Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Leaflet tentang sosialisasi pajak berjudul “Yesus Juga Bayar Pajak” menuai kontroversi di media sosial. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan merespons isu tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan leaflet tersebut merupakan salah satu sarana sosialisasi pajak kepada umat beragama. Direktorat memanfaatkan berbagai sarana dan berusaha menjangkau sebanyak mungkin kalangan masyarakat, termasuk umat beragama. Salah satunya dengan membuat materi berupa leaflet sosialisasi pajak dari perspektif agama yang diakui di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Leaflet ‘Yesus Juga Bayar Pajak’ adalah dari perspektif agama Kristen," kata Hestu, seperti dilansir dari keterangan tertulis, Rabu, 11 Oktober 2017. Menurut dia, Direktorat juga membuat leaflet sosialisasi pajak dari perspektif agama Islam, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Hestu berujar, materi-materi leaflet dari perspektif agama tersebut sudah ada sejak awal 2017. Leaflet telah banyak diedarkan saat sosialisasi kebijakan program amnesti pajak.
Menurut Hestu, pembuatan leaflet itu melibatkan penulis buku dari masing-masing agama. Materi yang ada dalam leaflet tersebut juga disesuaikan dengan materi kesadaran pajak yang sudah dimasukkan ke dalam mata kuliah wajib umum (MKWU) pendidikan agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu untuk pendidikan tinggi. "Semua itu dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman pajak di Indonesia," ucapnya.
Direktorat Jenderal Pajak berharap sarana sosialisasi itu tidak menimbulkan masalah. Namun sejumlah netizen di Twitter membahas leaflet tersebut.
Salah satunya akun @fatufela. "Dlm Injil mana tertulis yesus bayar pajak... Anjurkan bayar pajak bnar... Penjelasannya," tulisnya.
"DJP menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat pihak yang merasa kurang nyaman dengan beredarnya leaflet tersebut," tutur Hestu.
VINDRY FLORENTIN