Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Jumat pekan lalu, ketika perhatian beralih ke potensi meletusnya Gunung Agung di Bali, Bank Indonesia memutuskan memangkas sekali lagi bunga acuan BI sebanyak 25 basis point. Bunga acuan BI 7-Hari Repo sekarang berada di level 4,25 persen. Langkah ini cukup mengejutkan pasar karena, dari penurunan serupa sebulan lalu, pelaku pasar memperkirakan suku bunga acuan ini ditahan di tingkat 4,5 persen. Ini mengingat rencana Federal Reserve (bank sentral Amerika Serikat) menaikkan suku bunga akhir tahun ini. Jika terjadi, ini akan membuat dana di negara berkembang hengkang ke surat berharga Amerika Serikat yang semakin menarik.
Mulai Rabu pekan lalu, aliran keluarnya dana asing mulai terasa. Akibatnya, harga obligasi negara kita turun dan nilai rupiah melemah sampai menyentuh 13.567 per dolar Amerika pada penutupan pasar hari Kamis. Memang banyak yang sudah mengingatkan bahwa aliran dana asing, yang banyak masuk membeli surat utang negara setelah Indonesia mendapat peringkat layak investasi, dapat dengan mudah berbalik haluan. Ini terjadi jika pemilik dana merasa tingkat pendapatan bunga surat utang bersangkutan tidak sepadan dengan risiko yang dipikul. Tren ini menjalar ke pasar bursa. Indeks harga saham gabungan yang tadinya berada di tingkat 5.912 pada 22 September ikut jatuh menjadi 5.857 seminggu kemudian.
Menjelang kuartal terakhir tahun ini, bukan itu saja yang dikhawatirkan pelaku pasar. Yang juga membuat pening adalah memanasnya suhu politik di luar ataupun di dalam negeri. Di kawasan Asia, Korea Utara meneruskan percobaan nuklirnya dengan meluncurkan beberapa peluru kendali percobaan, yang dibalas dengan penerbangan pesawat tempur Amerika. Sedangkan di dalam negeri, kampanye menjelang Pemilihan Umum 2019 terlihat mulai menghangat dengan meningkatnya pertikaian antarkelompok. Masalahnya: kenaikan suhu politik ini membuat para investor lebih bersikap menunggu.
Sikap investor yang lebih banyak menunggu karena naiknya suhu politik, suku bunga rendah yang belum dapat menggairahkan tingkat konsumsi, dan terbatasnya belanja negara karena pemasukan pajak di bawah target pada akhirnya mengalihkan harapan kita pada peningkatan ekspor atau penerimaan devisa negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hanya, prospeknya mulai diselimuti awan mendung dengan "berdenyutnya" kembali Gunung Agung. Gunung berapi ini memperlihatkan tanda-tanda akan meletus seperti yang terjadi pada 1963, dengan tremor gempa dan asap yang serupa. Meletusnya Gunung Agung dikhawatirkan berdampak cukup berat pada industri pariwisata di pulau favorit wisata dunia tersebut sehingga penerimaan devisa negara dari sektor ini akan menurun.
Tapi tidak semuanya suram. Ada juga pandangan yang merasa bahwa pemulihan ekonomi sudah mulai terjadi menjelang akhir tahun ini. Misalnya, angka penjualan sepeda motor, mobil, dan semen sudah terlihat cukup meningkat pada Juli lalu dibanding tahun sebelumnya. Di tengah suku bunga yang rendah, bila peningkatan harga komoditas ekspor kita terus berlanjut dan kegiatan usaha yang terkait dengan kampanye pemilu mulai berdenyut, mungkin prospek ekonomi kita pada 2018 tidak semendung dari yang diperkirakan.
Manggi Habir - Kontributor Tempo
Kurs | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pekan sebelumnya | Manggi - Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 30 September 2017 PODCAST REKOMENDASI TEMPO ekonomi sinyal-pasar bisnis Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |