ARJUNA itu adalah Arjuna Wijaya. Arjuna menang. Pada 16 Agustus barusan Presiden Soeharto meresmikan patung yang panjangnya 23 m, tinggi sekitar 5 m, dan beratnya 3,600 ton itu. Inilah hadiah Gubernur kepada masyarakat Jakarta, di saat memperingati HUT Proklamasi RI ke-42. Patung ini, di ujung selatan jalur tengah Jalan Merdeka Barat, bermuara di bundaran air mancur Bank Indonesia. Terdiri delapan kuda, berbaris duadua, beringas menarik sebuah kereta bcrukir, berbentuk garuda. Di atas kereta tegak dua lelaki gagah. Yang satu sebagai sais, yang satu lagi mengangkat busur. Mereka berkain, tapi telanjang dada. Rambut disanggul, sebagian terurai di tengkuk. Apakah para warga Jakarta yang padat dan hiruk-pikuk itu mengenali Arjuna dan Kresna, sang sais, di tengah kehidupan mereka? Tentu tak semua. Apalagi mereka yang buta dengan dua tokoh dalam cerita Mahabarata itu. Begitu pula mereka yang tahu, dan berpegang pada masa lalu. Di patung itu tak mereka lihat, misalnya, sanggul sepit udang pada Arjuna, atau makota pada Kresna, raja Dwarawati itu. Boleh jadi -- karena judulnya ada juga yang mengacaukan patung ini dengan Arjuna Wijaya Empu Tantular, yang mengisahkan Arjuna Sasrabahu (ini bukan Arjuna Pandawa) melawan Rahwana. Patung Arjuna yang diresmikan itu bukan menggambarkan menang perang. Ia memang mengangkat busur, setelah melepaskan anak panah, tetapi mengalahkan egosentrisme. Mengalahkan sikap serta berbagai perasaan dan dorongan yang muncul dari aku. Patung dengan prasasti memang bersatu padu. Prasasti itu tulisan Presiden, berbunyi: "Kuhantarkan kau, melanjutkan perjuangan, mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang tiada mengenal akhir". Rasanya, maknanya berbobot, untuk direnungkan. Jika delapan ekor kuda itu diberi arti satu per satu -- seperti dalam buku pengantar peresmiannya -- justru berlebihan. Tak ada faktor pada patung kuda itu, atau dalam tradisi (sastra, perwayangan, dan lain-lain), yang memancing orang berpikir: kuda yang satu dalam patung ini berarti semangat cinta tanah air, sedang kuda yang lain berarti semangat berani membela tanah air, dan yang lain lagi semangat kepahlawanan, misalnya. Tetapi, mengabaikan faktor pada rupa yang tampak, pada cinta, pada konteks tradisi atau kebudayaan, dapat membawa ke dalam kontradiksi yang tak diharapkan. Misalnya tentang karang yang dipasang. Pada tingkat citra atau representasi, jelas, karang itu bagian dari padang tempat pertempuran terjadi. Yaitu, menurut sastra, Padang Kuru atau Kurusetra. Karang itu tak rata. Banyak lubang dan benjolan besar, tajam. Apakah kereta dapat melaju di tempat seperti itu -- konon dengan kecepatan yang terbaca pada sikap kedelapan kuda? Karang itu bakal tertutup air, memancar dari bawah kaki kuda, lalu melimpah di sisi-sisi karang, dan masuk ke kolam di sekeliling patung. Boleh jadi air ini mencolok -- enak dilihat di siang terik -- ditambah unsur sinar lampu pada malam hari yang mencuatkan pemandangan mengasyikkan. Di Padang Kuru tentu tanpa limpahan air. Patung ini diharapkan akan menyenangkan banyak orang -- meski tak menyediakan tempat yang lebih lapang, santai, untuk memandangnya. Dengan mematahkan sedikit garis arah lajunya kuda dan keret -- atau memiringkannya sedikit -- dan meragamkan (memvariasikan) sikap kuda, patung yang berkelompok itu, bisa menarik dilihat dari berbagai arah. Warnanya yang putih kemerahan membedakan patung itu dari sekitarnya. Bentuk kuda dan manusia disederhanakan. Dan ini memungkinkan penggayaan. Perhatikan, misalnya, suri dan ekor kuda. Dan ini menambah enak dilihat, halus, tetapi kontras dengan karang yang kasar tadi. Delapan ekor kuda memberi kesempatan pada pematungnya untuk menunjukkan kebolehannya. Kawanan kuda lebih menonjol dari Arjuna dan Kresna. Orang bertanya: delapan kuda yang menarik sebuah kereta perang, dengan muatan dua orang, apa tak merepotkan? Biaya patung ini, konon, Rp 300 juta (ada majalah terbitan Jakarta menyebut milyar). Tetapi pematungnya, Nyoman Nuarta, menemukan cara bekerja dengan polyester resin celcoat, menyingkat waktu, memperkecil risiko, dan menekan biaya. Arjuna Wijaya mulai dikerjakan April lalu. Dan baru siap dipasang pada minggu pertama Agustus ini. Nyoman lahir di Tabanan pada 1951. Mempelajari seni patung di Institut Teknologi Bandung, ia lulus pada 1979. Ketika mahasiswa, ia bergabung dengan kelompok Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979). Pada 1979 ia beroleh penghargaan sebagai pemenang perseoranan Sayembara Patung Proklamator Republik Indonesia, di Jakarta. Ia juga ikut serta dalam sejumlah pameran bersama. Nyoman banyak mengerjakan elemen estetik untuk gedung. Di antaranya untuk Hotel Putri Bali, Nusa Dua, Bali (1984), Kantor BRI Jakata (1985), Kantor Bank Dagang Negara Ambon (1986), dan gedung DPRD Jawa Timur (1986). Ia juga menghasilkan beberapa karya untuk ruang kota, seperti Badak Putih di depan Balai Kota Bandung (1980), dan Monumen Bandung Timur (1981). Patung-patungnya ada dalam koleksi perseorangan. Ia bekerja dengan perunggu, tembaga (baik cor maupun ketok), kuningan, fiberplaster, polyester resin, dan lain-lain. Di sanggarnya yang besar di Setrasari, Bandung, ia bekerja. Ia dibantu oleh sekitar 30 orang, yang digajinya tiap bulan. Arjuna Wijaya digarap sebuah tim yang terdiri dari sekitar 50 orang. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini