Jetro, khusus nya dalam empat tahun tcrakhir. OECF, misalnya, pada 1986, telah memutuskan untuk memperluas ar~ea dan jumlah pinjaman yen. Antara lain memberikan pembiayaan dana lokal untuk proyek-proyek pembangunan di negara bcrkembang. Instansi keuangan milik pemerintah Jepang ini juga sudah mulai memberikan bantuan untuk pengembangan industri. OECF atau Badan Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri Jepang ini juga mulai memberikan two step loan (pinjaman tak lan~su~ng kepada masyarakat lewat sistem perbankan), sebagaimana dilakukan Exim Bank. Di bulan Mei 1987, pemerintah Jepang juga telah mengeluarkan "Pcraturan-Peraturan Bantuan Ekonomi Darurat". Isinya, antara lain, mempercepat target bantuan ekonomi luar negeri sebesar 72 milyar dolar setahun. Target yang direncanakan tercapai 1992 itu memang sudah tercapai pada 1988 ini itu sebenarnya bukan karena kemauan Jepang, melainkan berkat yendaka, yakni menguatnya nilai valuta Jepang. Seberapa jauh usul pemerintah Indonesia agar Jepang membantu meringankan beban utang -- akibat perubahan kurs yen -- ditanggapi, tentu masil harus ditunggu. Torii sendiri mengerti kalau pemerinta~h Indonesia enggan meminta penjadwalan utang, sehingga tak banyak pilihan untuk meringankan beban utang Indonesia. Hibah dan sekuritisasi (perhitungan kurs yang tetap) adalah dua jalan~ yang disetujuinya. Tampaknya, Torii adalah seorang pengamat ekonomi Indonesia yang cukup luas. Ia, antara lain, menyajikan bagaimana perkembangan bantuan Jepang, AS, Eropa, dan negara lain untuk Indonesia sejak 1977 (lihat Grafik). Grafik itu menunjukkan bahwa bantuan AS telah menurun, karena sebagian besar pinjaman luar negeri negara itu telah diserap negara-negara t~tangganya di Amerika Latin. Sementara ini, bantuan Jepang untuk Indonesia juga terhambat. Antara lain karena semakin sulit mencari proyek-proyek pembangunan yang bisa mengandung prospek cerah. Kelesuan ekonomi Indonesia menyebabkan investor Jepang kurang bersemangat untuk datang dan dengan sendirinya juga bantuan pinjaman (kredit ekspor) Jepang. Apalagi ada pengetatan proyek-proyek pemerintah. Torii, ternyata, tidak bisa mendukung semua anjuran Bank Dunia, misalnya agar pemerintah negara-negara ASEAN memperlambat investasi di sektor pekerjaan umum. Saran Torii, program pembangunan prasarana perlu didorong di daerah-daerah. Sebab, hal itu secara jangka pendek akan menciptakan banyak kesempatan kerja dan akan menyumbang produktivitas di masa nanti. Bank Dunia juga menganjurkan agar Indonesia memperlambat pertumbuhan sektor industri, guna memperlambat investasi pemerintah dan swasta. "Industri yang kini sudah lesu justru perlu lebih dihidupkan lagi," kata Torii. Bank Dunia sebaliknya menganjurkan supaya ekspor industri ditingkatkan, sedangkan profesor dari Keio University itu lebih condong pada ekspor produk-produk pertanian. Ia juga tidak setuju dengan pendapat Bank Dunia bahwa impor, khususnya barang-barang modal, perlu direm. "Hal ini secarajangka panjang akan melemahkan kapasitas produksi di masa datang," ujarnya. Tetapi ia setuju dengan usul Bank Dunia, supaya monopoli yang mengontrol impor bahan baku seperti plastik dan baja dicabut saja. Namun, pakar ekonomi Anwar Nasution melihat bahwa kesediaan Jepang untuk memberikan bantuan pada pemerintah Indonesia jelas disertai perhitungan-perhitungan. "Kalau di sini (Indonesia) timbul kekisruhan, tentu akan merugikan Jepang pula," kata Anwar. Namun, ia menilai bahwa adanya usul pemerintah untuk meminta perhitungan utang berdasarkan kurs tetap, tak lain karena kebodohan kita sendiri. "Karena bodoh, kita tidak bisa memantau perkembangan kurs, sehingga pada tahun 1985, kita membikin utang baru dalam yen. Sekarang apa kata Jepang? Seperti dikatakan duta besar Jepang di Jakarta -- yang dimuat Suara Pembaruan -- bantuan Jepang tak ada kaitannya dengan currency realignment," tutur ekonom yang memang sering bernada pesimistis ini. Anwar mengerti kalau bantuan pinjaman khusus dari Jepang, seperti dikatakan Torii, sebaliknya dimanfaatkan untuk proyek-proyek padat karya. "Tentu saja mereka takut uang mereka dipergunakan, misalnya, untuk membangun industri pesawat terbang. Lihat saja di Serpong. Semua peralatan baik, tapi tak digunakan karena orangnya tak ada," katanya. Hadisusastro dari CSIS menilai bahwa sekarang ini memang saat yang tepat bagi Indonesia untuk meminta keringanan utang. Kebetulan suasana di seluruh dunia memungkinkan. Dari berbagai penjuru dunia, muncul suara-suara untuk meminta keringanan utang. Kebetulan pula, "Sikap semua (kreditor) di dunia, termasuk IMF, sedang melunak," kata Hadi. Namun, Hadi melihat, keadaan ekonomi Indonesia sebenarnya belumlah sebegitu parah, dibandingkan misalnya negara-negara miskin di Afrika. Tentang DSR yang kini dikatakan sudah tidak sehat, misalnya. Kata Hadi, DSR sampai mencapai 60~% pun boleh saja, asalkan penggunaan utang itu untuk proyek-proyek yang mempunyai prospek. "DSR dipatok 20% oleh Pak Widjojo, saya sangka dimaksudkan untuk mengerem menteri-menteri yang gemar menghabiskan uang," ujar pakar ekonomi AS, yang juga bertitel insinyur dari Jerman itu. Yang menjadi soal dewasa ini bukan meminta keringanan, tapi bagaimana menggunakan bantuan luar negeri. Hadi mengemukakan contoh proyek perguruan tinggi ITB. Jelas, di situ tidak ada penerimaan, tetapi perlu bantuan Bank Dunia. Maka, mesti jelas siapa yang harus mempertanggungjawabkan bantuan Bank Dunia itu. Melaporkan kepada Bank Dunia bahwa proyek itu bersifat tidak mempunyai penghasilan jelas salah. Uang kuliah 'kan bisa saja dinaikkan. "Tetapi, kalau uang kuliah dinaikkan sampai beberapa kali lipat, dan ternyata persoalan tetap tak beres, jelas manajemennya yang salah," demikian Hadi menyimpulkan. Hendra Esmara, guru besar ekonomi Universitas Andalas di Padang, juga mempersoalkan bantuan-bantuan luar negeri yang selama ini diterima. Menurut perhitungannya, 82% alokasi bidang ekonomi di tahun anggaran 1987-1988 dibiayai dengan pinjaman luar negeri, dan 12% dimanfaatkan untuk bidang sosial seperti koperasi. Persoalannya, pinjaman luar negeri umumnya digunakan untuk mengimpor teknologi yang belum diproduksi di dalam negeri. "Koperasi 'kan tidak membutuhkan impor teknologi?" katanya. Ia berpendapat bahwa yang perlu diusahakan sekarang, bagaimana meningkatkan tabungan pemerintah. Salah satu altenatif yang dilihatnya yakni mengerem pembangunan tanpa memperbesar utang. Sjahrir, pakar ekonomi dari lembaga penclitian ekonomi CPS yang dikelola Prof. Sumitro Djojohadikusumo, juga berpendapat hampir serupa. Ia melihat bahwa pem-rintah mencari bantuan khusus, seperti sudah terpaksa. Seakan-akan tidak ada jalan lain lagi untuk mengatasi masalah neraca pembayaran. Segala resep IMF dan Bank Dunia sudah dipakai, tetapi ternyata belum bisa mengatasi kesulitan ekonomi. Akhirnya, lari ke pinjaman khusus. Padahal, pinjaman khusus hanya merupakan jalan yang sangat darurat. Tidak bisa dijamin, ~ara donor akan terus-menerus membantu seperti itu. Padahal, ada satu cara efektif jangka panjang yang sudah dijalankan pemerintah, yakni deregulasi. "Saya melihat deregulasi adalah instrumen yang efektif. Dengan penciptaan iklim usaha yang sehat, termasuk membebaskan friksi-friksi monopoli, para investor tentu akan lebih laju datang kemari membawa devisa, dan ekspor nonmigas akan terus meningkat," kata Sjahrir, optimistis. Ma~x Wangkar, laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus