GANJALAN bagi pengusaha Indonesia sudah ditiadakan. Pencabutan SK 234 tahun l979, pekan lalu, telah membuka kesempatan pengusaha di sini berhubungan langsung dengan rekan usaha mereka di Eropa Timur dan Uni Soviet. Segala transaksi ekspor, sejak itu, tak perlu lagi dikoordinasikan dan dilakukan melalui PT Panca Niaga sebagai pemegang surat mandat tadi. "Ini merupakan tantangan bagi mereka (Blok Timur) untuk menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan kita,"ujar Djukardi Odang, direktur Panca Niaga. Syukur, pihak Perwakilan Dagang Soviet di Jakarta menunjukkan tanda-tanda menyambut gembira beleid baru itu. Stanislav P. Polyakov, kepala perwakilan itu, mengibaratkan hubungan dagan kedua negara bagai dua kesebelasan sepak bola yang menghendaki terbukanya kesempatan yang berimbang, dan "sama-sama menginginkan gol terbanyak". Dia beranggapan, pemecahan ganjalan politis itu sekaligus juga merupakan usaha melancarkan perdagangan kedua negara. Usaha pemerintah menghilangkan ganjalan itu memang tidak tanggung-tanggung. Sesudah Juni silam delegasi Kadin mengunjungi pelbagai negara di Blok Timur, pekan lalu, Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana beserta rombongan berangkat menuju negara-negara yang sama. Pemerintah berjanji akan mempermudah pemberian visa baik bagi misi dagang maupun ahli-ahli mereka yang akan berkunjung ke sini. Persoalannya tinggal apakah pihak Soviet juga bersedia menghilangkan ganjalan serupa. Soal penunjukan agen mereka di sini, yang ditentukan oleh mereka sendiri, misalnya, seperti yang dikatakan Harry Tanugraha, ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) menutup kemungkinan pengusaha lain bisa masuk pasar Soviet. Sejak perjanjian dagang Indonesia-Soviet ditandatangani pada 1974, volume ekspor impor kedua negara menunjukkan pasang surut cukup besar. Sejak tahun 1975 itu, Indonesia - yang banyak menjual karet, minyak kelapa, kopi, dan rempah-rempah memperoleh surplus US$ 250 juta. Bisakah Soviet meningkatkan ekspornya? Moskow tampaknya akan sulit untuk bisa memperbesar volume penjualan mesin mesinnya, jika soal pelayanan purnajual tidak diperhatikan. Karena alasan itulah, Djukardi mengaku, "Pesimistis perdagangan kedua pihak bisa meningkat." Pengalaman masa lalu menunjukkan, tiadanya jaminan purna-jual telah menyebabkan pengusaha swasta di sini jadi "babak belur" katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini