SUDAH jatuh tertimpa tangga. Atau tepatnya, tertimpa label. "Kesialan" ini menimpa produsen rokok kretek, yang selain diiming-imingi harga cengkeh yang tinggi, juga diharuskan Menteri Kesehatan memasang label "antirokok", pada setiap bungkus rokoknya. Di situ harus dicantumkan kata-kata "Merokok akan merugikan kesehatan Anda". Label yang akan menggoyang "keteguhan iman para perokok" itu harus dilaksanakan per 1 Oktober 1991. Namun, sebelum itu, sudah jatuh "gebukan" yang paling ditakuti Gappri, berupa harga patokan cengkeh yang baru. Harga ini ditetapkan pekan lalu, berkisar antara Rp 7.000 dan Rp 8.500 per kilo. Jelas, angka itu jauh dari yang diusulkan Gappri. Sebelum ini, Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia) sesumbar, berani membeli cengkeh dengan harga Rp 9.500 prangko pabrik. Artinya, harga terakhir di pabrik mereka. Kalau menggunakan patokan baru, diperkirakan harga si emas cokelat bisa mencelat ke Rp 18 ribu per kilo. Hampir dua kali lipat dari harga Gappri. Dari mana angka Rp 18.000 itu muncul? Tentu dari Rp 7.000 - Rp 8.000 ditambah berbagai beban biaya, seperti dana penyertaan KUD dalam BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) Rp 1.000, keuntungan untuk KUD sendiri Rp 500, biaya operasional tata niaga sebesar 1% dari harga terendah (Rp 70 setiap kilo), biaya kemasan Rp 50/kg, sumbangan rehabilitasi cengkeh (SRC) Rp 500/kilo, plus keuntungan -- dalam SK disebutkan sebagai imbal jasa -- untuk BPPC Rp 500. Ditambah dengan itu semua, harga patokan menjadi Rp 11.120. Ini jika dihitung dengan harga patokan tertinggi, yang Rp 8.500. Namun, itu bukan harga akhir. Produsen rokok masih harus menanggung berbagai biaya yang "sulit dijelaskan" angka-angkanya. Termasuk di sini sewa gudang -- BPPC saja sudah menyetok cengkeh sejak tiga tahun lalu, penyusutan (ditetapkan 3% dari harga) -- transportasi, asuransi, dan biaya bunga. Katakanlah harga di sekitar Rp 18.000, angka ini segera membunyikan lonceng kematian bagi 80 pabrik rokok kecil, yang produksinya di bawah 750 juta batang. "Tidak bisa ditolong lagi," kata J.P. Soegiharto Prajogo, Ketua Gappri. Suara senada dikemukakan Bambang Soelistyo dari PT HM Sampoerna. Dengan munculnya komponen baru -- seperti penyertaan modal KUD dalam BPPC, dan imbal jasa untuk BPPC sendiri -- produsen rokok harus menanggung kenaikan harga cengkeh 32-41%, yang tak mungkin terpikul produsen kecil. Dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit, Gappri mengusulkan agar Pemerintah memberi semacam kompensasi, yakni berupa penurunan PPN dari 8,2% menjadi 7,7%, sesuai dengan tarif PPN lama. Di samping itu, Soegiharto juga merasa gembira mendengar bahwa Pemerintah akan memberikan semacam insentif (subsidi) bagi produsen kecil. "Kami sangat wellcome," katanya. Namun, dengan stok 60 ribu ton cengkeh di gudang-gudang mereka, produsen rokok sebenarnya belum perlu berhitung saat ini. Akibatnya, stok utuh, tidak tersentuh. Kini, PT Kembang Cengkeh Nasional (KCN, yang dikomandani oleh Tommy Soeharto) memiliki stok 65 ribu ton. Rekannya, PT Kerta Niaga, menimbun 25 ribu ton. Ditambah stok pedagang, yang sekitar 15 ribu ton. Semua itu, ditambah hasil panen raya tahun ini (90 ribu ton), menambah timbunan cengkeh hingga setinggi 195 ribu ton. Untuk menyangga cengkeh sebanyak itu, BPPC sudah melakukan negosiasi dengan berbagai bank swasta, dan pemerintah, termasuk BRI, BBD, dan BDN. Kalau perlu. seperti kata Tommy, pihaknya akan mencari kredit dari luar negeri. "Kami sudah menjajaki, dan memperoleh komitmen dari sejumlah sumber di Brunei dan Eropa," katanya, tanpa merinci lebih jauh. Yang pasti, "Akan terjadi adu stok antara produsen dan konsumen," kata seorang produsen yang tak mau disebutkan namanya. Sementara itu, Direktur KCN Jantje Worotitjan meramalkan, "Semakin lama cengkeh itu di tangan kami, akan semakin mahal harganya." Prediksi ini pasti jitu, dengan catatan, jika memang ada yang membeli cengkehnya. Kalau tidak? Akan halnya produsen kretek, bisa saja mereka mengulur waktu, sampai tahun depan. Sementara itu, Kumhal Djamil, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, merasa khawatir. Katanya, kalau berjalan lancar, tata niaga cengkeh yang baru ini akan menguntungkan para petani. Namun, di balik itu, "Yang dikhawatirkan Pemerintah hanyalah masuknya cengkeh dan Singapura, yang cuma Rp 6,000 per kilo." Isu penyelundupan emas cokelat ini sejak tahun lalu sudah didengungkan oleh Gappri. Buat apa? Mereka mengancam, atau memang mau terjun ke bisnis gelap itu? Anehnya, petani yang kata Kumhal diuntungkan justru merasa dirugikan oleh harga patokan baru tersebut. Soalnya, harga Rp 7.000-Rp 8.500 per kilo tidak begitu berbeda dengan harga lama. "Ini berarti, yang dipertarungkan antara Gappri dan KCN selama ini bukanlah kepentingan petani," kata J. Lengkey, petani cengkeh Minahasa. Rekannya, Petrus Sumele, juga berkesimpulan serupa. "Sejak semula saya sudah kurang yakin, kalau nasib petani cengkeh bisa diperbaiki pedagang dan pabrik rokok. Ini mustahil," katanya geram. Tampaknya, dalam lingkaran seperti itu, hanya orang seperti Akeo yang bergembira. Bekas petani cengkeh dari Tomohon ini, sejak tahun lalu mengganti beberapa ratus pohon cengkeh miliknya dengan pohon vanili. Jerih payah ini ternyata tidak sia-sia. "Saya sudah menduga bakal seperti ini. Jadi, buat apa lagi berharap dari cengkeh?" katanya. Pernyataan itu meluncur begitu ringannya. Padahal, harga patokan yang baru itu, menurut Menteri Muda Soedradjad Djiwandono merupakan, "Hasil kesimpulan dari berbagai penelitian, yang telah dilakukan." Ia tidak menjelaskan adakah dalam merumuskan harga patokan itu pihak petani diikutsertakan. Mungkin di situlah "ibu" persoalannya TABEL ------------------------------------------------------------------ Komponen harga cengkeh untuk setiap kilogram ------------------------------------------------------------------ Harga beli dari petani (tergantung mutu) ..... Rp 7.000 Rp 8.000 Dana penyertaan KUD di BPPC .................. Rp 1.000 Imbal jasa (keuntungan) untuk KUD ............ Rp 500 Biaya operasional Tata Niaga ................. Rp 70 Biaya pengemasan ............................. Rp 50 Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh ............... Rp 500 Keuntungan (imbal jasa) untuk BPPC ........... Rp 500 Biaya penyanggaan cengkeh (tidak tetap) ...... terdiri dari: . Sewa gudang (sesuai dengan lamanya penyetokan) ..... Rp ... . Biaya penyusutan cengkeh ........................... Rp ... . Biaya Asuransi ..................................... Rp ... . Bunga Bank ......................................... Rp ... . Biaya Transportasi ................................. Rp ... ---------------------------------------------------------------- . + Rp X ---------------------------------------------------------------- Harga yang harus dibayar produsen rokok adalah Rp 9.620 atau Rp 11.000 + Rp X. Dengan demikian, harga jual diperkirakan berkisar antara Rp 18.000 - Rp 20.000 per kilogram. ---------------------------------------------------------------- Budi Kusumah, Moebanoe Moera, Bambang Aji, Jalil Hakim, dan Phill M. Sulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini