Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berliku Jalan Membangun PLTS Atap

Serangkaian aturan baru diterbitkan pemerintah untuk mempercepat penambahan kapasitas PLTS atap. Namun pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi kendala.

11 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja melakukan pengecekan arus listrik yang dihasilkan oleh panel surya di pabrik Coca-Cola Amatil Indonesia, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, 2020. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Calon pengguna kesulitan memperoleh perangkat meter kWh ekspor-impor listrik.

  • Beberapa pemohon PLTS atap mengaku diminta beralih menjadi pelanggan premium PLN.

  • Biaya investasi PLTS atap bakal kembali dalam waktu delapan tahun.

JAKARTA – Serangkaian aturan baru diterbitkan pemerintah untuk mempercepat penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Namun pelaksanaannya masih menghadapi kendala. Salah satu kendalanya adalah pengadaan meter kWh ekspor-impor listrik untuk pengguna pembangkit atap yang terintegrasi dengan jaringan PT PLN (Persero).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menyatakan alat tersebut cukup sulit didapat di beberapa wilayah, terutama di kawasan Indonesia timur. Namun dia memastikan telah berkomunikasi dengan PLN sebagai satu-satunya produsen meter kWh ekspor-impor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“PLN akan meningkatkan kapasitas produksinya, sehingga kita harapkan penyediaan kWh meter bisa lebih cepat,” kata Dadan, kemarin.

Kendala lain yang juga sampai ke telinga Dadan berkaitan dengan pengajuan izin pengoperasian PLTS atap ke PLN. Beberapa pemohon diminta beralih menjadi pelanggan premium sebagai syarat mendapatkan izin net metering. PLN memiliki layanan premium yang menjamin keandalan pasokan listrik dengan tarif yang lebih tinggi.

Dadan memastikan tak ada kewajiban untuk beralih ke layanan premium jika ingin memasang pembangkit atap. Dia menduga peralihan tersebut hanya penawaran. Namun, jika terdapat pelaksanaan yang tak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU), pemerintah siap menerima aduan.

Teknisi memeriksa secara rutin panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di PT Surya Energi Indotama, Bandung, Jawa Barat, 1 Februari 2022. ANTARA/Novrian Arbi

Dua penghambat pemasangan PLTS atap tersebut sempat disoroti pula oleh Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa. Dia menuturkan kasus serupa banyak ditemukan di pelanggan industri. “Di beberapa wilayah, khususnya di Jawa Barat, agak sedikit dipaksa industrinya untuk menjadi pelanggan premium,” kata dia.

Dalam beberapa kasus, calon pengguna PLTS atap diminta memasang baterai. Fabby menyatakan tak sedikit yang mundur lantaran biaya investasinya lebih mahal dibanding pembangkit tanpa baterai.

Fabby berharap pemerintah segera membentuk tim pengawas pengoperasian PLTS atap agar kendala di lapangan segera teratasi. Sebab, minat terhadap PLTS atap, terutama dari kalangan industri, cukup tinggi. Potensi dari industri yang bergabung dalam AESI saja paling tidak 500 MW pada tahun ini.

Jika kendala tersebut tak diatasi, Fabby menuturkan, bukan tak mungkin industri ini bakal hengkang atau membatalkan rencana ekspansi di dalam negeri. “Karena sekarang industri butuh energi bersih,” ujarnya.

Ketika dimintai konfirmasi mengenai keluhan ihwal instalasi PLTS atap, juru bicara PLN, Agung Murdifi, tak menjawab lugas. “PLN sebagai operator selalu mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah, termasuk regulasi PLTS atap,” katanya.

Selain urusan teknis, pendanaan menjadi tantangan buat pemasangan PLTS atap. Heri Mustofa, pengusaha ikan koi di Kabupaten Bogor, maju-mundur memasang pembangkit berkapasitas 7 kWp. Dia butuh efisiensi energi lantaran kolam koi harus dialiri listrik tanpa henti selama 24 jam.

Heri sudah menyelesaikan pembuatan infrastruktur pendukung seperti penopang atap, mengurus surat kelayakan operasi, dan mencari badan usaha untuk instalasi. “Tapi masih mikir-mikir harga untuk modalnya,” kata dia saat berbincang langsung dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam acara peluncuran hibah insentif PLTS atap, kemarin. Heri harus merogoh kocek sekitar Rp 91 juta untuk memasang pembangkit tersebut.

Arifin meyakinkan Heri bahwa modal besar tersebut bakal kembali dalam delapan tahun. “Setelah tahun ke delapan, Anda akan menikmati manfaat yang lebih besar,” tutur Arifin. Selain itu, Heri bakal turut membantu pengurangan emisi gas rumah kaca.

Investasi tersebut bisa lebih ringan jika Heri ataupun calon pengguna PLTS atap lainnya mengajukan insentif kepada pemerintah. Hingga akhir tahun nanti, pemerintah memberikan dana kepada 1.300 pelanggan PLN yang sudah memasang PLTS atap tapi belum beroperasi per 1 Desember 2021. Dana tersebut berasal dari hibah United Nations Development Programme.

Selain itu, pemerintah telah meningkatkan nilai transaksi ekspor listrik sebesar 65 persen menjadi 100 persen. Dengan begitu, pengguna PLTS atap dapat berhemat biaya listrik lebih besar.

VINDRY FLORENTIN

Baca Juga:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus