INI barangkali masih angin surga, yang begitu saja berembus dari kancah Perang Teluk. Dua pengusaha swasta nasional pekan lalu mengungkapkan, pemerintah Iran dan Arab Saudi telah menawarkan proyek bernilai sekitar US$ 260 juta (sekitar Rp 494 milyar) kepada mereka. Yang pertama ialah Satmarindo Group. Presiden direkturnya, Suryo Sulisto, mengatakan bahwa grupnya ditawari pembangunan sebuah dermaga di Pulau Kish, Iran. Sedangkan PT Tehnik Umum ditawari pembangunan jalan kereta api jalur Jeddah-Mekah-Medinah dan jaringan telepon Thaif-Mekah-Medinah. Ini diungkapkan oleh Presdir Tehnik Umum, Eddy Kowara Adiwinata. Proyek dermaga itu, "sebenarnya belum di tangan, tapi sudah dalam pembicaraan tahap akhir," tutur Suryo Sulisto. Katanya, bagi Iran proyek itu sudah sangat mendesak. Lokasi proyek di mulut Selat Hormuz terletak agak jauh dari kancah Perang Teluk. "Walaupun demikian, saya kira akan tetap diinspeksi oleh pasukan multinasional," ujar Suryo lebih lanjut. Sebaliknya, proyek yang ditawarkan Tehnik Umum masih harus menunggu selesainya Perang Teluk. "Memang mau kirim anak-anak (biar) mati di sana," kata Kowara. Jaringan telepon itu, kata Kowara, akan dikerjakan oleh konsorsium Indonesia. Untuk itu, Kowara merasa perlu konsultasi dengan para kontraktor yang pernah bekerja di sana. Dia juga akan bertanya apakah pemerintah sedia membantu. "Juga dengan Bank Indonesia," ujar Kowara lagi. "Sebab, bon tendernya harus dari Bank Indonesia sebagai jaminan." Menurut Kowara, tawaran ini diberikan karena hubungan baik antara para pejabat Arab Saudi dan Kowara, yang kini menjabat wakil presiden pada Islamic Chamber of Commerce and Industry and Commodity Exchange (Kamar Dagang & Industri dan Bursa Komoditi Islam). Nilai proyek tadi sebenarnya lebih dari US$ 200 juta. Pembayaran akan dilakukan langsung oleh pemerintah Arab Saudi. Pada 1978, ketika Kowara masih menjabat Ketua AKI (Asosiasi Kontraktor Indonesia), Tehnik Umum juga ikut dalam konsorsium yang membangun proyek pembangunan Hotel Intercontinental di Riyadh, pembangunan lapangan terbang Dhahran, dan perumahan perwira akademi militer Arab Saudi. Akan halnya proyek dermaga Iran, ternyata itu ditawarkan oleh suatu badan otorita yang statusnya langsung di bawah presiden Iran. Pemerintah Iran, menurut Suryo, semula tidak percaya bahwa Indonesia mampu melaksanakan pekerjaan di bidang jasa perminyakan. Setelah Satmarindo berjuang dua tahun -- antara lain dengan mengundang pejabat Iran untuk melihat fasilitas perniagaan yang sudah dibangun di Indonesia -- akhirnya mereka percaya. Satmarindo bergerak di sektor konstruksi perminyakan. Menurut Tonny Bisono -- bertindak sebagai Koordinator Proyek di Iran -- Satmarindo antara lain telah berpengalaman membangun anjungan minyak milik Arco, Maxus, dan IAP-Co. Satmarindo juga mampu membangun dermaga pelabuhan minyak lepas pantai. Proyeknya yang di Iran adalah sebuah dermaga sepanjang 400 m, bernilai US$ 200 juta. "Dasarnya berbentuk huruf U, yang digunakan untuk tempat merapat dua kapal pengangkut peti kemas dan dua kapal barang biasa," kata Tonny. Untuk tahap pertama, pembangunan oleh Satmarindo baru mencakup US$ 60 juta, meliputi pekerjaan pembangunan selama 1,5 tahun, termasuk bahan-bahan konstruksi yang akan diekspor dari Indonesia. "Kita harapkan sebanyak mungkin dapat dipakai jasa tenaga teknis dan material dari Indonesia. Sebab, proyek ini ada kaitannya dengan counter-trade," tutur Suryo Sulisto kepada Dwi S. Irawanto dari TEMPO. Counter-trade atau imbal beli adalah pola perdagangan mirip sistem barter, yang dicanangkan oleh Menko Ekuin Ali Wardhana pada 1985. Semula pola itu dimaksudkan untuk menyeimbangkan perdagangan antara dua negara yang sangat pincang, karena ekspor nonmigas Indonesia belum berkembang. Pelaksanaannya ternyata tidak begitu lancar, sebab kendalanya waktu itu terlalu banyak. Sebegitu jauh, pola imbal beli ini baru bisa diandalkan oleh Indonesia, khususnya untuk menutup biaya impor minyak dari Timur Tengah. Setelah Irak dan Iran melakukan gencatan senjata, dan mau mulai membangun, Menteri Muda Perdagangan Soedrajad Djiwandono berkunjung ke Teheran dan Baghdad untuk menawarkan pola counter-trade. Mereka ternyata bersedia. Maka, sejak 1988, Indonesia mulai mengimpor 30.000 barel dari kedua negara itu. Dan berakhirlah 100% ketergantungan impor minyak dari Arab Saudi. Adapun Arab Saudi memang menolak counter-trade. Proyek yang ditawarkan pada PT Tehnik Umum tersebut juga tidak terkait counter-trade. Namun, negara kaya minyak itu, menurut Soedradjad, masih merupakan mitra dagang Indonesia yang paling besar di Timur Tengah. Pada 1990 (Januari-September), ekspor nonmigas Indonesia ke Arab Saudi mencapai nilai US$ 239,7 juta, sementara impor minyak Indonesia dari Arab Saudi hanya bernilai US$ 132,5 juta. Kini, dengan pola imbal beli, Indonesia berhasil menyeimbangkan neraca perdagangannya dengan Timur Tengah. Dengan Irak, misalnya, ekspor nonmigas, yang pada 1986 baru US$ 1,9 juta, bisa naik sampai US$ 127 juta pada 1988. Pada 1990, ekspor nonmigas ke sana sempat mencapai US$ 82,4 juta. Celakanya, Irak terlibat perang, hingga imbal beli untuk sementara terhenti. Sementara itu, ekspor nonmigas Indonesia ke Iran telah naik dari US$ 12 juta menjadi US$ 36 juta. Jika Satmarindo memenangkan proyek bandar Kish, jumlah itu tentu meningkat lagi. "Pola counter-trade ini lebih gampang diterapkan dengan negara-negara Timur Tengah. Pertama, karena Indonesia sama-sama anggota OKI (Organisasi Konperensi Islam). Lagi pula bisnis bisa dilakukan melalui Islamic Development Bank (IDB)," kata Menmud Perdagangan. Dan kini, pemerintah mulai menjajaki pola counter-trade dengan anggota OKI yang lain, seperti Pakistan dan Mesir. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini