Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT lelaki mengawal Din Minimi di depan rumahnya, Ladang Baro, Julok, Aceh Timur, pada Rabu pekan lalu. Lelaki 39 tahun bernama asli Nurdin Ismail itu juga diiringi dua perempuan dan dua bocah.
Belasan pria lain duduk di tenda, yang dibuat sebagai tempat menunggu tamu. Mereka terlihat lelah tapi selalu bersiaga. Seorang anak muda menghampiri Tempo, "Mau bertemu Abu Din?" Pemuda itu menuju rumah panggung 6x7 meter persegi dan tak berselang lama kembali muncul. "Abu mempersilakan masuk," kata dia.
Kampung Ladang Bajo terletak sekitar 75 kilometer di tenggara Lhokseumawe, ibu kota Aceh Utara. Untuk mencapai rumah Din, pengunjung harus menempuh perjalanan sekitar delapan kilometer dari arah jalan raya Banda Aceh-Medan, dengan naik-turun bukit.
Din tersenyum menyambut Tempo. Di lehernya terkalung kartu pengenal bertuliskan United Nations atas nama Juha Christensen, warga negara Finlandia yang selama ini menjadi fasilitator damai Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia sejak 2005. Juha merupakan pendiri Peace Architecture and Conflict Transformation Alliance (Pacta), organisasi nonpemerintah untuk resolusi konflik.
Din menjadi pusat perhatian pada Selasa dua pekan lalu. Ia disebutkan menyerahkan 15 senjata laras panjang plus sekarung amunisi kepada Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso. Foto Sutiyoso merangkul Din yang menyerahkan senjata disebar di mana-mana.
Kepada Tempo, Din menyatakan bergerilya di hutan "karena kecewa dengan pemerintah Aceh". Ia menilai mereka gagal menyejahterakan korban konflik dan mantan kombatan GAM. Ia mengatakan pemerintah menjanjikan segunung asa sejahtera yang tidak bisa dipenuhi. "Rupajih pas takalon kakeon –rupanya waktu kami lihat tidak seperti itu," kata Din.
Din menyatakan bergerilya di hutan bersama kelompoknya selama setahun "demi memperjuangkan hidup yang lebih baik". Kepada pemerintah, Din menyodorkan enam tuntutan, yakni melanjutkan proses reintegrasi, jaminan kesejahteraan para janda korban dan mantan GAM, serta kesejahteraan anak yatim-piatu korban dan keluarga mantan GAM.
Ia juga menuntut penyelidikan dugaan penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh serta pembentukan pemantau independen dalam pemilihan kepala daerah Aceh tahun depan. Terakhir, Din meminta jaminan pemberian amnesti kepada semua anggota kelompoknya yang menyerahkan diri.
Pendekatan dengan kelompok Din digagas ketika pemerintah Aceh menggelar peringatan 10 tahun perdamaian di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, pada 13-15 November 2015. Sejumlah tokoh yang terlibat dalam perundingan pada 2005 hadir, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Ketua Aceh Monitoring Mission Pieter Feith, Francisco Fontan Pardo yang mewakili Uni Eropa, serta Juha Christensen.
Para tokoh ini membahas Din dan mendesak pemerintah Aceh segera menyelesaikan persoalan dengan cara yang bijak. Ketua Acehnesse Australia Association, Tgk Sufaini Syekhy, mantan petinggi GAM di Australia, mengatakan ditelepon Din tak lama setelah peringatan itu. Din meminta dia untuk mendampingi bertemu Juha Christensen.
Kepada Sufaini, Din mengatakan ditelepon Juha, yang menyatakan ingin menemuinya di hutan. "Tapi saat itu pertemuan tidak terjadi," kata Sufaini.
Abdul Hadi Abidin alias Adi Maros, Ketua Aceh Human Foundation, lembaga yang juga bergerak di bidang perdamaian Aceh, juga kerap berkomunikasi dengan Din. Menurut dia, Din mengaku mendapatkan telepon dari Juha Christensen, yang menyatakan ingin menjumpainya di tempat persembunyian. "Ya, saya bilang bagus," kata Adi Maros.
Pertemuan antara Juha dan Din Minimi akhirnya terlaksana di hutan wilayah persembunyian Din sekitar sebulan lalu. Din mengatakan bahwa Juha bertanya tujuannya masuk hutan. Ia menjawab ke hutan untuk "berjuang agar fakir miskin, janda, dan anak yatim bisa hidup sejahtera". Menurut Din Minimi, Juha semalam menginap di hutan tempat persembunyiannya. Usai pertemuan, Juha kembali ke Jakarta.
Juha mengatakan prihatin terhadap belum optimalnya penanganan eks-kombatan GAM sehingga menodai perdamaian Aceh. Adapun Sutiyoso mengatakan, "Juha memang menjadi perantara saya dan Din Minimi."
Setelah terhubung, Sutiyoso bertanya apa yang diinginkan Din. Din menjawab agar mantan kombatan, anak yatim, janda, dan fakir miskin hidup sejahtera. Sutiyoso kembali bertanya, bagaimana memenuhi tuntutan itu. Din mengatakan anak yatim dan para janda yang belum memiliki rumah layak harus dibangunkan rumah yang pantas. Mereka juga perlu diberi modal usaha. Din menyatakan mau meninggalkan hutan jika ada jaminan ia dan kelompoknya diberi amnesti. Ia mengatakan Presiden Joko Widodo memberi jaminan soal itu. "Saya bicara dengan Presiden sekitar lima menit," tuturnya.
Sutiyoso mengatakan telah meyakinkan Din bahwa pemerintah serius. Ia pun menyatakan bertindak mewakili pemerintah. "Saya bilang ke Din, 'apa yang kamu minta sudah aku sampaikan ke Presiden'," kata mantan Gubernur DKI itu.
Langkah Sutiyoso mengundang banyak reaksi. Di antaranya dari Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Inspektur Jenderal Husein Hamidi. Ia menyatakan Din menyerah karena sebenarnya sudah terdesak operasi polisi dan Tentara Nasional Indonesia. Menurut dia, Din dan kelompoknya mencari perlindungan ke Sutiyoso walau berstatus buron. "Tapi kami tetap menghormati upaya Kepala BIN," kata dia.
Kepolisian Daerah Aceh menuduh kelompok Din melakukan 14 kejahatan sejak 16 Juli 2013 hingga 28 Desember tahun lalu. Polisi mengklaim telah menyita dua puluhan senjata serbu berbagai jenis, termasuk AK-47, pistol jenis FN, Sig Sauer, dan ribuan amunisi. Polisi juga menyita granat manggis dan pakaian loreng serta bendera GAM.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti juga menentang amnesti buat Din. Ia menyebutkan Kepala BIN tidak memiliki wewenang menjanjikan amnesti. Amnesti, kata Badrodin, juga tak menggugurkan kasus yang dilaporkan masyarakat. "Dasar hukumnya apa BIN memberikan amnesti?" kata Badrodin.
Kecaman juga datang dari Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh, Hendra Saputra. Ia menganggap Jokowi keliru jika memberikan amnesti kepada Din. Sebab, menurut Hendra, Din bukan kelompok pemberontak. Hendra mengatakan status Din adalah anggota GAM yang sudah mendapatkan amnesti dari pemerintah Indonesia pada 2005.
Itulah sebabnya, kata dia, Din harus diproses hukum. "Pengampunan bagi Din sangat tidak pantas," tutur Hendra. Pendapat Hendra ini didukung oleh Direktur Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia Aceh, Zulfikar Muhammad. Menurut dia, amnesti untuk Din diberikan harus terlebih dahulu dengan proses hukum. "Din harus diadili dulu, baru diampuni," kata Zulfikar.
Reaksi berbeda datang dari pemerintah Aceh. Mewakili gubernur, juru bicara pemerintah Aceh Frans Delian mengatakan sikap baik Din dan kelompoknya yang mau berdamai berpengaruh terhadap kondisi keamanan di Aceh. Soal kasus hukumnya, menurut Frans, pemerintah Aceh mengembalikan sepenuhnya kepada polisi. Frans mengatakan bahwa pemerintah Aceh tetap menerima Din dan kelompoknya karena mereka adalah bagian dari masyarakat Aceh. "Pemerintah Aceh memperhatikan tuntutan Din," ujar Frans.
Sutiyoso meyakini langkahnya benar. Senin pekan lalu, ia menyerahkan surat pengajuan amnesti untuk Din kepada Jokowi. Sutiyoso yakin, Presiden akan mengabulkan permohonan amnesti itu. Sutiyoso mengatakan amnesti tetap diajukan karena pengajuan amnesti telah menjadi kebijakan Presiden. Menurut dia, tidak mungkin amnesti diajukan jika Presiden tidak memberi lampu hijau. "Sebelum ini berjalan, saya sudah berkoordinasi dengan Presiden," katanya.
Jokowi berjanji memberikan amnesti kepada Din Minimi. Berbicara seusai rapat terbatas bidang politik, keamanan, dan hak asasi manusia di Istana Kepresidenan di Jakarta pada Selasa pekan lalu, Jokowi menyatakan pemerintah menggunakan pendekatan lunak dan keras dalam menghadapi kelompok teroris atau radikal.
Jokowi mengapresiasi BIN, Polri, dan TNI dalam menyelesaikan kelompok Din. "Saya berharap apa yang dilakukan Din juga ditiru oleh kelompok bersenjata lain di Papua dan Poso," kata Jokowi.
Sunudyantoro, Faiz Nashrillah, Dewi Suci Rahayu, Ananda Teresia (Jakarta) Imran M.A. (Aceh Timur), Adi Warsidi (Banda Aceh)
Buron dari Ladang Baro
Nama Dini Minimi mulai kesohor sejak ia muncul memegang senjata api laras panjang AK-47 pada Oktober 2014. Ia berkaus singlet loreng dengan lambang Gerakan Aceh Merdeka di dada kiri. Din lantas menyatakan melawan pemimpin Aceh, bekas kombatan GAM yang dianggapnya tidak amanah.
Din menuding pemerintah Aceh tak mengurus nasib sebagian eks-kombatan, janda, anak yatim, yang menjadi korban konflik. "Saya bukan kelompok kriminal, saya berjuang melawan ketidakadilan di Aceh," kata Din kepada Tempo, yang menemuinya di Ladang Baro, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur, Rabu pekan lalu.
Sejak itu polisi memburu Din. Ia memindahkan markasnya dari kawasan Julok, Aceh Timur, ke wilayah Aceh Utara, terutama di wilayah Geureudong Pase. Wilayah pedalaman Julok, yaitu Id dan Simpang Ulim, dijadikan wilayah gerilya. Din mengklaim memiliki banyak pengikut yang sukarela bergabung. Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso menyatakan Din memiliki 120 anak buah, yang meliputi 40 orang kombatan atau pasukan tempur, 40 orang bagian logistik, dan 40 orang intelijen.
Pada 1997, Din masuk GAM setingkat kecamatan pimpinan Panglima Hasyim. Dia mengurusi logistik, misalnya memasok barang ke hutan Aceh Timur. Enam tahun kemudian, Din mengatakan ditangkap polisi dengan tuduhan membantu GAM. "Sebulan saya disiksa lalu divonis setahun penjara," ujarnya.
Berdasarkan data Kepolisian Daerah Aceh yang didapat Tempo, kelompok Din melakukan 14 kejahatan sejak 16 Juli 2013 hingga 28 Desember tahun lalu. Polisi hingga kini menyita dua puluhan senjata serbu berbagai jenis, termasuk AK-47, pistol jenis FN, Sig Sauer, dan ribuan amunisi. Polisi juga menyita granat manggis dan pakaian loreng serta bendera GAM.
Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Husein Hamidi mengatakan Din dan sekitar 20 pengikutnya merupakan kelompok kriminal. "Mereka buron," katanya. Berdasarkan catatan polisi, kelompok Din ini paling aktif melakukan kejahatan dibanding empat kelompok bersenjata serupa yang lainnya.
Din Minimi bernama asli Nurdin Ismail. Sebutan Minimi lekat dengan Din karena ayahnya, yang bernama Ismail, pernah tertembak senapan mesin jenis FN Minimi. Tubuh Ismail disebutkan kebal peluru dan sejak itu orang sekampung menjulukinya "Ayah Minimi". Ismail masuk GAM angkatan 1977.
Nasib Ismail tak diketahui. Tapi banyak orang percaya ia tewas pada April 2003. Ia pamit pergi ke Lhokseumawe dan tak pernah pulang. "Din tak tahu di mana kuburan bapaknya," kata Safiah, 86 tahun, ibunya.
Menurut Safiah, Din, yang kini berusia 39 tahun, sempat bersekolah sampai kelas tiga sekolah dasar. Din menjadi buruh angkut kayu menyeberangi sungai dalam usia belasan tahun. Memasuki usia dewasa, ia bekerja di perusahaan kayu di Aceh Timur selama setahun sejak 1998–setahun setelah masuk GAM. Ia juga merantau menjadi operator alat berat di Pekanbaru, Riau. Din balik ke Aceh Timur menjadi tukang ojek di sekitar Alue Ie Mirah.
Satu dari enam adik kandung Din bernama Hamdani alias Sitong, yang menurut Din juga anggota pasukan GAM. Pada 2003, dalam usia 25 tahun, Sitong tewas ketika terjadi baku tembak dengan tentara di Alue Ie Mirah, Aceh Timur. Pada saat bersamaan, adik bungsu Din yang bernama Azhar juga ditangkap dan baru dibebaskan dua tahun kemudian, ketika perdamaian ditandatangani.
Muhamad Rizki, Imran M.A. (Aceh Timur), Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo