Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Palestina: Duka Orang-Orang Terusir 1-2
Oleh: Joe Sacco
Penerbit: DAR! Mizan
Tahun: 2003
Pada 1934, Tintin mengguncang hubungan diplomatik Belgia dan Jepang. Saat itu Jepang sedang sibuk menganeksasi Cina, dan tak satu pun orang Eropa saat itu tahu kebengisan Jepang tersebut. Tintin-lah, lewat Lotus Biru, yang pertama kali mengabari Eropa tentang imperialisme Jepang di Cina. Duta Besar Jepang mengajukan protes keras kepada pemerintah Belgia, mengancam akan membawa komik ini ke Mahkamah Internasional di Hague. Militer Belgia pun turut memprotes Hergé (Georges Remi), sang pencipta Tintin: apa pantas materi politik begitu untuk komik anak-anak?
Hergé mengakui untuk pertama kalinya bahwa ia tak lagi membuat cerita yang khusus anak-anak. Setelah keributan ini, Madame Chiang Kai-Shek, istri Presiden Republik Rakyat Cina pertama, secara resmi mengundang Hergé ke Cina. Karena perang meletus di Asia dan Eropa, Hergé gagal pergi. Tapi Lotus Biru telah terbukti benar, sedangkan Eropa-lah yang buta saat itu.
Pangkal soal berawal dari revolusi komik oleh Hergé dalam Lotus Biru. Atas pengaruh sahabat barunya, Chang Chong-Ren (diabadikan dalam komik sebagai tokoh Chang), Hergé menerapkan autentisitas dalam komik. Pertama, Chang mengajari Hergé kaligrafi Cina dan teknik melukis, bagaimana menggunakan perspektif dan pentingnya clear line (garis bersih). Lalu Chang menekankan pentingnya akurasi fakta dan lokasi. Hergé mulai menghargai pentingnya akurasi fotografis sebagai atraksi estetis dalam Tintin.
Dari pendekatan autentik ini, mun- cullah perspektif politik radikal Tintin terhadap imperialisme Jepang. Dan sejak Lotus Biru, Hergé berkali-kali memparodikan dengan tajam rezim-rezim politik di Amerika Latin, Soviet, Jerman, dan Arab.
Pada 1993, Joe Sacco mengembangkan lebih jauh pendekatan autentik pada komik Hergé lewat Palestine, yang versi lengkapnya diterjemahkan dan diterbitkan DAR! Mizan itu. Sacco, secara hampir-hampir religius, terobsesi pada detail visual maupun detail fakta dan karakter. Seperti Hergé, Sacco menggunakan teknik menempatkan tokoh-tokoh yang dikartunkan dalam ruang yang realis. Warisan clear line dari Hergé tampak nyata pada garis-garis Sacco dalam menggambarkan kota (dan bangsa) yang lantak itu.
Tapi, sementara Hergé menampilkan visualisasi yang rapi, Sacco—walau tak kurang jeli dan teliti dari Hergé—seakan menampik kerapian (ada "api"…terpendam dalam garis-garisnya, kata Goenawan Mohamad dalam pengantarnya). Panel-panel Sacco, juga kotak-kotak caption dan balon-balon katanya, berjejal liar (kecuali beberapa), seakan berteriak dan ingin menggebrak. Sementara Hergé menerapkan teknik penyederhanaan dalam gaya kartunnya, Sacco menerapkan teknik pemiuhan (distorsi). Lihatlah cara Sacco menggambar dirinya sendiri yang dipiuhkan tanpa belas kasihan—Joe aslinya jauh lebih ganteng dari itu! Dan sementara Hergé tak pernah menggunakan teknik arsir, Sacco sepenuhnya memberi nyawa pada gambarnya dengan arsir.
Memang, selain mewarisi Hergé, Sacco juga mewarisi Robert Crumb (pelopor komik underground Amerika) dan Harvey Pekar (pengarang American Splendor). Pada Crumb, Sacco belajar mengoptimalkan garis-garis ekspresif. Pada Pekar, Sacco berlatih mengungkapkan diri secara total lewat cerita. Tapi Sacco melahirkan inovasinya sendiri: ia menjadikan komiknya sebagai medium jurnalistik. Ia tak membuat parodi, tak membuat kisah petualangan yang inspiratif, tak membuat fiksi dramatis, tapi pergi langsung ke Palestina dan menjadi saksi.
Dalam Palestine, jurnalisme bahkan bukan sekadar modus, tapi keseluruhan cerita. Sejak semula Sacco tak sungkan merekam dirinya sendiri sepenuhnya, lengkap dengan segala prasangkanya, keangkuhannya, juga keraguannya. Pada buku ke-1, halaman 6, Sacco tampak "sok tahu" mengajari seorang gadis Irak yang punya pacar orang Palestina tentang buruknya terorisme. Ketika si gadis pergi begitu saja, Sacco menggambar dirinya yang meradang, mengucap, "Pacar orang Palestina! Hah! Jalang! Dasar teroris!" Sacco mengakui ungkapan ini tak adil. Tapi, bagaimana lagi?
Pada halaman 10 buku pertama, Sacco menggambarkan dirinya yang sedang mangkak, terkena waham bahwa dirinya telah berhasil menaklukkan para calon narasumbernya. Tapi perlahan kecongkakan itu runtuh. "Aku sudah mencoba, tapi kukira satu anekdot tidak akan menjembatani jurang mana pun..." (halaman 76). Seakan menyadari ironi, dan sepinya, bersaksi dengan medium komik, Sacco mendesah, "Aku di sini bukan untuk menengahi... Hadapi saja. Buku komikku bergantung pada konflik; damai tidak akan laku!" (halaman 76).
Maka Palestine juga menjadi sebuah perjalanan sang jurnalis menemukan jurnalismenya sendiri. Ia menemukan batas-batasnya sendiri, batas-batas "teori" dan "sudut pandang". Ia menemukan peruntuhan, tapi juga penguatan atas keyakinan-keyakinan jurnalistiknya (juga atas keyakinan-keyakinan humanistiknya). Ia menjadi begitu terlibat dengan subyek jurnalistiknya.
Jelas bahwa "keterlibatan" Sacco, sang jurnalis-komikus, bukanlah jenis keterlibatan seperti yang dilakukan Tintin. Dalam Tintin, kita sering menemukan sang jurnalis rekaan menentukan arah sebuah peristiwa secara spektakuler. Ini justru terjadi karena Hergé memandang segala kezaliman (pendudukan Jerman, pendudukan Jepang, ekspansi kapitalis, dan lain-lain) dari sebuah jarak yang relatif aman. Dan Hergé tampak hendak memelihara jarak aman itu bagi pembaca. Mungkin karena tujuan estetisnya adalah sebuah parodi murni: ia ingin mengajak kita menertawakan kedunguan kehendak berkuasa.
Sedangkan Sacco sejak semula hendak mencebur ke dalam peristiwa Palestina, ke sebuah nir-jarak yang berbahaya. Sukar untuk menertawakan Palestina—jika pun ada bagian yang membuat kita tertawa, seperti pada halaman 96 buku ke-1 atau halaman 124 buku ke-2, selalu tersisa rasa pahit. Sacco begitu terlibat dalam Palestina, dan justru karena itu ia menyadari betapa ia tak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, dalam ketakberdayaan itu, Sacco berhasil memberi banyak. Ia memberi kita pelik-pelik masalah pohon zaitun di halaman rumah, tomat, hujan deras yang menelan segala suara, lumpur tebal, kesulitan transportasi, tempat demi tempat yang meregang tegang, wajah demi wajah yang keras digurat nasib, dan segala kisah di balik wajah itu. Yang patut membuat kita iri pada kejelian Sacco bukan hanya keterampilan gambarnya ataupun ketekunannya menangkap detail, tapi terutama penguasaan mediumnya.
Di sela berbagai panel, balon-kata dan caption yang liar, tiba-tiba saja ia menertibkan panelnya (walau masih setia tak menggunakan penggaris) dalam bab Tekanan Sedang (halaman 102-113, buku ke-1). Ia menggunakan kisi-kisi panel (pembagi halaman komik menjadi jajaran panel yang teratur dan sama besar) 3 x 3 atau 2 x 3 panel. Ketika cerita berjalan, tentang penyiksaan mental Ghasan, kisi-kisi itu semakin padat dan mengecil (3 x 3, lalu 3 x 4, lalu 4 x 4, bahkan 4 x 5!), menghunjamkan kesan klaustrofobik seperti yang menjadi karakter penyiksaan Ghasan.
Lalu, persis di bab selanjutnya, panel-panel seakan bergerak cepat seperti sebuah kamera tangan yang merekam dalam keadaan berlari. Khususnya pada bagian pecahnya protes di halaman 123-124. Panel-panel "berlari" itu kontras dengan alun gerak lambat pada halaman 4 buku ke-2, yang menggambarkan Sacco sebagai siluet wajah memandang lumpur dan wajah-wajah keras di Palestina dari balik jendela minibus. Bahkan, dalam siluet, terbayang Sacco yang tercenung!
Setelah buku ini, Sacco mengembangkan lebih jauh (dan lebih matang) komik-jurnalistiknya dengan membuat empat komik tentang Bosnia. Sacco mengakhiri Palestine secara "novelistik". Perjalanannya telah berakhir. Tinggal rekapitulasi, ayun dari kenangan awal perjalanan ke segala sesudahnya—ayun yang tenang.
Dalam bus pulang, Sacco mengobrol dengan seorang nenek Yahudi asal New York yang "...ingin damai". Sacco jadi terkenang hari-hari pertamanya di Yerusalem, berdiskusi tentang solusi bagi Palestina dengan orang Palestina, Israel, dan Amerika. Dan sebulan setelah diskusi hangat itu, Sacco melihat seorang bocah Palestina dipaksa berdiri dalam hujan oleh beberapa tentara Israel. Sacco merekam, sedikit sedih sedikit jerih, tatapan mata sang bocah dalam hujan. Lalu bus yang ditumpangi Sacco harus memutar arah karena ada aksi protes. Lalu sang sopir menanyakan arah pada seorang tentara.
"Tintin" pulang, menyisakan sebuah kalimat terbuka.
Hikmat Darmawan, Editor dan penerjemah, pengamat komik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo