Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir merespons soal penguatan dolar Amerika Serikat. Ia menyebut BUMN perlu segera mengantisipasi dampak penguatan dolar, khususnya bagi BUMN yang terdampak pada bahan baku impor dan memiliki porsi utang luar negeri dalam dolar AS yang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"BUMN seperti Pertamina, PLN, BUMN Farmasi, MIND ID, agar melakukan pembelian dollar dengan tepat guna, bijaksana dan sesuai prioritas dalam memenuhi kebutuhannya," kata dia dalam keterangan tertulis pada Jumat, 19 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti diketahui, Erick sempat menginstruksikan BUMN tersebut memborong dolar di tengah situasi ini. Kini dia mengatakan BUMN perlu mengoptimalkan pembelian dollar, artinya adalah terukur dan sesuai dengan kebutuhan.
Ia menegaskan jangan sampai BUMN membeli dolar secara berlebihan. Menurut dia, seluruh elemen harus bijaksana dalam menyikapi kenaikan dollar saat ini. Langkah ini juga untuk mengantisipasi dampak lanjutan dari gejolak geopolitik dan ekonomi global.
Erick mengaku sepakat dengan sikap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyatakan pemerintah telah memiliki instrumen dalam bentuk devisa hasil ekspor yang ingin ditempatkan di dalam negeri. Selain itu, pemerintah menginginkan impor konsumtif dapat ditahan dulu dalam situasi saat ini.
"Untuk itu pengendalian belanja dan impor BUMN harus dengan prioritas dan sesuai dengan kebutuhan yang paling mendesak," kata Erick.
Terutama, ujar Erick, untuk BUMN yang memiliki eksposur import dan memiliki hutang dalam denominasi dolar AS. Dia kepada para direksi BUMN untuk tidak membeli dollar secara berlebihan, dan menumpuk.
Ia menjelaskan tingkat inflasi di Amerika yang sulit turun salah satunya dipicu oleh kenaikan harga energi. Situasi perang saat ini membuat harga energi secara global pun akan sulit turun. Akibatnya, bank sentral di seluruh dunia akan merespon dengan menunda kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan.
Walhasil, terjadi capital outflows dari negara berkembang dan membuat kenaikan imbal hasil obligasi, kenaikan suku bunga pasar dana (funding market) dan akhirnya kredit. Adapun saat ini imbal hasil obligasi negara sudah di 6,98 persen.