YEN tambah berotot, pemerintah makin repot, begitulah adanya. Sekitar setahun lalu dengan satu dolar hasil menjual minyak pemerintah bisa membayar utang untuk 240 yen, sekarang hanya cukup untuk mengangsur utang 160 yen. Dengan kata lain, untuk membayar angsuran utang yen saat ini, jumlah dolar yang harus disediakan lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Padahal, kurs yen, sejak September lalu sampai sekarang, sudah menguat lebih dari 33% nilainya terhadap dolar. Artinya, beban mengangsur pinjaman akibat perubahan kurs itu makin berat. Apakah semua kewajiban itu masih bisa dipenuhi? Soalnya, baru sebulan berselang, Nippon Asahan Aluminium, pemegang 75% saham di PT Inalum, minta penundaan untuk mengangsur pinjamannya yang 280 milyar yen kepada sejumlah bank Jepang. Seharusnya, kalau pemasukan pabrik peleburan aluminium di Asahan itu bagus, Juni ini, Nippon Asahan sudah harus mencicil pinjaman pokok tadi dengan 28 milyar yen. Syukur, pihak Exim Bank Jepang dan sejumlah lembaga keuangan di Jepang menyetujui untuk memberikan penundaan selama dua tahun. Di pihak lain, pemerintah Indonesia belum memperdengarkan suara apa pun. Dugaan kasar menyebutkan bahwa, tahun ini, jumlah utang pemerintah yang jatuh tempo lebih dari 100 milyar yen. Untuk mengangsur pinjaman ke OECF (Overseas Economic Cooperation Fund) saja harus disisihkan 44 milyar yen. Tahun lalu, cicilan ke lembaga keuangan nonbank itu, hampir 42 milyar yen, lancar dibayar. Sampai pekan lalu, menurut Hiroshi Yamada, senior representative OECF di Jakarta, "Belum ada permintaan dari pemerintah Indonesia untuk menunda pembayaran pinjamannya." Sampai Mei lalu, seluruh utang pemerintah kepada OECF tercatat lebih dari 1.162 milyar yen. Sebagian dari pinjaman itu sudah diangsur, hingga sisanya tinggal sekitar 643 milyar yen. Lazimnya, pinjaman dari OECF itu digolongkan sebagai kredit ekspor (suppliers credit), dengan jangka pengembalian 25 tahun sampai 30 tahun (masa tenggang 10 tahun) berbunga 3% sampai 3,5%. Menurut catatan Bank Dunia, pinjaman yen dari suppliers credit itu nilainya sekarang setara dengan US$ 5,4 milyar. Kalau angka dari Bank Dunia itu bisa dipegang, dari persetujuan sebesar itu, yang ditarik pemerintah sudah sekitar US$ 3,6 milyar. Salah satu proyek besar yang mendapat pinjaman yen dari OECF (berupa mesin pembangkit listrik) yang nilainya setara dengan US$ 126 juta adalah PLTA Saguling 700 MW yang pekan ini diresmikan Presiden. Selain itu, pemerintah juga mendapat kredit dari pelbagai lembaga keuangan US$ 2,2 milyar, dan dari penerbitan obligasi US$ 184 juta. Dari pemerintah Jepang sendiri, yang disalurkan sebagai pinjaman bilateral, berjumlah US$ 5,3 milyar. Jumlah seluruh utang yen itu mencapai US$ 13 milyar lebih. Di situ tidak termasuk hibah yang diberikan lembaga seperti JICA (Japan International Cooperation Agency), antara 1983 dan 1985, hampir 16 milyar yen yang tak perlu dikembalikan. Yang merepotkan, pinjaman dalam mata uang deutschemark Jerman Barat dan poundsterling Inggris, yang nilainya menguat pula melawan dolar. Jumlah pinjaman dalam satuan kedua mata uang itu lebih dari US$ 4 milyar. Tapi mata uang Eropa lain, seperti Swiss maupun Belgia, juga menguat nilainya. Secara kasar, utang nondolar yang jumlahnya ditaksir mencapai 60% dari seluruh persetujuan pinjaman yang US$ 41,8 milyar itu, menurut Bank Dunia, menyebabkan beban pembayaran utang pemerintah untuk tahun berjalan bertambah US$ 800 juta. Munculnya beban tambahan sebesar itu terjadi hanya karena ada penyesuaian perubahan kurs dolar. Bank Indonesia memang dituntut pandai-pandai bermain uang di pasar internasional, agar beban akibat perubahan kurs itu jelas bisa ditanggulangi. Apalagi kalau suku bunga untuk nasabah utama di Amerika dan suku bunga antarbank di Inggris turun lagi, maka beban bunga bisa sedikit dikurangi. E.H., Laporan M. Cholid (Jakarta) & S. Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini