Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Jika dulu jamu gendong tergambar dengan perempuan yang berjalan kaki berkeliling kampung sambil menggendong bakul berisi botol jamu, sekarang kondisinya sudah berbeda. "Penjual jamu gendong itu sekarang hampir enggak ada lagi yang jalan kaki, tapi naik sepeda dan motor," kata Unun Matoyah, 35 tahun, perajin jamu gendong asal Dusun Kiringan, Canden, Kecamatan Jetis, Bantul, Yogyakarta, kepada Tempo di sela Festival Minum Jamu di Yogyakarta, Sabtu, 17 Februari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unun, yang terlahir dari keluarga perajin jamu di desanya, menuturkan mobilitas menjadi kebutuhan utama sehingga para pencinta jamu tradisional dapat terlayani. "Dengan naik sepeda atau motor, penjual jamu seperti saya bisa menjangkau tujuan jauh di mana pelanggan berada, seperti sekolah dan instansi," ujar ibu dua anak itu.
Unun menuturkan, dalam bisnis jamu gendong, ada tipikal konsumen yang menjadi ciri khas. Ketika sudah cocok dengan racikan jamu seorang penjual, kata dia, biasanya konsumen tak mau beli atau mengkonsumsi racikan jamu dari penjual lain. "Karena konsumen kalau sudah cocok dengan satu penjual, enggak mau beli dari penjual lain, persaingan di usaha jamu gendong ini jarang terjadi," ucap perempuan yang dalam sehari biasanya bisa menjual tujuh liter jamu di kawasan Kabupaten Bantul itu.
Unun menuturkan dusunnya, Kiringan, Desa Canden, merupakan salah satu sentra perajin jamu terbesar di Yogyakarta. Total ada 115 perajin jamu gendong aktif di sana.
Sejarah tumbuh suburnya jamu gendong di dusun Kiringan tak bisa terlepas dari peran seorang perempuan buruh pabrik batik bernama Joparto alias Niyem. Pada 1947-1948, di sela bekerja sebagai buruh batik, Joparto juga belajar membuat jamu dari seorang kenalannya di Alun-alun Selatan. Ia menjajakan jamu itu dengan berjalan kaki setiap hari dari Bantul ke Alun-alun Selatan dan akhirnya laris. Usaha Joparto itu mulai diikuti para tetangga dusunnya dan menjadikan Kiringan sebagai sentra perajin jamu gendong di Yogyakarta.
PRIBADI WICAKSONO