"KEPIMIMPINAN Perdana Menteri Kaifu telah membawa semangat baru dalam kerja sama dan hubungan Jepang-Amerika," demikian sanjungan Presiden AS George Bush, selepas pertemuan puncak di Palm Springs, AS, Maret silam. Kendati banyak pejabat Jepang tidak begitu suka akan hasil perundingan itu -- intinya membuka pasar Jepang lebih luas untuk barang-barang Amerika -- pujian seorang Presiden AS sudah merupakan kunci bagi PM Kaifu untuk lebih memantapkan posisinya. Toshiki Kaifu, 59 tahun, tampil di pentas politik Jepang pada Agustus 1989, menggantikan PM Sousuke Uno, yang mengundurkan diri -- antara lain karena skandal seks. Menurut ukuran Jepang, Kaifu tidak hanya tergolong muda, tapi juga merupakan tokoh bersih, yang sangat diperlukan untuk menyelamatkan citra LDP yang tercoreng-moreng gara-gara skandal Uno dan skandal saham Recruit Cosmos. Pilihan LDP atas ahli hukum lulusan Universitas Waseda ini ternyata tepat sekali. Ia tidak hanya memperbaiki citra LDP tapi melalui pemilu Februari lalu berhasil merenggut kemenangan bagi partainya, yang waktu itu terguncang keras oleh kemajuan pesat Partai Sosialis Jepang. Bahkan ada yang sampai meramalkan oposisi yang dipimpin oleh politikus wanita Takako Doi itu mungkin akan mengukir era baru dalam sejarah Jepang. Hal itu tak sampai terjadi. LDP memenangkan pemilu dan Toshiki Kaifu ditunjuk kembali sebagai PM. Ia adalah PM ke-76, puncak karier yang dicapainya sesudah merintis bidang politik sejak usia 29 tahun. Waktu itu Kaifu terpilih sebagai anggota Diet (Parlemen) termuda. Selang 16 tahun kemudian, pada usia 45 tahun, ia diangkat sebagai Menteri Pendidikan, dalam kabinet Takeo Fukuda (1976). Ia terpilih kembali untuk pos yang sama pada 1985, di bawah PM Yasuhiro Nakasone. Dengan slogan kerjanya, yang dirumuskan sebagai "dialog dan reformasi". Kaifu bertekad akan meningkatkan reformasi politik di dalam negeri, seraya meneruskan kebijaksanaan yang selama ini ditempuh dalam politik luar negeri. Di samping itu, Kaifu menegaskan adanya dua dimensi dalam diplomasi Jepang kini. Pertama, peranan Jepang sebagai anggota dunia bebas, yang bertanggung jawab mempertahankan hubungan segi tiga Jepang-AS-Eropa, dengan Jepang-AS sebagai porosnya. Kedua, posisi Jepang sebagai sebuah negara Asia. Garis-garis kebijaksanaan itu ternyata diterapkan secara konsisten. Dalam kisruh hubungan dagang Jepang-AS, ketekunannya dalam berdialog telah menjembatani dua kepentingan yang begitu berbeda. Setidaknya ia jadi penyejuk, justru ketika pendapat umum di Jepang terpengaruh oleh buku berjudul "Jepang yang Tidak Bisa Mengatakan Tidak" yang ditulis oleh politikus sayap kanan Shintaro Ishihara bersama bos Sony Corp., Akio Morita. Dua pendapat Ishihara kabarnya telah menarik perhatian AS. Pertama, bahwa Jepang dapat saja mengubah keseimbangan kekuatan dunia, dengan menjual microchip ke Uni Soviet, dan bukan ke AS. Kedua, meningkatnya ketegangan Jepang-AS tak lain karena sikap rasial yang dianut orang-orang Amerika. Pendapat yang begini ekstrem, oleh sebagian orang, diperkirakan mewakili pendapat yang kini benar-benar diyakini di Jepang. Paling tidak oleh satu juta orang yang membeli buku itu, yang sebagian besar adalah mahasiswa. Terlepas dari pro dan kontra Ishihara, buku itu mencerminkan satu Jepang yang sama sekali lain, Jepang yang sangat percaya diri, Jepang yang raksasa ekonomi, Jepang yang berada di persimpangan jalan. Kekuatan ekonominya memungkinkan negara itu memainkan peran yang tidak cuma sekadar kreditor terbesar di dunia, tapi yang mampu memikul tanggung jawab internasional yang lebih besar, politis maupun ekonomis. Sepintas, Jepang tampaknya kurang sudi memainkan peran yang begitu besar. Apalagi selama berada di bawah payung militer AS, Jepang tak mau repot soal keamanan regional hingga bisa memusatkan potensinya pada kejayaan ekonomi. Tapi kini sikap acuh tak acuh sudah harus ditinggalkan. Pelbagai pendekatan yang dilakukan PM Kaifu mengisyaratkan bahwa Jepang akan secara bertahap memainkan peran yang semakin besar itu di gelanggang internasional. Di bawah panji-panji "Peningkatan Kerja Sama Internasional", Kaifu melancarkan tiga hal: meningkatkan bantuan untuk pembangunan, memperkuat pertukaran budaya, dan merintis kerja sama internasional demi perdamaian. Berbagai lawatan yang dilakukan Kaifu ke tiga kawasan -- Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Eropa -- tampaknya mengemban tiga program besar itu. Kunjungannya ke Polandia dan Hungaria merupakan bukti nyata akan kelincahan manuver diplomasi Kaifu, di samping kegesitannya menyambut reformasi besar-besaran di belahan bumi itu. PM Jepang ini tak ragu-ragu menaburkan bantuan US$ 1,95 milyar, yang katanya dimaksudkan sebagai dukungan Jepang bagi kedua negara tersebut dalam menuju kebebasan, demokrasi, dan ekonomi pasar. Kemurahan hati Jepang ini membuat negara tetangga di kuwasan Asia bertanya-tanya. Apakah Jepang akan berpaling dari Asia, yang masih sangat memerlukan bantuannya? Pemimpin Muangthai PM Chatichai segera melawat ke Tokyo. Media massa secara luas memberitakan tema pembicaraan Chatichai-Kaifu, yang terpusat sekitar masalah Kamboja. Namun, di luar itu, masalah bilateral pastilah diutamakan, apalagi jika mengingat dalam dua tahun terakhir Muangthai tercatat sebagai negara yang menampung investasi Jepang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Bagaimana perihal Indonesia? Bank Dunia memang mengisyaratkan bahwa bantuan khusus untuk Indonesia sudah harus ditiadakan pada tahun 1993, tapi sikap Jepang agaknya akan lain. (Baca Widjojo-san Dapat Meyakinkan Kami). Dubes Indonesia untuk Jepang, Yogi Supardi, dalam keterangannya pada Suara Pembaruan, merasa optimistis bahwa Jepang akan memenuhi permintaan Indonesia, khususnya dalam paket bantuan khusus (special assistance loan). Hal yang sama diutarakan Menteri Muda Perdagangan Soedradjat Djiwandono kepada Bambang Aji dari TEMPO. "Biasanya permintaan kita dipenuhi, meskipun jumlahnya sedikit berkurang," katanya ringan. Ahli ekonomi moneter Anwar Nasution juga tidak meragukan komitmen Jepang. Hanya saja, ia menempatkan komitmen itu dalam dinamika ekonomi Jepang. "Jepang sekarang sudah menjadi pusat industri hi-tech," tegasnya. "Dengan perkembangan sepesat itu, Jepang perlu merelokasi pabrik-pabrik yang padat karya ke negara-negara lain. Untuk itu, kawasan Asia Tenggara merupakan pilihan yang terbaik buat Jepang," kata Anwar. Dengan relokasi industri di Asia Tenggara, Pemerintah Jepang tidak saja mendorong swastanya untuk melakukan investasi di kawasan itu, tapi juga menjamin suksesnya. Bagaimana? "Dengan menyediakan prasarana," Anwar menjelaskan. Lalu Indonesia dijadikan contoh. "Jalan kurang, ia bikin jalan (sebagian jalan tol dibiayai oleh pinjaman dari Bank Exim Jepang). Listrik jelek, ia bantu listrik." Ujung-ujungnya, semua uluran itu memang seiring sejalan dengan kebutuhan Jepang sendiri. Karena itu pula Anwar tak mengkhawatirkan soal bantuan Jepang untuk Indonesia. "Mereka akan tetap memberikan, demi memacu investasi pihak swastanya," ucap ekonom ini, yang belum lama kembali dari memperdalam studi di Kyoto, Jepang. Hanya saja, ia menyayangkan, bila Indonesia sampai terlalu menggantungkan diri pada special assistance loan. "Lha, namanya saja spesial. Kalau terus-menerus itu sudah bukan spesial lagi," komentarnya, setengah bergurau. Sementara itu Soedradjat bicara tentang volume investasi Jepang di Indonesia yang kini menurun. Katanya, dana Jepang lebih banyak mengalir ke Eropa dan AS. Dan kendati ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang masih terbilang tinggi (13,8%), sementara ke AS cuma 9,6%, "toh pasar Jepang bagi kita masih sulit ditembus," ujar Soedradjat. "Pasar Jepang mempunyai karakteristik tertentu." Ciri-ciri sulit ditembus, sulit ditebak kendati barangkali tidak sulit dimintai bantuan -- agaknya akan membayangi senyum dan lambaian tangan PM Kaifu, ketika ia mengayunkan langkahnya di negeri ini. Pemimpin yang hobinya membuat rekaman video, mendengar musik, dan berenang itu mungkin masih akan mengamalkan motto favoritnya, "Politik dimulai dengan ketulusan." Agaknya, inilah motto dari seorang tetangga yang baik, yang sedang berusaha mengubah citra, dan barangkali juga mengubah dunia. Isma Sawitri, Yopie Hidayat, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini