Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan celana jins impor dari Cina yang dipajang di toko Rafa di basement Blok M Square, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, itu dibanderol Rp 100 ribuan per potong. Harganya jauh lebih murah dibanding harga produk sejenis buatan dalam negeri. Itulah sebabnya, jins Gagoan, yang dilansir CV Asia Perdana Citra milik Irzal Yanuardi, tak pernah lagi dilirik pembeli.
Tentu saja Irzal kesal. Bisnisnya berangsur lesu sejak kerja sama perdagangan bebas ASEAN-Cina berlaku, mulai awal 2010. Pelanggannya hilang separuh dalam waktu cepat. Omzetnya anjlok dari rata-rata Rp 700 juta hingga tinggal Rp 200-400 juta per bulan. Kegusarannya makin menjadi ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39 Tahun 2010 yang mengizinkan produsen mengimpor barang jadi. "Kami sangat dirugikan dengan membanjirnya barang Cina," kata Irzal, Rabu pekan lalu.
Aturan inilah yang kemudian ia gugat ke Mahkamah Agung akhir tahun lalu. Ternyata Irzal menang. Mahkamah berpendapat aturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5/1984 tentang Tujuan Pembangunan Industri. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sigap mencabut aturan lama. Lalu, awal bulan ini, ia mengeluarkan ketentuan baru melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/2012.
Di situ ditegaskan, pengusaha pemegang Angka Pengenal Importir Umum (API-U) hanya bisa mengimpor kelompok barang yang tercakup dalam satu bagian pada sistem klasifikasi barang. Jadi, satu izin tidak bisa digunakan mengimpor barang elektronik, plastik, tekstil, dan alas kaki sekaligus. Jika tetap ingin mengimpor barang lain yang tidak sejenis, pengusaha harus membuat perusahaan baru untuk mendapatkan API-U yang berbeda.
Pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) juga hanya boleh mengimpor barang jadi yang digunakan untuk tes pasar atau barang komplementer. Itu pun dibatasi dalam jangka waktu tertentu. "Kami ingin meningkatkan pengawasan dan memperbaiki kredibilitas pelaku impor," kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi. Pemerintah ingin pula melindungi pengembangan industri dalam negeri, sehingga usaha garmen seperti yang dirintis Irzal punya peluang maju. Pengusaha lebih besar pun didorong berinvestasi pabrik di Indonesia.
Rupanya tak semua suka cara baru ini, terutama para importir. "Kalau sampai 31 Desember nanti belum bisa membuat perusahaan baru dan mengurus API-U, kami akan kehilangan peluang keuntungan," kata Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Indonesia Achmad Ridwan Tento. Karena itu, mereka mencoba menawar agar tenggat tersebut bisa diundurkan hingga Mei tahun depan, tapi ditolak pemerintah.
Perusahaan multinasional juga terkejut atas aturan baru ini. Mereka menilai pemerintah tidak konsisten mengelola kebijakan impor. General Manager Divisi Administrasi Sharp Sukianto Halim mengatakan, pada 2004, pemerintah memisahkan perusahaan produsen dan importir. "Kemudian difasilitasi dengan Permendag Nomor 39, sehingga produsen bisa juga mengimpor barang jadi," ujarnya.
Kini aturannya dibalik lagi, dan dianggap merepotkan. Sebab, perusahaan multinasional seperti Sharp punya basis produksi di beberapa negara. Namun jalan lain bukan tak ada. Ketua Gabungan Pengusaha Elektronik Ali Soebroto Oentaryo mengatakan perusahaan multinasional bisa saja menunjuk trading company pemegang API-U sebagai pengimpor. "Hanya, butuh biaya tambahan dua persen," katanya.
Siasat para pengimpor besar itu begitu nyata dampaknya bagi Irzal. Walau gugatannya dikabulkan, ia melihat barang impor masih saja membanjiri pasar kita. Aturan baru pemerintah juga terlambat menolongnya. Pabrik pencelupan jins miliknya terpaksa ditutup pada 26 April lalu karena terus merugi.
Eka Utami Aprilia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo