Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA awal tahun monyet ini, reaksi pasar terhadap kenaikan suku bunga dolar Amerika Serikat bulan lalu masih terlihat cukup terukur, walau rupiah sudah mendekati 14 ribu per dolar Amerika. Inflasi 2015 diumumkan turun ke angka 3,35 persen; dalam batas plafon zona aman Bank Indonesia, yakni 4 persen. Penerbitan obligasi pemerintah pun cukup diminati investor asing—menunjukkan persepsi positif pada awal Januari.
Tapi awan kelabu yang menutupi sebagian langit belum seluruhnya hilang, sehingga penurunan suku bunga rupiah masih perlu waktu. Ekonomi Cina masih lesu—sampai memicu penurunan tajam harga saham di sana—sehingga perdagangan harus disuspensi dua kali awal tahun ini. Pertumbuhan ekonomi Amerika yang tadinya menjadi tumpuan pendorong ekonomi dunia juga ikut melemah di bawah perkiraan. Akibatnya, kita tidak dapat mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari ekspor.
Ditambah lagi munculnya awan gelap baru akibat suhu konflik Timur Tengah yang mulai memanas menyusul eksekusi mati tokoh Syiah di Arab Saudi—dari komunitas minoritas Syiah yang bermukim di kawasan timur Saudi, yang padat dengan ladang, pipa, dan instalasi minyak. Ketegangan menjalar ke mana-mana; menempatkan kubu Iran yang mayoritas Syiah dan Saudi bersama sekutu Sunninya. Pemutusan atau penurunan level hubungan diplomatik yang terjadi dikhawatirkan memburuk hingga memicu konflik fisik.
Pengaruh konflik ini terhadap ekonomi dunia dan kawasan Asia bergantung pada sejauh mana eskalasi konflik dapat diredam sebelum menjadi perang terbuka. Masalahnya, pertentangan politik lebih mudah diatasi dibanding perselisihan yang melibatkan sentimen agama, yang cenderung sulit dikendalikan.
Yang menarik kali ini adalah memanasnya konflik Timur Tengah diperkirakan tidak mempengaruhi tren turunnya harga minyak dunia. Ini karena persediaan minyak global saat ini ternyata cukup berlimpah, sedangkan permintaan tengah menurun tajam akibat lesunya ekonomi dunia.
Sebagai produsen minyak terbesar dan terendah biaya produksinya, Arab Saudi ingin mempertahankan harga minyak global serendah mungkin. Tujuannya melumpuhkan produsen shale gas dari Amerika, yang membutuhkan harga sekitar US$ 60 per barel agar tetap berproduksi secara ekonomis.
Dengan berkembangnya produksi shale gas ini, sekarang Amerika sudah melakukan swasembada dalam persediaan minyak, Padahal sebelumnya mereka mengimpor cukup besar dari Saudi. Selain itu, Saudi menyadari bahwa pemerintah Iran membutuhkan harga minyak yang cukup tinggi untuk membiayai pertumbuhan ekonomi mereka.
Walau konflik ini tidak banyak mempengaruhi turunnya harga minyak global, tingkat ketidakpastian dunia usaha atau business uncertainty tampaknya masih akan berlanjut. Ini bisa memicu pelarian modal dari negara berkembang untuk mencari tempat yang aman sekaligus membuat tingkat bunga di negara berkembang susah turun.
Di kawasan Asia, muncul kekhawatiran baru menyusul informasi bahwa Korea Utara sudah berhasil meledakkan bom hidrogen pekan lalu. Ini juga membuat situasi keamanan dunia bertambah rapuh dan menambah tingkat ketidakpastian.
Masalahnya, faktor-faktor pemicu ketidakpastian itu praktis di luar kendali kita. Belum lagi dari dalam negeri, sumber lain ketidakpastian juga bertambah dengan kemungkinan terjadinya perubahan komposisi kabinet Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat ini. Nah, yang terakhir ini tentu saja merupakan faktor yang lebih bisa diatur. Kalau memang ada niat merombak kabinet, ada baiknya dilakukan sesegera mungkin.
Manggi Habir kontributor Tempo
KURS
Rp per US$
Pekan sebelumnya 13.794
13.946 Penutupan 7 Januari 2016
IHSG
Pekan sebelumnya 4.593
4.530 Penutupan 7 Januari 2016
INFLASI
Bulan sebelumnya 4,89%
3,35% Desember 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
30 Oktober 2015 US$ 100,24 miliar
US$ miliar 100,24 30 November 2015
Pertumbuhan PDB
2014 5,0%
5,1% Target 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo