Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani mengatakan kebijakan tarif impor yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tak hanya berdampak langsung terhadap sektor ekspor Indonesia ke AS. Menurut Listya, Tarif Trump— demikian kebijakan ini disebut, juga bakal berpengaruh terhadap makroekonomi di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kebijakan tarif impor AS tidak hanya memberikan tekanan langsung pada sektor ekspor Indonesia tetapi juga menimbulkan efek domino yang mempengaruhi stabilitas makroekonomi,” kata Listya, dikutip dari tulisan ilmiahnya, ‘Impor Trump: Benturan Kepentingan dan Ancaman bagi Ekonomi Indonesia’ yang diterima Tempo, Ahad, 6 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Listya, kebijakan Tarif Trump memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia, terutama bagi sektor ekspor ke AS. Tarif impor Indonesia ditetapkan sebesar 32 persen, menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Disebut bakal mempengaruhi berbagai sektor ekspor seperti garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati.
“Kenaikan tarif impor yang diumumkan oleh Presiden Trump telah mempengaruhi berbagai sektor ekonomi Indonesia, dengan dampak yang paling signifikan dirasakan oleh sektor-sektor yang bergantung pada ekspor ke pasar AS,” katanya.
Secara keseluruhan, menurut dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta, ini, kebijakan tarif yang diterapkan AS terhadap Indonesia dapat melonjak harga barang impor ke negeri tersebut seiring membengkaknya biaya. Kondisi ini berisiko merusak daya saing beberapa sektor utama Indonesia di pasar internasional. Efek dominonya bakal merambat dan mempengaruhi makroekonomi Tanah Air.
Listya berpendapat, efek bagi makroekonomi buntut kebijakan tarif impor ini dapat dilihat secara mencolok lewat melemahnya nilai tukar rupiah. Pada 26 Maret 2025, Bank Indonesia (BI) mencatatkan nilai tukar rupiah berada di level terendah sejak krisis keuangan Asia 1998: Rp16.588 per dolar AS. Pelemahan mata uang ini tak hanya meningkatkan biaya impor bagi Indonesia, tetapi juga memperburuk tekanan inflasi domestik.
Barang-barang impor yang semakin mahal menyebabkan harga barang dan jasa meningkat di pasar domestik, yang pada gilirannya menurunkan daya beli masyarakat. Sebagai negara yang bergantung pada impor bahan baku dan barang modal untuk sektor industri, pelemahan rupiah juga dapat mengganggu kelancaran produksi, memperburuk neraca perdagangan, dan memperburuk kestabilan ekonomi secara keseluruhan.
Pada 2 April 2025, kata Listya, nilai tukar rupiah diperkirakan akan terus melemah seiring berlakunya kebijakan tarif AS yang baru. Ketegangan perdagangan ini semakin memperburuk situasi ekonomi makro Indonesia, karena pasar keuangan global sedang bergejolak. Tidak hanya sektor perdagangan yang terpengaruh, tetapi juga kestabilan nilai tukar rupiah yang terus menerus mengalami tekanan.
“Hingga 3 April 2025, Bank Central Asia (BCA) mencatatkan kurs jual dolar AS pada level Rp16.795 dan kurs beli Rp16.575, menggambarkan betapa sensitifnya nilai tukar rupiah terhadap ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan AS tersebut,” katanya.
Pengajar di Jurusan Ekonomi UII ini menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut memberi dampak langsung pada inflasi domestik, di mana harga barang-barang impor semakin mahal, mempengaruhi daya beli masyarakat, dan menambah beban hidup. Inflasi yang lebih tinggi akan menekan kemampuan konsumen, terutama di sektor barang-barang konsumsi yang berasal dari luar negeri.
Lebih lanjut, dampak kebijakan tarif resiprokal AS juga tercermin pada penurunan surplus perdagangan Indonesia. Pada 2024, Indonesia mengalami penurunan surplus perdagangan sebesar 18,84 persen, yang sebagian besar disebabkan oleh penurunan ekspor ke AS akibat tarif impor yang tinggi. Penurunan ekspor ini berpotensi mengurangi cadangan devisa negara dan memengaruhi kestabilan ekonomi secara keseluruhan.
“Indonesia, selama ini menikmati surplus perdagangan dengan AS, kini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan keseimbangan perdagangan, terutama karena beberapa sektor unggulan, seperti tekstil, elektronik, dan alas kaki, menjadi kurang kompetitif di pasar AS (akibat tarif impor),” ujar Listya.
Selain itu, menurut dia, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menggambarkan sentimen negatif di pasar saham Indonesia. IHSG anjlok sebesar 7,1 persen pada 18 Maret 2025—penurunan terbesar sejak 2011. Fenomena ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap kinerja perusahaan Indonesia di bidang ekspor dalam menghadapi kebijakan Tarif Trump.
“Ketidakpastian ini juga menyebabkan volatilitas tinggi di pasar saham, mengurangi minat investor, dan mempengaruhi arus investasi yang masuk ke Indonesia,” kata dia, menambahkan.
Secara keseluruhan, Listya menyimpulkan, dampak dari kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh AS telah menciptakan berbagai tantangan makroekonomi yang harus dihadapi Indonesia. Stabilitas nilai tukar rupiah, perdagangan internasional, inflasi domestik, dan kinerja pasar saham adalah isu-isu utama yang perlu segera ditangani untuk memastikan kelangsungan dan kestabilan ekonomi Indonesia di tengah ketegangan perdagangan global.
Kebijakan tarif ini juga memperburuk ketidakseimbangan perdagangan Indonesia, yang diprediksi dapat menurunkan surplus perdagangan yang sudah menurun sejak 2024. Menggunakan Teori Neraca Perdagangan, penurunan ekspor Indonesia ke AS mempengaruhi keseimbangan perdagangan global, yang berpotensi memperburuk defisit perdagangan. Di sisi lain, penerapan tarif turut memperburuk Teori Pasar Valuta Asing, yang memprediksi bahwa depresiasi rupiah akan terus berlanjut akibat ketidakpastian perdagangan yang lebih tinggi.
“Pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah strategis, seperti diversifikasi pasar ekspor dan peningkatan daya saing sektor-sektor terkait untuk memitigasi dampak negatif yang lebih dalam di masa depan,” kata Listya.