KEJADIANNYA beberapa hari menjelang Lebaran lalu. Masagus
bersama keluarganya di Jalan Basuki Rachmat, Palembang, sekitar
pukul 1 malam tengah bersiap makan sahur. Tiba-tiba ia
dikagetkan oleh bunyi serentetan tembakan. Tiga buah peluru
menembus pintu rumahnya dan sebuah di antaranya nyaris menyambar
keponakannya yang tengah lelap tidur.
Pengacara Masagus Zainuddin dari LBH Palembang itu, pekan ini
harus membacakan pembelaannya dalam kasus terbunuhnya seorang
mahasiswa Unsri, Martias. Tapi kejadian yang hampir
mencelakakannya masih menghantuinya. Peristiwa itu, penembakan
rumahnya oleh orang tidak dikenal, diduganya berkaitan dengan
perkara yang ditanganinya.
Dalam pengaduannya ke Kepolisian Sumatera bagian Selatan,
Masagus menduga kuat bahwa penembakan itu akibat terbongkarnya
motif yang sebenarnya dari perkara pembunuhan Martias. Tuduhan
pembunuhan, yang semula hanya bermotifkan perampokan disertai
umpan seorang WTS, Yuliana, di peradilan berkembang jadi cerita
lain. Yuliana menyebut beberapa nama sebagai dalang pembunuhan
itu. Bahkan untuk perbuatan itu, kata Yuliana kepada hakim, ia
dijanjikan akan dibayar Rp 6 juta dengan uang muka sebesar Rp
800 ribu.
Sampai Jaksa Zubier Rachmad menuntut hukuman untuk Yuliana dan
seorang temannya, Erwan bin Parmin, masing-masing 20 tahun
penjara, Rabu pekan lalu cerita tentang motif lain itu masih
kabur. Begitu pula siapa pelaku-pelaku yang menembak rumah
Masagus.
Pimpinan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah
pula meminta Kapolri menjernihkan soal itu. Direktur YLBHI,
Adnan Buyung Nasution, sangat menyesalkan tindakan main hakim
sendiri itu. "Padahal, terbongkarnya motif yang sebenarnya di
peradilan, merupakan proses hukum yang wajar," kata Buyung.
Seorang pengacara, katanya, harus berani mengungkapkan semua
fakta di persidangan. "Di sini pembela mempunyai tanggung jawab
besar demi menegakkan keadilan buat tertuduh," tambah Buyung.
Tapi keberanian itu kini agaknya tengah diuji. Praktek pengacara
ternyata tak selalu berjalan mulus "Teror" mental sampai ancaman
fislk senng diterima para pengacara. Menurut Buyung, ketika
Direktur LBH Yogya Sumarni Basarudin menentang model "penembakan
misterius" di kota itu, berbagai macam ancaman harus
dihadapinya. "Mulai dari telepon malam yang memaki-maki dan
mengancam sampai corat-caret di rumahnya," kata Buyung.
Di Jakarta, ancaman dari pihak-pihak yang berperkara atau oleh
orang tak dikenal sering pula terjadi. Sebuah tim pengacara yang
disusun Peradin untuk membela seorang terdakwa beberapa waktu
yang lalu, menurut Buyung, terpaksa bubar. "Sebab para pembela
itu ditelepon malam-malam rumahnya dilempari batu, dan mobilnya
ditimpuki." Kepolisian Jakarta pun, tahun lalu pernah
mengumumkan, berhasil menggulung komplotan penjahat bayaran.
Salah satu perbuatan komplotan itu, menurut polisi, membakar
mobil Pengacara Prasetyo.
Pengacara beken Yap Thiam Hien punya banyak cerita tentang teror
terhadap profesinya. Ia sendiri, beberapa tahun lalu, pernah
mendapat ancaman lewat telepon menyusuli anjing herdernya mati
diracun orang. Sehari setelah itu ia melihat bekas peluru di
kaca depan rumahnya. Tapi polisi, yang mengusut kemudian
menyimpulkan, lubang di kaca rumah pengacara itu tak lain karena
lemparan batu. "Mungkin oleh anak-anak," kata polisi kepada Yap.
Tapi pengacara "tua" itu sampai kini tidak percaya. "Menurut
pengamatan saya, lubang itu akibat peluru jenis senjata cis,"
katanya.
Peluru kadang-kadang tidak hanya menembus kaca rumah pengacara.
Dua tahun lalu, Pengacara Soeripto tergeletak dengan kepala
dirobek peluru di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Saat itu, Soeripto baru saja memenangkan perkara kliennya,
Rosman Rasyad, yang bersengketa dengan kakaknya, Kolonel (Pur)
M. Djamil, mengenai sebuah rumah. Rupanya Djamil tidak puas
terhadap putusan hakim dan langsung membidik kepala Soeripto
yang duduk di sampingnya. (TEMPO, Kriminalitas, 4 Oktober 1980).
Peristiwa yang lebih mencekam lagi, terjadi di Pengadilan Negeri
Krasan, Jawa Timur. Seorang jaksa, Hassan Noer, nekat menembak
mati tertuduh Chandra Hidayat dan pengacaranya, Maksum
Hariyanto. Pasalnya, kedua korban itu berani mengirim surat
pengaduan kepada Jaksa Agung, tentang ulah Hassan mengusut
perkara itu. Namun kasus pembunuhan itu tidak sampai harus
diadili. Karena Hassan saat itu juga menembak dirinya sendiri
(TEMPO, Kriminalitas 8 Agustus 1981).
Tidak sampai harus terkapar dan mandi darah, gertakan serta
ancaman yang lebih lunak, juga dialami oleh pengacara-pengacara
Bandung. Eddy Suardi, misalnya, tahun lalu kedatangan
segerombolan orang yang mengaku kuasa dari lawan kliennya. Ia
kaget ketika tamu-tamu tidak diundang itu begitu masuk kamarnya
langsung menggebrak meja. Buntutnya, Eddy disuruh mengatur
kliennya, untuk melunasi utang-utangnya. Jika tidak dilakukan,
ancam mereka, pengacara itu akan boleh merasakan akibatnya.
Pengacara lain di Bandung, S. Tanusubroto, juga pernah didatangi
oleh seorang yang mengaku kuasa dari lawan kliennya. 'Jagoan'
itu meminta Tanusubroto mengalah saja dalam perkara yang
ditanganinya dan menyerahkan surat-surat bukti yang merupakan
hak kliennya. Pengacara itu menolak. Tapi selama seminggu ia
diteror dengan ancaman melalui telepon, rumahnya didatangi, atau
dibuntuti ke mana pergi.
Pengacara Syaiful dari Medan, akhir tahun lalu mengirimkan surat
ke berbagai instansi, mengadukan kliennya yang mendapat siksaan
di tahanan. Tapi balasan yang diterimanya, sebuah telepon gelap:
"Kau harus tarik diri dari perkara itu, kalau tidak,
keselamatanmu terancam." Berikutnya datang lagi telepon untuk
istrinya yang mengatakan bahwa pengacara itu lagi berkencan
dengan cewek. Untungnya Syaiful malam itu tetap bersama
istrinya. "Bini saya sudah siap mental," kata pengacara yang
mengaku pernah pula mobilnya dilempari batu oleh orang tak
dikenal.
Namun, menurut Yap Thiam Hien, walau berbagai bentuk teror dan
ancaman ditujukan kepada profesinya, belum sampai meluas apalagi
"membudaya". Sebab itu, ia mengharapkan aparat keamanan
melindungi profesi pengacara. "Peradin paling-paling hanya bisa
melakukan protes, tindakan yang berwajib yang diperlukan,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini