SEORANG pengemis muda menuntun pengemis tua bertongkat,
menghampiri mobil sedan yang berhenti di lampu merah. Sopir
tetap memandang ke depan, acuh tak acuh. Itulah gambar kulit
Panji Masyarakat yang populer dengan sebutan Panjimas, terbitan
terbaru, yang menurunkan laporan utama mengenai pengemis, persis
ketika majalah itu memasuki tahun penerbitannya yang ke-25.
Resepsi diselenggarakan di Restoran Marunda Hotel Wisata
Internasional akhir pekan lalu. Dua hari sebelumnya
diselenggarakan seminar, Ikhtiar Meningkatkan Pemasyarakatan Al
Quran, di Masjid Al Azhar.
Majalah yang didirikan (1959) empat tokoh Muhammadiyah,
diantaranya Buya Hamka itu, kini sudah jauh melangkah. Jika
semula lebih banyak menampilkan artikel dan renungan, kini
laporan bersifat berita mendapat tempat penting, dan terasa
"pop". Bahkan sudah cenderung mengarah ke majalah berita: ada
laporan utama dan laporan dari daerah yang dikirim langsung oleh
korespondennya di berbagai kota. "Komposisinya sekarang, separuh
berita dan separuh artikel serta opini," kata Rusydi, 48 tahun,
putra Almarhum Hamka yang kini menjabat pemimpin umum merangkap
pemimpin redaksi majalah itu.
Perubahan itu bukan sekadar menyangkut keredaksian. Perwajahan
selalu diperbaiki. Dan yang paling mendasar, agaknya, "Panjimas
tidak lagi berbau Muhammadiyah, tetapi disajikan untuk seluruh
umat Islam," kata Rusydi. "Dua kali kami memuat soal NU dan
diprotes kalangan Muhammadiyah. Apa boleh buat, jika sudah
mengikrarkan untuk seluruh umat, berarti semua lapisan harus
disentuh," lanjut Rusydi.
Perubahan itu nampaknya dikaitkan erat dengan pemasaran.
Hasilnya memang terasa. Oplah majalah itu sekarang, menurut
Rusydi, mencapai 55.000 eksemplar -- dan percayalah terjual
habis. "Kami mencetak majalah berdasar pesanan agen, tak ada
sistem konsinyasi dan perkenalan, jadi tak ada majalah kembali,"
katanya. Panjimas sudah menerobos kampus dan pesantren -- suatu
hal yang amat sulit semasih membawa bendera Muhammadiyah.
Sayang iklannya tak banyak. "Mungkin citra Panjimas, menurut
pengusaha, bukan majalah niaga," kata Iqbal Abdurrauf Saimima,
salah seorang redaktur. Walau begitu, mengandalkan pemasaran
saja, kesejahteraan pengasuhnya dinilai sudah lumayan. Bisa
dilihat dari penampilan Rusydi, sekadar contoh saja, yang dulu
memakai Toyota Hi Ace, kini sudah bermobil Corolla DX keluaran
terbaru. Untuk penulis luar dibayar rata-rata Rp 50.000 setiap
artikel.
Di Jakarta dan juga di beberapa kota lain, korespondennya sudah
mendapat gaji tetap. Kini, 15 reporter muda sedang magang di
Jakarta untuk memperkuat barisan redaksi. Karyawannya di
Jakarta, yang berjumlah 42 orang, baru 9 orang yang secara
khusus menangani keredaksian. Satu lagi kemajuan, yang nampaknya
sudah jadi mode di kalangan perusahaan pers, Panjimas mendirikan
Pustaka Panjimas, usaha penerbitan yang mencetak buku-buku,
terutama, yang berkaitan dengan Islam.
Jika ditengok masa lalunya, banyak kerikil yang dilalui
penerbitan ini. "Panjimas lahir pada saat genting," seperti kata
Rusydi, 15 Juni 1959, didirikan tokoh Muhammadiyah: K.H. Faqih
Usman sebagai pemimpin umum, Dr. Hamka sebagai pemimpin redaksi,
Joesoef Abdoellah Poear sebagai wakil dan H.M. Joesoef Ahmad
sebagai pemimpin usaha. Waktu itu terbit tengah bulanan dan
menempatkan diri sebagai majalah independen, tidak terikat
kepada kekuatan politik tertentu, yang saat itu model afiliasi
justru lagi meriah. Keterikatan Panjimas hanyalah kepada
nilai-nilai Islam.
Ujian pertama dihadapi setahun kemudian, tepatnya Mei 1960.
Panjimas memuat tulisan Dr. Mohamad Hatta berjudul Demokrasi
Kita. Tulisan ini menyerang rezim Soekarno dengan demokrasi
terpimpinnya. Akibatnya, Panjimas dibreidel, justru di saat
mendapat simpati masyarakat dan tampilnya penulis-penulis
seperti Dr. Mukti Ali, Prof. Ahmad Ramali, Prof. Bahder Djohan,
dan banyak lagi.
Pengasuh Panjimas tak patah hati. Dengan semangat melawan
publikasi PKI yang semakin menggebu, beberapa tokoh ABRI -- di
antaranya A.H. Nasution yang saat itu Kasad -- mengajak Hamka
mendirikan majalah Islam yang baru. Lahirlah majalah tengah
bulanan, Gema Islam, 30 Juni 1962. Hamka duduk sebagai wakil
pemimin redaksi dan Rusydi sebagai sekretaris redaksi. Dari
kalangan ABRI duduk di antaranya Brigadir Jenderal Muchlas Rowi
dan Kolonel Isa Idris. Rubrik-rubik dalam Panjimas diteruskan di
penerbitan baru ini. Kerikil kedua pun muncul, Hamka ditahan,
1964.
Tak ada yang menyangka, Panjimas diperbolehkan terbit lagi,
setelah runtuhnya Orde Lama. Namun para pendiri Panjimas, selain
Hamka, sudah "tak bisa bergabung lagi". Abdoellah Poear
menyatakan keluar, sedang Kiai Faqih Usman wafat. Maka
dibentuklah Yayasan Nurul Islam, ketuanya Hamka, melanjutkan
penerbitan Panjimas.
Dan 5 Oktober 1966 Panjimas terbit lagi. "Tapi tak ada kaitannya
dengan Panjimas yang dulu lagi," kata Rusydi. Praktis yang
memimpin keredaksian dan perusahaan sejak itu adalah putra kedua
Hamka ini. Buya sendiri sudah nonaktif meski namanya masih
dicantumkan sebagai pemimpin redaksi. Sejak itu berangsur-angsur
bidang keredaksian dibenahi. Mulai 1980 pemasaran mulai
diperluas dan jadwal terbit ditingkatkan dari tengah bulanan
menjadi tiga kali sebulan.
Hari ulang tahunnya yang semarak pekan lalu, menurut Rusydi,
"untuk mengenang para pendiri Panjimas". Dengan demikian kata
Rusydi lagi, pengasuhnya yang sekarang terdiri tenaga muda tak
kehilangan arah bahwa Panjimas adalah media Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini