Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara letusan membuyarkan tidur sembilan pemuda di bale-bale di sebuah rumah di Jalan Teuku Umar, Bangkalan, Jawa Timur, Senin pekan lalu. Selepas tengah malam itu, begitu terbangun, Mat Dai mendengar suara orang mengerang di depan pagar. Pemuda itu langsung berlari, menuju arah suara. Tak sempat mengambil kunci, ia memanjat pagar besi.
Sejurus kemudian, sembari membawa celurit dan anak kunci, menyusul Rofi. Di depan pagar, pemuda ini melihat Mat Dai memapah ayahnya, Mathur Husairi. Tubuh lelaki 47 tahun itu penuh darah. Sebuah peluru—yang kemudian diketahui berkaliber 9 milimeter—menerjang pinggang Mathur dan masuk hingga melukai ususnya.
Sebelum peristiwa penembakan itu, Mathur baru selesai menghadiri reuni kecil sesama pegiat antikorupsi Bangkalan di Surabaya. Kepada Tempo, rekan Mathur, Aliman Harish, bercerita, begitu pertemuan bubar sekitar pukul 23.30, Mathur pamit mencari makan untuk santap sahur. "Tiga bulan terakhir, dia sering berpuasa," kata Aliman.
Hingga akhir pekan lalu, Mathur masih tergolek di Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya. Kabel-kabel pemantau detak jantung terpasang di dadanya, tersambung ke layar monitor di sisi ranjang. Alat bantu pernapasan pun masih menyelinap ke dalam hidungnya. "Alhamdulillah, kondisinya semakin membaik," ucap Mutmainah, istri Mathur, yang menunggui suaminya di rumah sakit. Dosen Universitas Trunojoyo, Bangkalan, itu menyebutkan sang suami kini mulai bisa berkomunikasi. "Walau masih terbatas," ujarnya.
Di kalangan aktivis Bangkalan, Mathur dikenal sebagai sosok yang kalem dan tak banyak berbicara. "Meski diam, dia itu mokong," kata Aliman, yang juga anggota Komisi Informasi Bangkalan. Mokong dalam bahasa setempat artinya keras memegang prinsip. Mathur dan Aliman bersahabat sejak kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.
Keduanya sama-sama pernah dekat dengan Fuad Amin Imron, bekas Bupati dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan, yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal Desember tahun lalu. Aliman yang memperkenalkan Mathur kepada Fuad Amin pada 2001. Waktu itu Fuad meminta Aliman menjadi sekretaris pribadinya di DPR. Namun Aliman menolak dengan alasan ingin merampungkan kuliah. "Mathur yang saya sodorkan," ujar Aliman, yang juga pernah menjadi anggota DPRD Bangkalan.
Ketika Fuad Amin menjadi Bupati Bangkalan pada 2004, Mathur dan Aliman masih disebut-sebut sebagai "orang pendopo" alias "orang lingkaran dalam" Fuad Amin. "Waktu itu Fuad dikagumi aktivis Bangkalan karena dia kerap membela gagasan Gus Dur," ucap Aliman mengungkap alasan kedekatan mereka.
"Kemesraan" Mathur dan Aliman dengan Fuad tak bertahan lama. Keduanya pelan-pelan menjauh ketika melihat sepak terjang Fuad sebagai bupati tak sejalan lagi dengan pemikiran mereka. "Mathur yang hengkang duluan. Saya menyusul," kata Aliman. Mathur dan Aliman lantas mendirikan Center for Islam and Democracy Studies (Cide). Lembaga ini getol menggelar unjuk rasa, terutama memprotes kepemimpinan Fuad.
Sikap Mathur terhadap kepemimpinan Fuad semakin frontal setelah rumah dia dan Aliman dirusak serta hampir dibakar sekelompok orang pada 2010. Tahun itu juga, terinspirasi Indonesia Corruption Watch di Jakarta, Aliman dan Mathur menggagas pendirian Bangkalan Corruption Watch, yang kini menjadi Madura Corruption Watch (MCW). Di antara teman-temannya, Mathur paling rajin menjaring info seputar penyimpangan di pemerintahan Fuad Amin. Setelah mendapat data, dia lantas melaporkannya ke penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada 2010, misalnya, Mathur mendatangi kantor KPK di Jakarta untuk melaporkan penjualan tanah negara di Kecamatan Socah. Tanah di situ dijual untuk proyek pelabuhan modern, yang hingga kini masih mangkrak. "Tanah negara dijual miliaran. Biaya ukurnya saja sampai Rp 300 juta," ucap Mathur waktu itu.
Gerakan Mathur dan kawan-kawan jelas mengandung risiko. Mutmainah bercerita, suatu malam, pada 2009, rumahnya pernah dilempari batu berbungkus kertas. Kaca jendela hancur berantakan. Pecahan kaca melukai kaki Mutmainah dan Mathur. "Waktu itu adik saya ini menangis karena ketakutan," kata Mutmainah sambil menunjuk perempuan di sisinya.
Teror lain terjadi tengah malam pada 2010. Sepeda motor dan sebagian badan mobil milik Mathur dibakar orang tak dikenal. Aksi pembakaran itu keburu ketahuan dan api bisa dipadamkan. Paginya, Mutmainah melihat banyak ceceran bensin di sekeliling rumahnya.
Meski mulai terbiasa dengan teror, Mutmainah tetap syok ketika tahu suaminya ditembak. Sepanjang hari, Senin pekan lalu, dia terus menangisi sang suami yang berjuang melewati fase kritis di rumah sakit. Emosi perempuan yang tengah mengandung anak kelima ini baru stabil beberapa hari setelah penembakan itu.
Teror tak hanya menghampiri keluarga Mathur. Pada 2011, Wakil Direktur Madura Corruption Watch Fahrillah dibacok. Dua tahun kemudian, hal yang sama menimpa Muzakki dan Mahmudi Khotib. Keduanya dibacok beberapa saat sebelum pemilihan kepala daerah digelar. Pada 2014, aktivis MCW, Musleh, juga dibacok saat hendak membicarakan penyelewengan beras untuk rakyat miskin di Kecamatan Galis.
Untuk menyerukan pengusutan kasus kekerasan terhadap para aktivis itu, Mathur memasang spanduk dengan panjang enam meter dan lebar empat meter di bale-bale rumahnya. Berjudul "Mengawal Demokrasi Melawan Tirani", spanduk itu memuat puluhan foto kekerasan yang dialami aktivis Bangkalan. Mathur juga memasang sejumlah foto seputar teror yang ia alami sejak Kabupaten Bangkalan dipimpin Fuad Amin Imron.
Ketika masa jabatan Fuad periode kedua berakhir pada 4 Maret 2013, Mathur dan kawan-kawan tak berhenti "bergerilya". Maklum, jabatan Bupati Bangkalan hanya beralih kepada anak Fuad, Makmun Ibnu, 26 tahun. Fuad Amin sendiri menjadi Ketua DPRD Bangkalan dari Partai Gerindra.
Pada pertengahan 2014, Mathur kembali melaporkan kasus proyek perbaikan jalan senilai Rp 13 miliar di Desa Martajesah ke KPK. Ia bahkan mengaku memiliki bukti aliran dana untuk mengatur pemenang proyek. Menurut dia, gara-gara bancakan anggaran itu, jalan yang baru diperbaiki cepat rusak.
Fuad—yang tak henti-hentinya dikritik dan sepak terjangnya disoroti MCW—akhirnya memang ditangkap penyidik KPK pada 2 Desember 2014 di rumahnya di Kampung Saksak. Di rumah itu, penyidik menemukan uang Rp 4 miliar yang disembunyikan di beberapa tempat, antara lain di balik lukisan dinding.
Ketika Fuad Amin ditangkap, Mathur diperingatkan sejumlah keluarganya untuk tiarap atau bahkan mengungsi dulu. Tapi dia menolak. Alih-alih tiarap, ia bahkan melaporkan lagi penyelewengan yang dilakukan Fuad. Kali ini menyangkut suap puluhan juta rupiah dalam pengangkatan calon pegawai negeri di Bangkalan. Laporan itu, lagi-lagi, ia serahkan ke KPK.
Rumah Mathur sendiri bagai pos pengaduan bagi warga Bangkalan. Yang datang bukan hanya mereka yang melaporkan penyimpangan proyek besar. Warga Bangkalan yang tak mendapat jatah bantuan beras atau menerima bantuan tapi dipotong sana-sini juga melapor.
Sejauh ini, siapa pelaku dan motif penembakan Mathur belum terang. Proyektil peluru yang tak beralur membuat polisi kesulitan mengidentifikasi jenis senjata yang dipakai, yakni rakitan atau buatan pabrik. "Kalau berdasarkan kalibernya, peluru ditembakkan dari senjata genggam atau laras pendek," ucap Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Awi Setiyono.
Kepala Kepolisian Resor Bangkalan Ajun Komisaris Besar Sulistiyono mengatakan pihaknya sudah mengantongi ciri-ciri penembak Mathur. "Mirip dengan ciri beberapa pelaku kejahatan yang pernah ditangani polisi," katanya. Namun rekan-rekan Mathur tak percaya bila penembakan itu berlatar belakang kejahatan. Mereka yakin penembakan terkait dengan sepak terjang Mathur membongkar korupsi. "Kami yakin itu dilakukan mereka yang terancam oleh laporan Mathur ke KPK," ujar Mahmudi Ibnu Khotib, rekan Mathur di Cide.
Kuasa hukum Fuad Amin, Bahtiar Pradinata, meminta kliennya tak dikait-kaitkan dengan penembakan Mathur. Saat ini, menurut Bahtiar, Fuad sedang berfokus menghadapi proses hukum di KPK. "Jangan berspekulasi, kecuali memiliki bukti yang kuat di mata hukum," kata Bahtiar.
Wuragil, Musthofa Bisri, Edwin Fajerial, Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo