Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ke penjara lewat pajak

Api surya winata, dir. pt kebayoran inn, orang pertama yang diadili dalam kasus manipulasi pajak. terbukti menyampaikan spt yang salah. tindakan hukum tersebut untuk menyadarkan masyarakat tentang wajib pajak.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Api Surya Winata, Direktur PT Kebayoran Inn, boleh dicatat dalam sejarah peradilan kita. Karena dia "korban" pertama undang-undang pajak yang baru. Pengusaha hotel yang juga mengelola Restoran Vic's Viking itu, Senin pekan lalu, divonis 1 tahun penjara ditambah denda Rp 31 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai S.M. Binti. Pengadilan menganggap Api terbukti berbohong dalam mengisi surat pajak (SPT) sehingga merugikan negara Rp 31 juta. Api, lahir di Belitung 67 tahun lalu dituduh menyampaikan SPT (Maret, 1985) yang tidak benar untuk laporan pajak perusahaannya. "Terdakwa telah mempekerkecil angka omset, biaya, dan laba perusahaan," tuduh Jaksa Yamin, yang membawa perkara itu ke pengadilan. Omset hotel yang seharusnya Rp 828 juta dilaporkan hanya Rp 558 juta, sementara biaya diturunkan dari Rp 715 juta menjadi Rp 545juta. Akibatnya, tentu saja, laba yang seharusnya dilaporkan sebesar Rp 112 juta mengecil jadi Rp 13 juta. "Dari perhitungan itu terdakwa hanya membayar pajak yang seharusnya Rp 33 juta menjadi hanya Rp 2 juta," begitu Jaksa menuduh. Api berusaha membantah sengaja menggelapkan pajak. "SPT itu berikut lampirannya diisi oleh akuntan saya. Saya percaya saja dan saya tanda tangani," ujarnya. Ia, katanya, juga percaya saja kepada akuntannya bahwa keuntungan tahun itu hanya Rp 13 juta. Apalagi keuntungan tahun sebelumnya tidak lebih dari Rp 3 juta. Majelis hakim tidak mempercayai cerita Api tersebut. Sebagai contoh soal dari pelanggaran undang-undang pajak yang baru, Undang-Undang Nomor 6/1983, majelis tidak sampai menghukum Api tiga tahun penjara, sesuai dengan ancaman maksimal. Tapi dianggap cukup sepertiganya saja. Kasus Api itu diakui Direktur Jenderal Pajak, Salamun A.T., sebagai tanda dimulainya penindakan secara hukum terhadap para wajib pajak yang melanggar undang-undang. Dalam rencana jangka panjangnya, tentu, untuk memasyarakatkan pajak. "Pada masa awal Orde Baru, sampai 1983, kami menganggap sebagai tahun yang longgar bagi wajib pajak. Mau bayar pajak, syukur. Kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Mungkin karena saat itu kita lagi bergelimang uang minyak. Tapi sejak 1984, dengan keluarnya undang-undang baru, kita harus memulai babak baru di bidang perpajakan," kata Salamun, menyatakan tekadnya. Babak baru yang dimaksud Salamun itu adalah mengubah nilai-nilai masyarakat dari enggan membayar pajak menjadi merasa wajib memenuhi kewajiban itu. "Kami ingin memupuk rasa malu di masyarakat, jika ada orang tidak membayar pajak, padahal seharusnya ia mampu -- dalam arti berpenghasilan lebih dari Rp 2,8 juta per tahun," tutur Salamun. Sebab itu, katanya, ada ide agar NPWP ditempelkan di depan rumah. "Jadi, kalau rumahnya mentereng, mobilnya lebih dari satu, 'kan aneh bila tidak mempunyai NPWP, dan juga penyidik pajak bisa dengan mudah mengetahui mereka yang melalaikan kewajibannya itu," tuturnya. Masa pendidikan dan kampanye pemupukan kesadaran itu, kata Salamun, direncanakan dua tahun setelah undang-undang pajak berlaku. "Setelah itu kita masuk ke fase berikutnya, yaitu memeriksa SPT yang dilaporkan, dan pada tahun keempat -- sekarang ini -- mulai ada yang diteruskan ke pengadilan, seperti kasus Hotel Kebayoran Inn tadi," ujar Salamun. "Setelah itu penindakan akan ditingkatkan," ujarnya lebih lanjut. Salamun merasa, sudah mulai melihat hasil usahanya memupuk kesadaran masyarakat. Jumlah orang yang ber-NPWP meningkat dua kali lipat lebih. Penerimaan negara, dari berbagai jenis pajak, juga sudah melampaui target. Hanya saja, kendati angka-angka tergambar secara meyakinkan, katanya, masih banyak wajib pajak yang belum terjaring untuk mengisi SPT sebagaimana mestinya. "Masih banyak wajib pajak yang belum terjangkau, dan banyak pula yang membayar pajak lebih kecil dari seharusnya," katanya. Dari segi rasio jumlah penduduk, memang anggota masyarakat yang memiliki NPWP itu masih relatif kecil, yaitu hanya 0,9% dari jumlah penduduk yang diperkirakan pada tahun ini mencapai 172 juta (90 juta di atas usia 20 tahun). Untuk menjangkau semua wajib pajak secara maksimal salah satu langkah Salamun adalah penindakan secara hukum. "Cara yang paling tepat memang menerapkan sanksi bagi yang tidak patuh. Tapi sebelumnya kami sudah mengimbau terus-menerus agar membayar pajak menjadi budaya masyarakat," kata Salamun. Dalam rangka penindakan itu, katanya, mau tidak mau -- untuk kasus yang berat akan ada wajib pajak yang diseret ke pengadilan. "Tujuan pajak itu sebenarnya bukan untuk memenjarakan orang, tapi agar orang membayar pajak sebagaimana mestinya. Agar orang mematuhi kewajibannya itu, salah satu cara memang dengan memenjarakan orang," tutur Salamun. Tapi, baik Menteri Keuangan Radius maupun Dirjen Pajak Salamun pagi-pagi sudah menyadari bahwa penindakan secara hukum itu tidak gampang. Untuk itu, diperlukan aparat yang tangguh dan tahan godaan. Kedua pejabat tinggi keuangan itu membenarkan bahwa sampai kini masih ada aparatnya yang bersekongkol dengan wajib pajak untuk merugikan negara. "Masalah persekongkolan itu menarik, menyedihkan, dan sekaligus menjengkelkan," kata Salamun. Hanya saja, dia menambahkan, dibandingkan dengan sistem lama -- ketika itu petugas kontak langsung dengan wajib pajak -- persekongkolan kini terasa sudah jauh menurun. "Bagi petugas pajak, sebenarnya soal itu sudah jelas: kalau ketahuan langsung dipecat. Sekarang, kalau mau menerima suap, mereka harus melihat dulu ke atas, ke bawah, ke muka dan ke belakang. Sebab itu, masyarakat, kalau mengetahui ada penyelewengan seperti itu, jangan sekadar diomongkan. Laporkan langsung," katanya, setengah jengkel. Selain soal moral semacam itu, menurut Radius, ketangguhan petugas pajak dalam upaya penindakan itu juga diharapkan dalam hal keterampilan. Aparat pajak, kata Menteri, harus mampu menemukan bila terjadi penyelundupan pajak. Untuk itu, diperlukan keterampilan dalam hal pembukuan. Di samping itu, petugas pajak juga akan ditingkatkan keterampilannya dalam menggunakan peralatan canggih, seperti komputer, dalam rangka melacak informasi kegiatan wajib pajak. "Peralatan komputer itu akan kami tingkatkan terus, sehingga nanti petugas gampang melacak wajib pajak," kata Radius. Adakah dengan semua persiapan itu semua wajib pajak akan terjaring dan yang melanggar benar-benar bisa dikirim ke penjara? Masih susah menjawabnya. Sebab, asal ahu saja, hampir semua kasus manipulasi pajak yang diadili dengan undang-undang lama ternyata di pengadilan berakhir dengan vonis yang memuaskan para terdakwa. Adalah Jaksa Agung, waktu itu Ismail Saleh, yang sejak 1982 sudah mulai memerangi manipulator pajak. Petinggi hukum yang sekarang menjabat menteri kehakiman itu tidak sekadar menggertak-gertak saja. Waktu itu juga dua perusahaan asing, PMA, PT Kalisco (Kalimantan Steel) dan Tobusco (Tobu Indonesia Steel), diobrak-abrik kejaksaan karena dituduh memanipulasikan pajak. Setelah itu, kejaksaan menggarap pula tersangka yang dianggap penyelundup pajak kelas kakap, si Raja Kayu Jos Soetomo, dan Direktur Utama Grup Harapan, Hendra Rahardja, serta belakangan dua direktur pabrik lemari besi Chubb Lips. Direktur PT Kalisco, Thomas Wibowo dan Hitsagu Murai, warga negara Jepang, diseret Jaksa ke sidang dengan tuduhan memalsukan SPT, sehingga pajak yang dibayar perusahaan itu menjadi lebih kecil. Untuk menutupi jejaknya, kata jaksa, kedua orang itu mempraktekkan buku ganda di perusahaan industri besi baja miliknya satu buku untuk dinas pajak dan sebuah buku lagi untuk perusahaan sendiri. Akibat praktek yang tidak benar itu, menurut jaksa, negara dirugikan Rp 887 juta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang memeriksa dan mengadili kasus itu, sependapat dengan jaksa. Sebab itu, kedua direksi Kalisco itu dihukum 2 dan 3 tahun penjara. Tapi, jauh dari dugaan banyak orang, vonis itu belakangan "diralat" oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Menurut majelis banding, sesuai dengan pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tanggung jawab pembukuan terletak di tangan direktur akuntan, bukan pada direksi lainnya. Wibowo dan Murai dibebaskan hakim. Tapi di mana tiga direktur akuntan yang dikatakan harus mempertanggungjawabkan manipulasi itu? Semuanya sudah kembali ke negerinya, Jepang, sehingga vonis hakim yang dijatuhkan dalam sebuah sidang yang tidak dihadiri para terdakwa, in absentia apalah artinya lagi. Ruang penjara yang disediakan untuk mereka, masing-masing tiga tahun, entah diisi oleh narapidana jenis apa -- pasti bukan terpidana kasus pajak. Vonis para hakim tinggi itu sempat membuat kaget jajaran kejaksaan. Ismail Saleh, ketika itu, sebagai jaksa agung sampai perlu menyatakan tekadnya untuk terus berupaya menebus "kebobolan hukum" tersebut. "Bendera hukum harus berkibar walau ada hambatan dan tantangan. Mudah-mudahan bendera itu tidak hanya berkibar di kejaksaan tapi juga di pengadilan," katanya, ketika itu, berkibar-kibar. Akan halnya terhadap terdakwa Direktur Akuntan PT Tobusco, Yoyiro Kitajama, yang juga dituduh mempraktekkan buku ganda, kejaksaan memang berhasil menggolkan tuntutannya sampai ke Mahkamah Agung. Tapi Kitayama, yang divonis mahkamah tertinggi itu sampai dua setengah tahun penjara karena merugikan negara Rp 811 juta, belakangan mendapat grasi dari Presiden. Hukumannya, dengan adanya grasi itu, berubah menjadi hanya 1 tahun penjara dalam masa percobaan 2 tahun. Ujian terbesar dan terberat iterima kejaksaan memang dalam kasus Jos Soetomo. Mula-mula Jos dituduh mamanipulasikan pajak sebanyak Rp 4,6 milyar. Selain itu, ia didakwa pula menyelundupkan kapal ponton dan alat-alat berat, sehingga merugikan negara Rp 1 milyar. Tapi, di persidangan perkara korupsi pajak, majelis hakim yang diketuai Abdul Kadir Mappong memvonisnya bebas. Lolosnya tersangka yang satu ini tentu saja lebih mengguncangkan instansi kejaksaan. Ismail Saleh, yang waktu itu juga masih menjabat jaksa agung, terang-terangan mengungkapkan kecurigaannya terhadap majelis hakim. "Keputusan itu aneh, mengejutkan, serta mengundang tanda tanya," katanya. Tetap saja hakim-hakim tidak goyah dengan berbagai tudingan itu. Menyusul vonis Mappong itu, beberapa waktu kemudian, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur yang diketuai F.O. Nainggolan, juga membebaskan Jos dari tuduhan pidana ekonomi, penyelundupan. Bendera hukum, khususnya soal pajak, seperti yang diinginkan Ismail Saleh, memang tidak berkibar di pengadilan, kendati Ismail Saleh sendiri ketika itu sudah menjabat menteri kehakiman. Dua direksi PT Chubb Lips, John Alan O'Hare dan Isman Hartono, misalnya, 1984, dibebaskan Pengadilan Tinggi Jakarta, juga dari tuduhan bersalah membuat buku ganda. Padahal, kedua orang itu sebelumnya, bersama direktur akuntannya, Rudolf Pangemanan, divonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 1 sampai 5 tahun penjara. Majelis banding, yang diketuai Nyonya Aslamiah Soelaiman, menganggap pertanggungjawaban buku ganda semacam itu terletak pada direktur akuntan, kendati yang menandatangani SPT ke dinas pajak adalah direktur utamanya, O'Hare. Tapi bukan hanya di pengadilan, pelanggar-pelanggar kewajiban pajak lolos. Perkara Direktur Grup Harapan, Hendra Rahardja, yang semula diduga memanipulaskan pajak Rp 17 milyar, kandasnya malah masih di kejaksaan. Perkara itu tidak diteruskan ke pengadilan. Hendra hanya diwajibkan membayar kerugian negara tersebut. Di instansi pajak pun, konon, ada beberapa kasus yang ternyata dapat diselesaikan dengan cara serupa. "Tapi itu bukan berarti bebas, mereka wajib membayar kembali utangnya kepada negara," kata Salamun. Adakah kasus Kebayoran Inn, yang divonis pekan lalu, suatu pertanda penindakan terhadap penyeleweng pajak di masa depan akan konsisten? Lihat-lihat saja dulu. "Kasus Kebayoran Inn itu bagi saya hanya cicere. Saya yakin, masih banyak yang lebih besar. Seharusnya pemerintah tidak hanya berani mengorbankan pengusaha kecil, tapi yang besar-besar juga harus disikat," kata Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Aries Gunawan, kepada TEMPO. Karni Ilyas, Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus