Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Maut ditentang pengacara

Pengacara LBH palembang, diserang penembak gelap. membongkar perkara pembunuhan martias di pengadilan. (hk)

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJADIANNYA beberapa hari menjelang Lebaran lalu. Masagus bersama keluarganya di Jalan Basuki Rachmat, Palembang, sekitar pukul 1 malam tengah bersiap makan sahur. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh bunyi serentetan tembakan. Tiga buah peluru menembus pintu rumahnya dan sebuah di antaranya nyaris menyambar keponakannya yang tengah lelap tidur. Pengacara Masagus Zainuddin dari LBH Palembang itu, pekan ini harus membacakan pembelaannya dalam kasus terbunuhnya seorang mahasiswa Unsri, Martias. Tapi kejadian yang hampir mencelakakannya masih menghantuinya. Peristiwa itu, penembakan rumahnya oleh orang tidak dikenal, diduganya berkaitan dengan perkara yang ditanganinya. Dalam pengaduannya ke Kepolisian Sumatera bagian Selatan, Masagus menduga kuat bahwa penembakan itu akibat terbongkarnya motif yang sebenarnya dari perkara pembunuhan Martias. Tuduhan pembunuhan, yang semula hanya bermotifkan perampokan disertai umpan seorang WTS, Yuliana, di peradilan berkembang jadi cerita lain. Yuliana menyebut beberapa nama sebagai dalang pembunuhan itu. Bahkan untuk perbuatan itu, kata Yuliana kepada hakim, ia dijanjikan akan dibayar Rp 6 juta dengan uang muka sebesar Rp 800 ribu. Sampai Jaksa Zubier Rachmad menuntut hukuman untuk Yuliana dan seorang temannya, Erwan bin Parmin, masing-masing 20 tahun penjara, Rabu pekan lalu cerita tentang motif lain itu masih kabur. Begitu pula siapa pelaku-pelaku yang menembak rumah Masagus. Pimpinan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah pula meminta Kapolri menjernihkan soal itu. Direktur YLBHI, Adnan Buyung Nasution, sangat menyesalkan tindakan main hakim sendiri itu. "Padahal, terbongkarnya motif yang sebenarnya di peradilan, merupakan proses hukum yang wajar," kata Buyung. Seorang pengacara, katanya, harus berani mengungkapkan semua fakta di persidangan. "Di sini pembela mempunyai tanggung jawab besar demi menegakkan keadilan buat tertuduh," tambah Buyung. Tapi keberanian itu kini agaknya tengah diuji. Praktek pengacara ternyata tak selalu berjalan mulus "Teror" mental sampai ancaman fislk senng diterima para pengacara. Menurut Buyung, ketika Direktur LBH Yogya Sumarni Basarudin menentang model "penembakan misterius" di kota itu, berbagai macam ancaman harus dihadapinya. "Mulai dari telepon malam yang memaki-maki dan mengancam sampai corat-caret di rumahnya," kata Buyung. Di Jakarta, ancaman dari pihak-pihak yang berperkara atau oleh orang tak dikenal sering pula terjadi. Sebuah tim pengacara yang disusun Peradin untuk membela seorang terdakwa beberapa waktu yang lalu, menurut Buyung, terpaksa bubar. "Sebab para pembela itu ditelepon malam-malam rumahnya dilempari batu, dan mobilnya ditimpuki." Kepolisian Jakarta pun, tahun lalu pernah mengumumkan, berhasil menggulung komplotan penjahat bayaran. Salah satu perbuatan komplotan itu, menurut polisi, membakar mobil Pengacara Prasetyo. Pengacara beken Yap Thiam Hien punya banyak cerita tentang teror terhadap profesinya. Ia sendiri, beberapa tahun lalu, pernah mendapat ancaman lewat telepon menyusuli anjing herdernya mati diracun orang. Sehari setelah itu ia melihat bekas peluru di kaca depan rumahnya. Tapi polisi, yang mengusut kemudian menyimpulkan, lubang di kaca rumah pengacara itu tak lain karena lemparan batu. "Mungkin oleh anak-anak," kata polisi kepada Yap. Tapi pengacara "tua" itu sampai kini tidak percaya. "Menurut pengamatan saya, lubang itu akibat peluru jenis senjata cis," katanya. Peluru kadang-kadang tidak hanya menembus kaca rumah pengacara. Dua tahun lalu, Pengacara Soeripto tergeletak dengan kepala dirobek peluru di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Saat itu, Soeripto baru saja memenangkan perkara kliennya, Rosman Rasyad, yang bersengketa dengan kakaknya, Kolonel (Pur) M. Djamil, mengenai sebuah rumah. Rupanya Djamil tidak puas terhadap putusan hakim dan langsung membidik kepala Soeripto yang duduk di sampingnya. (TEMPO, Kriminalitas, 4 Oktober 1980). Peristiwa yang lebih mencekam lagi, terjadi di Pengadilan Negeri Krasan, Jawa Timur. Seorang jaksa, Hassan Noer, nekat menembak mati tertuduh Chandra Hidayat dan pengacaranya, Maksum Hariyanto. Pasalnya, kedua korban itu berani mengirim surat pengaduan kepada Jaksa Agung, tentang ulah Hassan mengusut perkara itu. Namun kasus pembunuhan itu tidak sampai harus diadili. Karena Hassan saat itu juga menembak dirinya sendiri (TEMPO, Kriminalitas 8 Agustus 1981). Tidak sampai harus terkapar dan mandi darah, gertakan serta ancaman yang lebih lunak, juga dialami oleh pengacara-pengacara Bandung. Eddy Suardi, misalnya, tahun lalu kedatangan segerombolan orang yang mengaku kuasa dari lawan kliennya. Ia kaget ketika tamu-tamu tidak diundang itu begitu masuk kamarnya langsung menggebrak meja. Buntutnya, Eddy disuruh mengatur kliennya, untuk melunasi utang-utangnya. Jika tidak dilakukan, ancam mereka, pengacara itu akan boleh merasakan akibatnya. Pengacara lain di Bandung, S. Tanusubroto, juga pernah didatangi oleh seorang yang mengaku kuasa dari lawan kliennya. 'Jagoan' itu meminta Tanusubroto mengalah saja dalam perkara yang ditanganinya dan menyerahkan surat-surat bukti yang merupakan hak kliennya. Pengacara itu menolak. Tapi selama seminggu ia diteror dengan ancaman melalui telepon, rumahnya didatangi, atau dibuntuti ke mana pergi. Pengacara Syaiful dari Medan, akhir tahun lalu mengirimkan surat ke berbagai instansi, mengadukan kliennya yang mendapat siksaan di tahanan. Tapi balasan yang diterimanya, sebuah telepon gelap: "Kau harus tarik diri dari perkara itu, kalau tidak, keselamatanmu terancam." Berikutnya datang lagi telepon untuk istrinya yang mengatakan bahwa pengacara itu lagi berkencan dengan cewek. Untungnya Syaiful malam itu tetap bersama istrinya. "Bini saya sudah siap mental," kata pengacara yang mengaku pernah pula mobilnya dilempari batu oleh orang tak dikenal. Namun, menurut Yap Thiam Hien, walau berbagai bentuk teror dan ancaman ditujukan kepada profesinya, belum sampai meluas apalagi "membudaya". Sebab itu, ia mengharapkan aparat keamanan melindungi profesi pengacara. "Peradin paling-paling hanya bisa melakukan protes, tindakan yang berwajib yang diperlukan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus