SUDAH saatnya Indonesia berhati-hati. Ekspor selama tujuh bulan pertama tahun ini ternyata turun cukup besar, 5,24 persen, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni dari US$ 34,22 triliun menjadi US$ 32,42 triliun. Sementara itu, pada periode yang sama, ekspor nonmigas turun 1,25 persen dari US$ 26,14 triliun menjadi US$ 25,8 triliun. Hasil tersebut diumumkan Ketua Badan Pusat Statistik, Soedarti Surbakti, Senin pekan lalu.
Meski demikian, Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional, Diah Maulida, yakin Indonesia mampu mencapai target ekspor nonmigas pada tahun ini senilai US$ 43 miliar karena ekspor pakaian jadi akan naik ketika Eropa dan Amerika memasuki musim dingin. Staf ahli Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, sama yakinnya. "Trennya menggembirakan. Kita mulai mencatat ekspor di atas US$ 5 miliar Juni lalu," katanya.
Tapi ada sejumlah soal yang bisa membuyarkan keyakinan pemerintah. Ekspor dua produk andalan Indonesia—tekstil dan produk tekstil (TPT) dan kayu—dalam periode Januari-Mei turun, masing-masing 15,5 persen dan 18,9 persen. Ekspor migas pada Januari-Juli 2002 dibandingkan dengan tahun sebelumnya juga turun, yakni dari US$ 8,1 miliar menjadi US$ 6,6 miliar. Di samping itu, impor pun turun, terutama bahan baku dan barang modal, masing-masing 18,38 persen dan 21,91 persen. Ini menandakan ekspor 2-3 bulan ke depan juga akan turun. Agaknya situasi perekonomian di Amerika Serikat, yang menyerap hampir seperempat ekspor nonmigas Indonesia, menjadi penyebabnya. Setelah melaju hampir 6 persen pada triwulan pertama tahun ini, tiba-tiba melambat hanya di atas 1 persen pada triwulan berikutnya. Benarkah ini pertanda buruk?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini