IPTN, yang memproduksi pesawat CN-235 itu, tiba-tiba saja berdwifungsi menjadi tempat peragaan mesin tekstil dan garmen. Di tempat ini, pada tanggal 15-19 Juli, berlangsung pameran tekstil internasional ''Bandung Tex 1993''. Pameran yang dikoordinasi oleh PT Peraga Nusantara Jaya Sakti (PNJS) dan API Bandung ini adalah yang pertama di Bandung atau yang keempat kalinya di Indonesia. Sedikitnya 162 perusahaan dari 19 negara menggelar berbagai jenis mesin tekstil, mulai mesin tenun hingga mesin bordir. ''Hampir 60% mesin yang dipamerkan adalah keluaran terbaru,'' kata Manajer Umum PNJS, Hengky Irawan. Tajima, salah satu peserta dari Jepang, memperkenalkan mesin bordir tipe TMEG-X seri 1200-900-600-300. Mesin seharga Rp 150 juta itu, selain bisa melakukan 7.000 tusukan dalam waktu 10 menit, juga mampu mengombinasikan sembilan warna sekaligus. Seperti dikatakan Ketua API Indonesia, H. Lili Asdjudiredja, kesulitan yang dihadapi Indonesia dalam menembus pasar tekstil dunia yang lebih besar ialah karena merosotnya kualitas tekstil. ''Di Jawa Barat saja 40% mesin tekstilnya sudah usang sehingga produknya sulit bersaing,'' kata Lili. Ada harapan bahwa dengan pameran mesin tesktil ini para pabrikan tekstil akan tergugah untuk melakukan renovasi. Selanjutnya, mungkin usaha memperluas pangsa di pasar internasional akan tak terlalu sulit. Pada tahun 1992 Indonesia berhasil mengekspor tekstil dengan total nilai US$ 6 miliar atau 2,4% dari pasar tekstil dunia. Itu terjadi ketika kita masih mengandalkan mesin-mesin kuno. Kelak, dengan menggunakan mesin baru yang lebih canggih, API menargetkan, pada 1998 ekspor tekstil akan meningkat menjadi US$ 20 miliar 50% di antaranya dihasilkan dari Bandung. Dan pemilihan Kota Kembang sebagai tempat pameran tak sia-sia karena ternyata selama pameran berlangsung 80% mesin tekstil laku terjual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini