Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berpacaranlah di perpustakaan

Kegiatan membaca masyarakat kita rendah. padahal buku merupakan produk yang horisontal dengan kehidupan manusia, dan guru yang tak pernah marah. agar orang gemar membaca, pustakawan harus santai tapi serius.

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KAU belum membeli buku sejarah itu, kan?" tegur Mini di halaman sekolah. Aku mengangguk. "Pinjam saja bukuku," katanya. "Tidak usah. Aku akan ke toko buku nanti sore." "Pinjam dulu punyaku." Buku sejarah itu berpindah ke tanganku. Entah kenapa ia begitu ingin bukunya kupinjam. Aha! Buku sejarah itu ternyata mengandung sejarah yang lain. Terselip sepucuk surat di dalamnya. Mini menyatakan cintanya dalam surat itu. Malam itu aku membuat pekerjaan rumah yang paling sulit: mengungkapkan perasaanku terhadap Mini dalam sepucuk surat. Bukan cinta pertamaku, tetapi itulah pertama kalinya aku mengetahui kegunaan buku yang lain. Sejak itu kami rajin pinjam-meminjam buku. Lalu Mini pindah ke kota lain. Dan aku pun menemukan teman lain yang suka meminjamkan bukunya. Dengan sepucuk surat terselip. Atau, kalau buku itu buku cerita, ada beberapa ungkapan cinta dari karangan itu yang digarisbawahi dengan pensil, lalu di margin halaman ada tambahan ungkapan atau pernyataan khusus dari si empunya buku. Sudah semestinya pula aku merasa perlu membubuhkan garis-garis bawah yang lain, dan catatan-catatan margin yang lain. Ya, kalau kau tanya padaku sejak kapan aku akrab dengan buku, itulah jawabnya. Waktu itu SIM (Surat Izin Mencium) belum jadi isu. Dan Eko Sulistyo belum lahir dan belum lagi diramal bakal membuat kejutan dengan angket seksnya. Apakah aku harus malu, bahwa aku perlu buku terutama bukan karena isinya, tapi karena fungsi mediasinya? Tidak. Buku memang langka di zamanku. Dan mahal. Di zaman itu aku harus antre di kelurahan dengan kupon untuk mendapat jatah beras campur jagung. Tekstil pun harus ditebus dalam antrean yang panjang dan kacau. Juga minyak tanah. Juga minyak jelantah (begitu kotornya minyak goreng itu sehingga Ibu selalu menyebutnya minyak jelantah -- minyak bekas menggoreng). Toko buku memang tidak diantre. Karena orang tidak mempunyai uang untuk buku. Aku ingat, aku harus menunggu ulang tahunku yang masih tiga bulan untuk mendapat buku fabel Jean de la Fontaine. Dan heran, buku yang hanya satu kopi itu belum laku juga di toko buku Van Dorp ketika akhirnya dibeli Ayah untukku. Untung ada Perpustakaan Negara di halaman sekolah. Dan hierarchy of needs untuk buku mulai meningkat menjadi kebutuhan yang cukup penting, tidak sekadar untuk menukar surat cinta. Zaman memang sudah berubah. Aku tidak perlu lagi menunggu tiga bulan untuk mendapat buku yang kuinginkan. Anakku tak kenal Jean de la Fontaine. Yang dikenalnya Herge dengan Tin Tin-nya, atau Gosciny dengan Asterix-nya. Anakku tidak membaca Karl May. Pengetahuan lingkungan hidup dan kemasyarakatan kini diajarkan oleh Barbara Ward (almarhmah) atau seri Time-Life. Masih untung mereka membaca, karena di rumah memang tidak ada video. Toko buku bermunculan di mana-mana. Penuh pengunjung, sekalipun banyak yang masuk hanya untuk numpang baca komik. Tetapi pada saat yang sama depot penyewaan kaset video pun "masuk desa", menyusup di mana-mana. Jumlah toko buku pasti sudah kalah sekarang. Di sebuah kantor penerbitan, dengan sedih kulihat para karyawannya pulang menenteng kaset video, bukan buku. Di sebuah kampus Rosihan Anwar menyebut ia mempunyai jatah membaca dua buku dalam seminggu. Dan, ketika ditanya, tidak seorang pun mahasiswa yang mempunyai disiplin membaca seperti Rosihan. Padahal merekalah yang paling rajin mengeluh tentang kurangnya fasilitas perpustakaan. Debu-debu di rak buku perpustakaan menjadi saksi kecilnya minat terhadap perpustakaam Seorang dosen UI menyuruh mahasiswa baru mencatat buku-buku di perpustakaan yang sesuai dengan bidang minatnya. Seminggu kemudian para mahasiswa menyerahkan daftar itu. Tetapi tidak seorang pun yang meminjam buku. "Lho, katanya hanya disuruh mencatat," jawab mereka. Tanyai keponakan Anda yang mahasiswa: berapa anggarannya untuk rokok. Ehm, sepak sehari. Tanyai lagi: berapa kaset video dilihatnya dalam seminggu. Ya, nggak mesti. Tadi malam sih tiga. Habis, Brooke Shield. Tapi biasanya cukup satu kaset sehari, kecuali silat. Pertanyaan ketiga: berapa anggarannya untuk buku. Dan jawabannya hampir pasti hanya tatapan mata yang kosong. Ini tentu bukan generalisasi. Belum ada riset yang otoritatif tentang hal ini. Jadi jangan anggap ini pars pro toto: sebagian untuk seluruhnya. Tetapi gejala ini tampak jelas. Mahasiswa yang banyak membaca buku dan tidak pernah kelihatan menggandeng cewek malah disangka homo, impoten atau kuper, kurang pergaulan. Pernah menanti di ruang tunggu praktek dokter? Orang-orang menunggu tanpa sabar. Sebentar mendesah, sebentar mendecak, lalu berdiri merentakkan kaki dan berjalan ke suster penjaga: "Masih lama, ya?" Menanti memang menjengkelkan. Anda sendiri mungkin lantas iseng membeli majalah dan membacanya untuk membunuh waktu. Tetapi, berapa orang yang telah mempersiapkan diri menghadapi situasi itu, dan membawa buku atau bacaan dari rumah? Buku adalah guru yang tidak pernah marah. Buku adalah teman yang setia bersama Anda: di mana saja, kapan saja -- kecuali ketika meyelam di laut atau bersembunyi di kolong selama gerhana. Dalam Injil, amsal Sulaiman menyebut banyak hal tentang kegiatan membaca sebagai sumber ilmu. Quran pun mencatat ayat penting yang menyuruh orang membaca. Iqra! Iqra! Buku memang tidak perlu menjadi komoditi yang sakral dan intelektual, karena buku adalah produk yang horisontal dengan kehidupan. Perpustakaan pun tidak boleh menjadi sanctum sanctorum yang steril dan sunyi bagai ruang rekaman. Buku dan perpustakaan harus ditank segaris dengan dimensi manusia. Prancis telah memasyarakatkan komik dan sekaligus meningkatkan derajatnya Komik bukan lagi bacaan murahan yang bersifat hiburan, tetapi juga punya komitmen. Jepang menerjemahkan begitu banyak buku asing dan menerbitkan dengan kertas koran yang murah. Orang membeli buku di sebuah stasiun, membacanya habis dalam perjalanan, dan membuangnya ke tempat sampah di stasiun tujuan. Bagi mereka buku bukan diperlukan untuk pajangan, tetapi ditelan isinya. Maindert de Jong, orang Amerika pertama -- kelahiran Belanda yang memenangkan Andersen Award di tahun 1962 menyerukan agar anak-anak sedunia mencari teman melalui buku. Itu dialaminya sendiri semasa kecil, ketika ia baru tiba di New York. Ia mulai belajar berbicara bahasa Inggris, tetapi ia hanya bisa membaca buku dalam bahasa Belanda. Alhasil, karena langkanya buku berbahasa Belanda, buku-buku untuk orang dewasa pun dilahapnya. Sampai ia menemukan teman yang berkata: "Kalau kau bisa berbicara dalam bahasa Inggris, kau pun tentu bisa membacanya. Kalau perlu mulallah dengan membaca buku cerita anak-anak." Teman itu lalu mengajaknya ke perpustakaan, dan di sanalah ia menemukan dunianya -- cerita anak-anak. Imbauan membaca buku memang tidak perlu disampaikan secara serius. Kalau targetnya adalah remaja yang masih suka bermain CB dan bergabung dalam Corolla Club, kenapa tidak dicoba: "Carilah Pacar lewat Buku"? Atau, lebih ekstrem: "Berpacaranlah di perpustakaan. Sepi dan sejuk". Dan para pustakawan boleh bersiap menghadapi jenis pengunjung yang baru. Tidak lagi remaja serius dengan kaca mata setebal pantat botol, tetapi remaja santai berkaca mata Porsche dan rambut digunting model punk. Meminjam istilah orang teman, perpustakaan pun harus di-sersan-kan. Sersan ? Ya, serius tapi santal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus