Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Area penambangan milik PT Putra Alam Lestari tampak lengang pekan lalu. Tumpukan tanah kuning membentuk bukit kecil di sekitar lubang bekas galian bauksit. Tak ada aktivitas mencolok di kawasan yang berlokasi di Air Upas, Ketapang, Kalimantan Barat, itu.
Bus berjejer rapi di tempat yang dulunya bengkel perusahaan. Sesekali teknisi mengecek alat berat yang tersisa. "Produksi berhenti sementara. Karyawan cuti," kata Santyoso Tyo, Ketua Kamar Dagang dan Industri Kalimantan Barat, kepada Tempo.
Santyoso mengatakan operasionalisasi perusahaan berhenti setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012, yang melarang ekspor bahan pertambangan mineral mentah sejak 6 Mei.
Menteri Energi Jero Wacik beralasan aturan menteri itu untuk mengawal Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009. Undang-undang ini pada intinya mewajibkan perusahaan pertambangan mengolah komoditas di dalam negeri pada 2014. Tidak boleh lagi ada ekspor mineral mentah.
Buntut dari terbitnya undang-undang ini sungguh luar biasa. Setelah tiga tahun Undang-Undang Mineral distempel, kata Jero, ekspor mineral mentah naik gila-gilaan. Pengapalan bijih bauksit (bahan baku aluminium), misalnya, berlipat lima menjadi 40 juta ton pada 2011. Cadangan bauksit diprediksi lenyap dalam empat tahun.
Walhasil, industri aluminium dalam negeri kelimpungan lantaran seretnya bahan baku. Mau tak mau pemerintah mesti putar otak untuk mengerem laju ekspor bahan mineral mentah agar industri lokal yang menggunakan bahan tersebut tetap bisa beroperasi dengan baik.
Larangan ekspor nantinya akan dilengkapi dengan berbagai perangkat, antara lain penetapan tata niaga ekspor mineral dan pengenaan bea keluar. Tata niaga akan diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan. Sedangkan penetapan bea keluar menjadi kewenangan Menteri Keuangan.
Banyak pengusaha gerah terhadap aturan baru itu. Poltak Sitanggang, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), menjelaskan, akibat pemberlakuan peraturan itu, banyak pengusaha gulung tikar. Kasus di Ketapang hanya salah satunya.
Tak hanya itu, pengusaha pun terancam digugat dari investor karena dianggap ingkar janji. "Investasi sudah mereka tanam, tapi produksi kami mandek," kata Poltak, yang mengklaim mewakili sedikitnya 600 perusahaan.
Efek larangan ekspor ternyata juga menyelusup ke sektor lain yang mengandalkan pendapatan dari kegiatan pertambangan. Haidar Mubarak, pemilik PT Putra Kayung Mandiri, yang bergerak di bidang penyewaan alat berat, ikut babak-belur. "Cicilan bisa macet," katanya.
Haidar memiliki sedikitnya 60 truk berkapasitas per truk 35 ton serta sejumlah ekskavator dan buldoser, yang rata-rata harganya di atas Rp 2,5 miliar. Cicilan truk Rp 35-50 juta, sedangkan cicilan alat berat Rp 50 juta atau lebih saban bulan.
Namun, nun di sejumlah pelosok, banyak perusahaan tetap bertahan. Aktivitas tambang nikel PT Bintang Delapan Mineral di Bohodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, belum berubah sejak larangan ekspor berlaku. Perusahaan ini memiliki konsesi 40 ribu hektare.
Tanah-tanah mengandung nikel dikapalkan ke Cina sejak tiga tahun lalu, 50 ribu ton per kapal, 3-4 kali saban bulan. "Produksi tetap jalan. Perusahaan bekerja sesuai dengan rencana," kata juru bicara perusahaan, Ahmad Fikri, kepada Tempo.
Pengusaha sebenarnya tak mempermasalahkan pembangunan fasilitas pengolahan atau smelter sebagai salah satu syarat izin ekspor. Tapi, kata Poltak, durasi tiga bulan rasanya tak cukup. Ini yang membikin sejumlah pengusaha memilih mengibarkan bendera putih.
Poltak menambahkan, kebanyakan anggotanya adalah pemilik izin usaha pertambangan dan izin pertambangan rakyat yang bermodal pas-pasan. Tak semua perusahaan mampu berinvestasi puluhan hingga ratusan juta dolar.
"Hanya perusahaan multinasional yang mampu membangun smelter dalam waktu singkat. Kami bukan Bandung Bondowoso," ujar Fikri. Ia merujuk pada lelaki perkasa dalam legenda Roro Jonggrang, yang populer di Jawa Tengah itu, yang mampu membangun seribu candi dalam semalam.
Dalam aturan Menteri Energi Nomor 7 itu, pengusaha boleh mengekspor dengan syarat. Selain kudu mengolah barang mentah di dalam negeri, status izin usaha pertambangan tidak boleh tumpang-tindih, memiliki rencana kerja, dan meneken pakta integritas.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Thamrin Sihite mengatakan pemerintah tak punya maksud menjepit perusahaan nasional lewat beleid anyar tersebut. Dia memahami membangun smelter atau pabrik pengolahan tidak segampang membalik telapak tangan.
Ada jalan keluar. Thamrin mengatakan pemilik izin usaha pertambangan yang sudah berproduksi dapat menggandeng koleganya untuk bersama-sama membangun smelter. "Seapes-apesnya, eksportir bisa menjual komoditas ke pengolahan dalam negeri," kata Thamrin kepada Tempo pekan lalu.
Dia memberi alasan, nilai tambah bahan mineral sangat tinggi. Misalnya bijih nikel. Tahun lalu harga mentahnya rata-rata US$ 33 atau sekitar Rp 300 ribu per ton. Tapi, ketika diolah menjadi feronikel, harganya bisa mencapai US$ 2.500 atau Rp 22,5 juta per ton.
Nilai tambah komoditas adalah satu hal, tapi banyak bahan logam lain yang ikut terangkut dalam mineral yang diekspor mentah itu. Thamrin memberikan contoh: saat mengekspor tanah (ore) yang mengandung bauksit (bahan baku aluminium), bahan logam langka dan mahal seperti titanium ikut pindah tangan.
Meski konsentrat titanium itu jumlahnya kecil, harganya lebih mahal ketimbang emas. "Dari bauksit yang diekspor, negara hanya mendapat royalti, sedangkan logam ikutannya hanya dinikmati negara importir. Ini yang namanya mengekspor tanah dan air," kata Thamrin.
Beleid itu memang membuat sejumlah perusahaan kolaps. Tapi aturan Menteri Nomor 7 itu juga cespleng menyadarkan pengusaha. Hingga 9 Mei lalu, sudah 160 pemilik izin usaha pertambangan produksi yang melamar untuk membangun pengolahan. "Angka itu pasti terus bertambah dalam data sistem kami," ujarnya.
Dukungan terhadap Thamrin muncul dari Natsir Mansyur, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Namun ia meminta pemerintah melonggarkan waktu kepada pengusaha agar tidak timbul stagnasi dalam ekspor barang tambang.
Menurut Natsir, larangan ekspor bakal banyak menimpa pemilik izin usaha pertambangan yang belum sanggup membangun smelter. Persoalan lain, baru separuh dari 10.200 izin usaha yang bebas masalah tumpang-tindih dan dikategorikan bersih.
Kadin meminta perusahaan tersebut tetap diberi izin ekspor jika proses verifikasi izin usaha pertambangan masih berjalan. "Diberi waktu selama 3-4 bulan agar mereka bisa melengkapi data. Pokoknya, ekspor jangan sampai stagnan," katanya.
Kadin, Natsir berujar, siap "pasang badan" untuk pemilik izin pertambangan asalkan ekspor tetap mulus. Sebab, dia memprediksi stagnasi akibat ekspor tertunda berujung pada tergerusnya pendapatan ekspor nasional sekitar US$ 18 miliar dari target US$ 230 miliar tahun ini.
Bambang Sujagad, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri, Riset, dan Teknologi, menjelaskan, bea keluar tambang bisa menjadi jalan tengah agar perusahaan tetap dapat mengekspor. "Seharusnya per 6 Mei ini sudah tidak bisa ekspor sama sekali," ujarnya.
Kabar yang berputar di kalangan industri tambang menyebutkan bea keluar untuk ekspor bahan mineral mentah mencapai 20 persen dari total penjualan perusahaan. Namun aturan yang seharusnya terbit pekan lalu itu masih belum jelas kabarnya.
Thamrin enggan menyebutkan bea keluar menjadi solusi dari pemerintah untuk lepas dari sengkarut larangan ekspor. "Mau ke tengah, ke kanan, atau ke kiri, intinya aturan itu ingin mengerem ekspor bahan mentah yang jumlahnya terbukti sangat besar."
Bobby Chandra, Gustidha Budiartie, M. Darlis (Palu), Aseanty Pahlevi(Ketapang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo