Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang, Banten, sama sekali tak sedap didengar. Sepanjang tahun lalu, 16 industri bangkrut dan 7.300 buruh dipecat. Kebanyakan perusahaan itu memproduksi tekstil, pakaian jadi, dan kulit.
Itu belum seberapa. Menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dilansir awal bulan ini, buruh yang telah dipecat sepanjang tahun lalu mencapai 121.823 orang. Belum dihitung perusahaan-perusahaan yang tidak melaporkan pemecatan karyawannya.
Alasan para pengusaha di balik tindakannya itu tiada lain langkah efisiensi dalam menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak dan persaingan yang makin ketat. Dan bukan mustahil, akibat kenaikan upah minimum, gelombang pemecatan bakal berlanjut tahun ini.
Untuk meredam gelombang pemecatan itulah, Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan, pemerintah telah menyiapkan berbagai resep. Dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Efri Ritonga, di kantornya, Jumat siang pekan lalu, pengusaha yang pernah dua kali menjabat Menteri Tenaga Kerja ini pun bertutur banyak soal ruwetnya masalah perburuhan di Indonesia.
Sesungguhnya apa yang menyebabkan pemecatan massal?
Bermacam-macam. Di sektor industri alas kaki, misalnya, karena jumlah pesanan yang menurun. Ada pula yang disebabkan harga bahan baku yang meningkat, sehingga pengusaha memilih mengurangi biaya komponen gaji buruh. Sebab lainnya menurunnya produktivitas.
Gelombang PHK masih akan berlanjut?
Setelah adanya kenaikan upah minimum, bisa saja ada PHK massal lanjutan, terutama pada sektor-sektor industri yang sudah berat. Karena itu, di sektor-sektor ini seyogianya ada kompromi antara buruh dan pengusaha.
Apa strategi pemerintah untuk membendungnya?
Pemerintah sebagai regulator punya beberapa instrumen. Yang telah dan akan terus digunakan adalah harmonisasi tarif, pengurangan pajak, dan memangkas peraturan daerah yang memberatkan.
Produktivitas buruh yang rendah dituding sebagai penyebab lemahnya daya saing industri....
Produktivitas bisa ditingkatkan bersama-sama. Syaratnya, pengusaha tidak boleh meragukan kualitas buruhnya. Pengusaha wajib meningkatkan kompetensi buruh. Kalau itu dilakukan, produktivitas pasti naik. Salah satu contoh sukses adalah PT Mattel Indonesia, produsen boneka Barbie, yang memiliki 12 ribu karyawan. Produktivitas buruhnya dulu jauh di bawah Cina, tapi kini hampir menyamai. Kuncinya adalah bimbingan, penyuluhan, pelatihan, dan insentif yang dilakukan simultan, sehingga buruh bersemangat untuk meningkatkan profesionalitasnya.
Bagaimana dengan penolakan upah minimum 2006 oleh pengusaha dan buruh?
Sejak dulu penentuan upah minimum tidak pernah mulus. Selalu ada pro-kontra dari pengusaha dan buruh. Pengusaha beranggapan, tingginya upah minimum akan menurunkan daya saing. Sebaliknya, buruh beranggapan, dengan kebutuhan hidup yang makin tinggi, tingkat upah sudah tidak mencukupi. Mereka pun yakin perusahaan sebetulnya sanggup membayar upah minimum itu.
Di mana akar persoalannya?
Kalau rumusan penentuan upah dipahami, sebetulnya tidak ada persoalan. Ada tiga faktor dalam penentuan besaran upah minimum. Pertama, pedoman kebutuhan hidup layak berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17 Tahun 2005. Kedua, tingkat produktivitas perusahaan. Jika perusahaan itu maju, upahnya bisa di atas minimum. Sebaliknya, kalau merugi, upahnya mungkin di bawah minimum. Ketiga, tingkat pertumbuhan ekonomi di satu daerah. Jika ada perbedaan pendapat, bisa dipakai forum konsultasi antara buruh dan pengusaha. Sayangnya, forum ini belum ada di semua perusahaan.
Berapa persen kemampuan industri menaikkan upah minimum?
Tergantung sektornya, tidak boleh dipukul rata. Industri-industri yang sedang menurun, seperti furnitur, tekstil, dan pakaian jadi, pasti akan berat membayar upah tinggi. Tapi industri makanan dan minuman tidak akan ada masalah. Hanya saja, berdasarkan perhitungan tahun lalu, kenaikan upah yang masih bisa diterima 10-15 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo