Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung meninjau langsung persiapan persiapan implementasi program bahan bakar campuran biodiesel 40 persen (B40) di Kilang Pertamina Refinery Unit II, Dumai, Riau. Tujuannya, untuk memastikan program ini agar dapat berjalan dengan baik tahun depan. Implementasi kebijakan ini rencananya akan dilaksanakan per 1 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sudah melihat kesiapan dari sisi industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Sabtu, 28 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yuliot memperkirakan kebutuhan biodiesel untuk mendukung mandatory B40 mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Angka tersebut mencakup distribusi ke seluruh Indonesia, sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama.
Menurut dia, tantangan dalam penerapan kebijakan ini tak hanya terkait dengan ketersediaan bahan baku, tetapi juga kondisi geografis yang Indonesia yang beragam. Oleh karena itu, dia mengharapkan masukan dari berbagai badan usaha untuk memastikan kelancaran implementasi mandatory B40.
“Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas, atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada impact yang perlu disiapkan baik oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang akan melaksanakan mandatori B40,” kata dia.
Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Didik Bahagia mengatakan, PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi B40, yakni Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Adapun, pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga.
“Pada dasarnya, kilang kami rata-rata memproduksi bahan bakar B0. Tetapi, insya Allah kami siap untuk memproduksi B40,” ujar Didik.
Selain B40, Didik mengatakan, Pertamina juga telah berhasil memproduksi bioavtur atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) dengan campuran 2,4 persen bahan bakar berbasis sawit. Produksi ini dilakukan di Green Refinery Kilang Cilacap melalui metode co-processing.
Dia menjelaskan, kapasitas pengolahan bioavtur saat ini mencapai 9.000 barel per hari (bph), dengan bahan baku dari produk turunan kelapa sawit, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO). “Uji coba telah dilakukan menggunakan pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-800 untuk rute Jakarta-Solo pulang pergi,” ucapnya.
Pilihan Editor: Yang Muda yang Sulit Mendapat Kerja