Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa pun dilakukan Angga Surya, 29 tahun, demi menekan pengeluaran. Permintaan sang istri mengganti iPhone-nya dengan seri paling anyar terpaksa ia tolak. "Ganti saja yang lebih murah dan bisa hemat jutaan," ujar Angga kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Sebenarnya, untuk ukuran pegawai bank nasional dengan pendapatan belasan juta rupiah per bulan, perkara ganti telepon seluler bukan masalah besar baginya. Tapi tahun ini beda. Angga mati-matian berhemat demi mewujudkan impiannya memiliki rumah sendiri.
Ia bercita-cita memiliki rumah di kawasan Cibubur. Pada 2013, rumah yang ia incar masih seharga Rp 500-600 juta. Menurut hitungannya saat itu, dengan tabungan ditambah bonus yang akan diterima pada akhir tahun, ia bisa membayar uang muka yang sekitar 15 persen dari harga rumah, tergantung tawar-menawar.
Sial bagi Angga. Akhir 2013, Bank Indonesia menerbitkan aturan loan-to-value yang mewajibkan calon pembeli rumah menyiapkan uang muka minimal 30 persen. Niat mencicil rumah pun tertunda. Apesnya bertambah ketika rumah yang ia taksir harganya terus melambung, naik 15-20 persen per tahun. Terakhir dicek, harganya membengkak hampir menyentuh Rp 1 miliar. "Kalau kondisinya begini terus, sulit untuk cicil rumah. Sudah enggak ada lagi yang murah," dia mengeluh.
Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy menyadari betul situasi ini. Ia tahu masih banyak masyarakat yang ingin membeli rumah atau properti lain, tapi kondisi dan kebijakan ekonomi membuat niat mereka tak kunjung terlaksana.
Dampak paling parah terasa tahun ini, seperti terlihat pada data yang dipaparkan Eddy saat REI Expo, awal Mei lalu. "Angka penjualan properti turun sampai 50 persen pada kuartal pertama 2015," katanya.
Penurunan ini, menurut Eddy, terjadi karena pelemahan ekonomi dan bunga kredit pemilikan rumah yang masih tinggi. Akibatnya, para pengembang properti tak berani memasang plafon tinggi untuk penjualan. Target pun direvisi, dari semula diharapkan bisa tumbuh hingga 17 persen dibanding tahun lalu menjadi 10 persen saja.
Lesunya bisnis properti berdampak pada kondisi ekonomi lebih luas. REI menyebutkan sektor properti menyumbang porsi 28 persen dalam pertumbuhan ekonomi nasional. "Apabila properti melambat, bisnis penunjangnya pun terpengaruh. Contohnya industri semen," ujar pengamat properti Budhi S. Ghozali.
Apa yang dikatakan Budhi terbukti. Angka penjualan semen sepanjang kuartal I 2015 tercatat turun 3,3 persen menjadi 13,6 juta ton. Memang penurunan tersebut tak melulu dikarenakan oleh sektor properti. Ada juga faktor lain, seperti pembangunan infrastruktur yang belum berjalan. Proyek lain, seperti program satu juta rumah yang digagas pemerintah dan beberapa pekan lalu diluncurkan, juga belum banyak menolong.
Berbagai cara sebenarnya sudah dicoba ditempuh para pengembang untuk menggairahkan kembali bisnis properti. Salah satunya melobi pemerintah untuk melonggarkan kebijakan aturan uang muka. "Masyarakat masih butuh properti. Jika kredit dipermudah, jelas bisnis ini akan menggeliat kembali," kata Budhi.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan tengah mengkaji pelonggaran yang diminta. Namun ia harus diyakinkan lebih dulu bahwa nanti rakyat yang belum memiliki rumah harus menjadi prioritas akses pembiayaan tersebut. "Kekurangan perumahan hingga saat ini 15 juta unit. Ini yang harus diselesaikan," ujarnya.
Bukan hanya sektor properti yang dilanda kelesuan. Bisnis otomotif, yang biasanya tumbuh setiap tahun, pada kuartal pertama 2015 tak bisa menghindar dari penurunan angka penjualan. Seperti yang terjadi pada salah satu dealer milik Indomobil Nissan, yang berada di lantai 3A Gedung WTC Mangga Dua, Jakarta Utara.
Ella, 26 tahun, salah satu anggota staf marketing yang dijumpai di dealer itu, mengatakan penjualan agak sepi selama tiga bulan terakhir. Produk baru Nissan yang terpilih sebagai mobil terbaik pada 2014 di Indonesia Car of the year, Nissan All New X-Trail, pun tak luput dari imbas pasar yang kurang bergairah. Oktober-Desember tahun lalu, dealer tempat Ella bekerja masih mampu menjual mobil seharga Rp 360 jutaan ini hingga 15 unit. "Tapi tahun ini baru terjual tiga unit," katanya.
Padahal, Ella melanjutkan, tahun lalu para pemesan sampai harus menunggu dan antre untuk mendapatkan mobil tersebut. Sekarang gantian mobil-mobil itu yang menunggu di penampungan. "Belakangan, target penjualan delapan unit per bulan tidak pernah tercapai lagi," ujarnya.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), angka penjualan Nissan sepanjang kuartal pertama 2015 mencapai 10.238 unit. Angka itu menurun 18 persen dari periode yang sama tahun lalu, yakni 12.460 unit.
Menurut Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiharto, penurunan angka penjualan terjadi hampir merata pada semua produsen mobil di Indonesia. "Sampai April ini, angka penjualan turun hingga 20 persen dibanding periode yang sama tahun lalu," ucapnya.
Penurunan bisa disebabkan oleh beberapa faktor, tapi yang paling terasa adalah inflasi dan naiknya suku bunga. Ini, kata dia, yang membuat daya beli masyarakat menurun dan mereka terpaksa menunda pembelian.
Penjualan sepeda motor pun bernasib serupa. Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia Gunadi Sindhuwinata menyebutkan adanya penurunan 21 persen pada kuartal awal 2015. "Kami terpaksa melakukan penyesuaian proyeksi semula 7,7 juta unit jadi 6,8 juta unit."
Biasanya angka penjualan sepeda motor selama beberapa tahun belakangan meningkat di luar Pulau Jawa. Namun, karena harga komoditas yang jadi sumber utama pencarian masyarakat daerah tersebut sedang turun, mau tak mau hal ini berimbas juga.
Sepeda motor, menurut Gunadi, merupakan prioritas masyarakat Indonesia dengan pendapatan per kapita US$ 4.300. Pertumbuhan penjualannya selalu seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Apalagi produksi sepeda motor dan mobil merupakan industri manufaktur yang menyumbang 29 persen pendapatan negara. Melemahnya pasar sepeda motor bisa dipastikan berdampak pula pada pemasukan.
Dengan kondisi begini, Gunadi hanya berharap pemerintah bisa menekan laju penurunan dengan menahan kebijakan yang berpotensi mengurangi penjualan di kelas menengah. Salah satunya rencana menaikkan pajak penghasilan pasal 22 untuk model mesin berkapasitas 250 cc ke atas, yang sebelumnya sudah dikenai pajak barang mewah cukup tinggi. "Sementara asosiasi saat ini cukup berhati-hati untuk tidak menaikkan harga agar pasar tidak terdistorsi."
Tak berhenti di situ, perlambatan ekonomi juga memukul bisnis retail, yang biasanya bertahan dalam kondisi sulit. Ellen Hidayat, Direktur Utama Mal Emporium Pluit sekaligus Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia untuk DKI Jakarta, mengatakan angka penjualan di gerai-gerai yang ada di mal sekarang bisa turun hingga 40 persen. "Bahkan sampai ke restoran. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya orang tidak belanja, tapi pasti tetap makan, kan?"
Inilah yang membuat para pengelola mal pontang-panting menggelar program diskon di luar waktu lazimnya untuk memancing masyarakat tetap berbelanja. Apalagi selama ini konsumsi masyarakatlah yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional tetap melaju. "Kalau masyarakat sudah menahan konsumsinya, sudah waktunya pemerintah turun tangan," kata Ellen.
Gustidha Budiartie, Ali Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo