MULAI September ini, mencaplok perusahaan sendiri atawa akuisisi intern, agaknya, tak lagi mudah dilakukan seperti beberapa waktu yang lalu. Soalnya, Dirjen Pajak, Mar'ie Muhammad, melihat peluang-peluang untuk menyelundupkan pajak pada setiap akuisisi harta maupun saham. Itulah sebabnya Jumat pekan lalu, Mar'ie menurunkan surat edaran yang menegaskan tentang tata tertib berakuisisi. Khususnya yang menyangkut perpajakan. Pada dasarnya, surat edaran ini hanyalah bersifat penegasan. Seperti yang dituturkan Mar'ie, seluk beluk akuisisi sudah diatur dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) tahun 1984 serta Peraturan Pemerintah (PP) nomor 42 tahun 1985. Dalam UU PPh tersebut, paling tidak ada tiga pasal (Pasal 4, 10, dan 11) yang mengatur soal akuisisi. Sedangkan dalam PP 42, akuisisi diatur dalam Pasal 3. "Jadi, sebenarnya perundang-undangan telah cukup mengatur transaksi akuisisi," lanjut Mar'ie. Dalam Pasal 4 UU PPh 1984, dengan jelas disebutkan bahwa keuntungan yang timbul akibat pengalihan harta terkena pemotongan pajak. Namun, keuntungan yang diperoleh dari pengalihan harta kepada perseroan (sebagai pengganti saham), tidak termasuk objek pajak penghasilan. Syaratnya adalah kedua pihak yang melakukan pengalihan harta tersebut paling sedikit menguasai 90% dari jumlah modal yang disetor. Dan pengalihan tersebut harus dilaporkan kepada Ditjen Pajak. Yang tak kalah menarik dari penjelasan Dirjen Mar'ie ialah tata cara penyusutan dan dasar penilaian harta yang akan di akuisisi. Saham atau harta yang dialihkan harus dinilai berdasarkan nilai buku. Artinya, yang dimasukkan dalam pencatatan setelah transaksi haruslah nilai yang telah dikurangi dengan penyusutan, dan bebas dari segala utang. Jika Mar'ie menekankan dasar penilaian, tentu hal ini penting sekali. Misalkan, harta perusahaan X setelah disusutkan adalah Rp 800 milyar, dan jumlah sahamnya yang beredar dua juta lembar. Dengan memperhitungkan utang Rp 300 milyar, nilai dari perusahaan X adalah Rp 500 milyar atau Rp 250.000 per lembar. Itu merupakan nilai yang sebenarnya. Jadi, jika terjadi penyelewengan -- sengaja atau tidak -- yang dilakukan oleh pelaku transaksi akan dengan mudah dideteksi. Katakanlah, perusahaan X tadi diakuisisi perusahaan Y dengan harga Rp 600 milyar atau Rp 300.000 per lembar saham. Jelas, secara langsung tindakan ini akan menguntungkan pemilik perusahaan. Karena, dari hasil transaksi mereka memperoleh keuntungan (capital gain) Rp 100 milyar. Namun, dibalik itu, Pemerintah malah akan menderita rugi. Apalagi dengan membengkaknya aset, otomatis akan menambah beban penyusutan. Dan sudah pasti, ujung-ujungnya akan mengurangi kewajiban PPh perusahaan yang bersangkutan. Korban yang akan dirugikan akibat ketidakjujuran berakuisisi akan bertambah jika perusahaan yang bersangkutan telah go public. Hal ini juga pernah digembar-gemborkan para pengamat ekonomi. Kata mereka, setelah Pemerintah jatuh sebagai korban pertama, korban berikutnya adalah para pemegang saham minoritas. Mengapa? Karena beban penyusutan yang lebih besar akan mengurangi jumlah dividen yang bakal diterima mereka. Mungkin, karena itu Mar'ie memberikan penegasan berulang-ulang tentang dasar penilaian ini. "Jika diketahui terjadi pindah tangan perusahaan dengan nilai yang tak wajar, kami berwenang menentukan kembali," katanya. Dan jangan main-main. Wewenang aparat pajak untuk merevaluasi transaksi dalam akuisisi ini berlaku surut lima tahun. Artinya, bukan mustahil, Ditjen Pajak akan melakukan pengusutan ulang kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan akuisisi sejak tahun 1987. Yang menjadi pertanyaan di kalangan pengusaha ialah mengapa Mar'ie tiba-tiba menganggap perlu membuat penegasan. Bukankah akuisisi oleh perusahaan dibursa sudah berlangsung sejak lima tahun lalu? Dan ini bukan hal luar biasa, karena akuisisi sudah dilakukan oleh tidak kurang dari 30 perusahaan terhadap 70-an perusahaan internal maupun eskternal. Jadi? Baik nilai traksaksi yang cukup besar, jumlah perusahaan yang terlibat akuisisi maupun kontroversi yang ditimbulkannya, semua itu sangat patut untuk mendorong Dirjen Pajak turut bicara. Kebetulan sekali, kecenderungan akuisisi sangat menonjol beberapa bulan belakangan ini. Tepatnya, ketika Grup Lippo mencaplok beberapa anak perusahaannya sendiri dan kemudian disusul akuisisi Indocement atas PT Bogasari Fluor Mills, Indofood, dan PT Perwick Agung. Banyak orang terperangah karena nilai akuisisi yang mereka lakukan mencapai ratusan milyar hingga trilyunan rupiah. Lalu, para pengamat pun mulai menghitung plus minus dari tindakan tersebut. Kajian mereka kemudian lebih ditujukan kepada pengaruh langsung akuisisi yang akan dirasakan pemegang saham gurem. Indocement mengakuisisi PT Bogasari Flour Mills, Indofood Group, dan Perwick Agung dengan nilai transaksi Rp 2,070 trilyun. Pencaplokan perusahaan sendiri itu dinilai pengamat Sjahrir tidak transparan dan merugikan pemilik saham minoritas di bursa. Kwik Kian Gie menilai akuisisi itu ibarat mengambil uang dari saku kiri dan kemudian menyimpannya di saku kanan. "Mereka dapat uang tunai dan tetap sebagai pemegang saham mayoritas. Apa tidak enak?" kata pengamat lainnya. Boleh dibilang, analisa dan kritik bertubi-tubi telah dilancarkan terhadap kasus akuisisi yang dilakukan Lippo dan Indocement. Sementara itu, para pemilik saham minoritas yang dikhawatirkan akan merugi besar tampaknya tenang-tenang saja. Contoh paling mengesankan adalah Pemerintah sendiri, yang tercatat sebagai pemegang saham minoritas di Indocement. Dalam RUPSLB (yang mengesahkan langkah akuisisi tersebut), Pemerintah -- waktu itu diwakili oleh Dirjen Fuad Bawazir -- boleh dibilang tidak melakukan "perlawanan" sama sekali. Setelah itu, "ribut" akuisisi di korankoran mereda untuk beberapa pekan. Akuisisi kembali menjadi topik penting setelah Institut Bisnis Indonesia menyelenggarakan sebuah seminar, pertengahan Agustus lalu. Entah disengaja atau tidak, dalam seminar itu Direktur Keuangan PT Indocement Tunggal Perkasa, Judiono Tosin, mengatakan bahwa ketiga perusahaan yang diakuisisi Indocement itu telah dihargai lebih rendah dari harga sebenarnya. "Tidak perlu khawatir," demikian kata Tosin. "Harga jual ketiga perusahaan itu tidak ditinggikan dengan tujuan mengeruk untung," katanya. Namun, pernyataan Tosin, yang agaknya semula untuk menutup-nutupi, ternyata mengundang reaksi. Konsultan pajak Hussein Kartasasmita menyatakan bahwa harga yang ditaruh PT Indocement itu di bawah harga pasar. Akibatnya, penghasilan yang diterima perusahaan-perusahaan yang diakuisisi Indocement menjadi kecil. Dan ini merugikan pendapatan pajak negara. Buntutnya, beberapa waktu kemudian Mar'ie memanggil eksekutif dari Indocement dan Lippo Finance. Setelah pemanggilan itu, tak berapa lama kemudian Mar'ie mengeluarkan surat edaran tentang akuisisi tadi. Namun, apakah hal itu terjadi karena Indocement? Entahlah. Sebab, Mari'ie sendiri tidak bersedia menjawab pertanyaan yang menyangkut akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan tertentu. Terlepas dari persoalan Indocement, dengan adanya surat edaran pajak, Kwik menduga akan banyak perusahaan yang membatalkan niat akuisisinya. Bukan cuma itu. Perusahaan yang telah melakukan akuisisi, agaknya perlu menyediakan uang tunai. Ini sekadar berjaga-jaga. Siapa tahu, nanti Ditjen Pajak menemukan ketidak beresan dalam akuisisi dan perusahaan yang bersangkutan mau tak mau harus menutup kekurangannya. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini