Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bukan Hanya Milik Penambang

Banyak negara akan menambah pungutan pajak industri pertambangan. Duit pengerukan tanah bisa dibagi ke khalayak.

14 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Australia tahu betapa pentingnya industri pertambangan, tapi mereka juga tahu bahwa kita hanya bisa menggali dan menjualnya sekali." Pernyataan tegas itu dilontarkan Perdana Menteri Australia Julia Gillard setelah parlemen menyetujui rancangan undang-undang pajak sumber daya mineral pada Senin ketiga Maret lalu. Jika tak ada aral, menurut peraturan itu, korporasi raksasa penambang pasir besi dan batu bara di Negeri Kanguru wajib membayar tambahan pajak 30 persen dari keuntungan mereka mulai Juli nanti.

Pengesahan beleid baru itu menjadi kemenangan luar biasa bagi pemerintah, yang telah "bertarung" menghadapi pelaku industri tambang. Dengan tambahan pajak ini, penerimaan Australia diperkirakan melambung sedikitnya Aus$ 10,6 miliar selama tiga tahun mendatang atau sekitar Rp 99 triliun (dengan kurs Rp 9.350 per dolar Australia). Duitnya dialokasikan untuk menambah dana pensiun dan membangun infrastruktur di wilayah pertambangan.

Sejak awal, maksud pemerintah sederhana: bisnis tambang mineral di Australia telah meledak luar biasa selama puluhan tahun, sehingga masuk akal jika negara mengambil sebagian uang hasilnya. "Dan membagikannya kepada seluruh bangsa, itulah yang dimaksudkan dengan pajak tambang ini," kata Gillard dalam wawancara di stasiun televisi Channel Nine seusai persetujuan parlemen.

Tarif pajak super bagi industri pertambangan Australia sebenarnya pertama kali digulirkan Kevin Rudd, perdana menteri sebelum Gillard, pada medio 2010. Saat itu ia bahkan mengusulkan besaran pajaknya sampai 40 persen. Jika lolos, penerimaan pemerintah akan bertambah hingga Rp 112 triliun selama dua tahun masa penerapan.

Model awalnya, setiap perusahaan tambang yang meraup laba US$ 50 juta—dalam peraturan yang sudah disahkan menjadi US$ 75 juta—dipungut pajak super setelah keuntungannya dikurangi royalti dan depresiasi. Pajak konvensional tetap dikenakan setelah itu. Sisa keuntungan dipotong lagi 30 persen sebagai pajak perusahaan. Jika ditotal, tarif pajak efektif yang dikenakan terhadap keuntungan perusahaan tambang naik menjadi 57 persen—kini 45 persen karena tarif super hanya 30 persen.

Tak pelak, selama dua tahun terakhir rencana itu memancing kecaman dari industri pertambangan. Dalih mereka sama dengan pengusaha tambang di Indonesia, yang menolak rencana tarif bea keluar 20 persen terhadap ekspor hasil mentah tambang mineral pada Juli mendatang.

Chief Executive Officer Rio Tinto, Tom Albanese, misalnya. Dia menilai proposal pemerintah Australia menghancurkan reputasi Australia di mata investor internasional. Para penambang juga beranggapan bahwa tarif yang superberat akan menutup ruang investasi baru dan pada akhirnya mengancam pemecatan besar-besaran.

Kenyataannya, bisnis pertambangan di Australia tetap berjalan. Kinerjanya terus melonjak. Kementerian Keuangan Australia mencatat investasi modal baru pada sektor ini justru meningkat dari sekitar US$ 10 miliar pada Juni 2010 menjadi mendekati US$ 19 miliar pada akhir tahun lalu.

Begitu pula pendapatan sektor ini pada akhir tahun lalu yang mencapai US$ 195 miliar, naik sekitar 10 persen dibanding setahun sebelumnya. "Kami percaya semua warga Australia harus mendapat bagian keuntungan, bukan hanya segelintir orang yang beruntung," kata Gillard. Dia kini harus bersiap menghadapi rencana gugatan hukum dari beberapa perusahaan tambang yang masih menolak aturan baru ini.

Kekhawatiran terbesar industri pertambangan adalah jika negara lain mengekor Australia. Meski belum tentu karena latah, beberapa negara penghasil mineral di dunia sejak tahun lalu telah menggulirkan wacana meningkatkan pengendalian sektor ini dengan berbagai alasan.

Di Afrika, negara penghasil tambang terbesar, seperti Afrika Selatan, Namibia, dan Tanzania, berencana menerapkan tarif pajak super hingga 40-50 persen dari tarif saat ini 30 persen. Di Amerika, Peru juga sedang menggodoknya, mengikuti Cile. Menggenjot tarif paling rasional ketimbang menyiapkan duit triliunan dolar untuk menasionalisasi perusahaan pertambangan.

Begitu pula Indonesia, yang sejak awal Mei lalu mengumumkan akan menerapkan tarif bea keluar 20 persen untuk ekspor 12 komoditas mentah pertambangan. Ketentuan ini akan mengerek tarif efektif perpajakan bagi industri tambang menjadi 43 persen dari kisaran 30 persen saat ini yang berasal dari royalti dan pajak badan.

Jika rencana ini terealisasi, penerimaan negara bisa bertambah Rp 12 triliun setiap tahunnya. "Setiap negara punya cara masing-masing, Australia pakai super-tax, Indonesia punya bea keluar," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Yang jelas, niat dunia saat ini sama: mengendalikan bisnis pertambangan yang melonjak gila-gilaan. "Persoalan utama di Indonesia adalah ekspor," kata Bambang, yang dibuat geleng kepala melihat data Indonesia sebagai negara eksportir batu bara terbesar kedua di dunia setelah Australia. Padahal cadangannya hanya nomor enam di dunia.

Masalah bertambah karena data industri mineral dan batu bara terindikasi tak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sejak tahun lalu, Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany berkoar mendesak mitranya di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memverifikasi data pertambangan. "Kini, dengan penerapan bea keluar, sekalian bisa diperoleh basis data untuk pajak masa mendatang," kata Bambang.

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas mendukung niat Kementerian Keuangan. Selama ini setoran pajak sangat bergantung pada data pendapatan hasil penjualan yang dilaporkan oleh perusahaan tambang. Akibatnya, persoalan rentan terjadi pada perusahaan-perusahaan tambang yang memiliki struktur bisnis bertingkat—dari induk hingga anak perusahaan di sektor yang sama. Laporan pendapatan kena pajak dapat dengan mudah diatur lebih rendah dari kenyataannya dengan menjual hasil tambang lewat transfer pricing antar-anak perusahaan. "Ini salah satu modus pengemplang pajak."

Agoeng Wijaya (The New York Times, Bloomberg, BBC News, Guardian)


```201120122012 **
Pertambangan migas 9.342,3 25.210,0 13.636,7
Pertambangan nonmigas 22.710,0 23.848,2
544.0 520.0 556.6

*Miliar rupiah **Perkiraan realisasi Sumber : Nota Keuangan RAPBN-P 2012

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus