BERTANDINGLAH, dan kuatlah. Pesan ini -- untuk eksportir teksil Indonesia yang sudah masuk ke pasar internasional -- kian santer. Tapi tak berarti tiap eksportir bisa langsung terjun bersaing. Menghadapi ketentuan kuota global, yang mungkin akan diberlakukan oleh pasar tekstil utama, yakni AS (yang tampaknya kian proteksionistis), Departemen Perdagangan pun memulai langkah baru untuk "pembinaan". Anggaplah seperti uluran tangan pemerintah untuk menyiapkan petinju domestik (yang umumnya kurus) di Olimpiade. Memang selalu jadi soal, bagaimana uluran tangan tak berarti tambahan keruwetan apalagi dalam semangat deregulasi atau pengenduran kendali sekarang ini. Syarat untuk jadi eksportir mudah: harus memenuhi target minimum, yakni menghasilkan US$ 400.000 dalam tempo dua tahun. Menurut beberapa eksportir, target itu umumnya bisa dipenuhi dalam tempo satu bulan. Tapi toh ada seleksi. Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kumhal Djamil, mengatakan kepada TEMPO pekan lalu, perlu dibedakan, dan akan terbukti nanti, mana eksportir yang profesional, dan mana yang sebenarnya hanya "calo kuota". Ambil contoh pembagian kuota untuk pasar Amerika, yang baru-baru ini diberikan untuk setiap eksportir. Posisi mereka ditempatkan sesuai dengan prestasi mereka tahun silam, dihitung sejak 1 Juli 1986 sampai 30 Juni 1987. Dasarnya: laporan dari para pengusaha satu per satu, dicocokkan dengan laporan Kanwil Perdagangan di daerah perusahaan itu. Bila tak cocok, Departemen Perdagangan untuk sementara memakai laporan Si Kanwil. Bila ini tak memuaskan, Dirjen Kumhal kasih jalan: perusahaan yang jatah kuotanya tak sesuai dengan laporannya, silakan memperlihatkan buktinya ke kantor di Jalan Abdul Muis, Jakarta, itu. Selain laporan Kanwil dan perusahaan, masih ada satu laporan lagi yang akan dipakai, yakni data SCI (special custom in voice) dari pabean AS. Dalam catatan pabean AS yang sampai 26 Juni lalu, misalnya, menurut laporan Iberc Quota Monitoring, kuota Indonesia rata-rata baru terisi 63%. Angka rendah ini bisa menimbulkan pertanyaan, mampukah seleksi yang diatur Departemen Perdagangan menampilkan eksportir yang tangguh & tulen. Jawab pemerintah ringkas: angka itu kecil karena masih banyak barang yang belum tiba di AS. Direktur Tekstil Departemen Perdagangan, Atje Wiryawan, memperkirakan seluruh ekspor baru akan tiba di AS sekitar September. Jalan dari Indonesia ke AS memang lama. Tapi dengan itu pula akan diuji siapa yang bisa ke sana, dengan barang dagangan yang jitu. Sebab, ada dugaan bahwa kuota tak habis, karena ada eksportir yang mengirim kategori pakaian jadi yang kurang laku. Kuota jaket wanita, misalnya, menurut laporan Iberg, baru terisi 13,6%. Berarti masih ada sisa sekitar 84%. "Yah, di sinilah tuntutan profesionalisme bagi pengusaha," komentar Dirjen Kumhal. "Bila ia tidak bisa memenuhi kuotanya, jatahnya tiap tahun akan dipotong. Akhirnya akan ketahuan, siapa yang selama ini eksportir profesional, siapa yang sebenarnya hanya calo." Mana yang "pro" dan mana yang "calo", sebenarnya tak gampang ditentukan -- juga oleh pihak pemerintah. Ada misalnya perusahaan yang mengeluh: ia pernah mengekspor sampai 27.000 lusin, tapi jatahnya kini kok hanya 14.000 lusin. Kumhal, yang baru sekitar dua bulan bertugas di Departemen Perdagangan, mencoba menjelaskan beberapa sebab yang mungkin. Satu: ketika kuota hendak dibagikan, perusahaan itu berlomba mengekspor sebanyak-banyaknya dengan banting harga. Ini dianggap merugikan. "Janganlah kejatuhan harga yang telah terjadi di komoditi tradisional seperti karet terjadi pula di produk industri, seperti tekstil ini," ujar Kumhal. Maka, terpaksa Departemen Perdagangan memotong kuota perusahaan yang dianggap kurang gesit menjual mahal. "Lebih baik kuota diberikan kepada eksportir yang mampu cari devisa tujuh dolar, daripada eksportir yang hanya bisa meraih tiga dolar," katanya. Kemungkinan lain, dan ini sering dialami: ada produk yang diembargo AS, karena melampaui kuota yang ditentukan. Pemerintah AS memang kemudian mengizinkan barang itu, tapi perhitungan kuota tahun berikutnya dipotong. Dalam kasus begini, tak peduli perusahaan mana yang melanggar batas, semua perusahaan kena gunting kuotanya. Bila terjadi pelanggaran kuota, yang menimbulkan embargo oleh pabean AS, Departemen Perdagangan tentu akan mengusut eksportir yang nakal, kata Dirjen Kumhal. Buktinya, pernah ada enam perusahaan yang kena skors. Enam perusahaan itu kini memang sudah mengantungi surat izin ekspor lagi. Bagi mereka yang menganggap pemberian izin baru itu menunjukkan pemerintah "kurang konsisten", Dirjen Kumhal menjawab, "Perusahaan itu 'kan suatu aset, yang berbentuk investasi, manusia, kemampuan berproduksi, kemampuan menjual, dan sebagainya. Bila eksekutif perusahaan itu yang salah, apa perusahaan itu harus dimatikan?" Dengan kata lain, pembinaan memang tak sama dengan pembinasaan. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini