Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah buat pak lurah

Akademi pengacara dan penasehat hukum surakarta (apps), di solo, bermaksud mencetak pengacara siap pakai, diantara 40 mahasiswanya terdapat 12 lurah. (pdk)

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNAH dengar sekolah pengacara? Di Solo ata Akademi Pengacara dan Penasihat Hukum Surakarta (APPS). Akademi yang berstatus terdaftar ini baru mempunyai mahasiswa tingkat I sekitar 40-an. Sebagian besar mahasiswanya terdiri dari pegawai negeri maupun swasta, di antaranya 12 lurah. Para lurah itu selain dari Kodya Solo, juga ada yang datang dari Kabupaten Suko aro dan Wonogiri. Akademi ini didirikan memang dengan niat memenuhi kebutuhan pengacara siap pakai, kata Drs. R. Suroso, SH, direkturnya. Karena itu mahasiswa di tingkat III akan lebih banyak mendapatkan kuliah praktek. "Mereka akan diikutsertakan membela perkara di pengadilan," tambah Suroso. Gagasan awal APPS muncul ketika berlangsung Kongres Veteran 1967 di Jakarta. Salah satu hasil konres tersebut ialah dibentuknya Biro Advokat dan Pengacara Yayasan Karya Dharma (yayasan veteran). Biro inilah yang kemudian mempunyai gagasan mendirikan akademi pengacara, yang baru terwujud pada 1979 di Solo. Dipilihnya Kota Bengawan ini karena memang cabang Biro di kawasan ini yang aktif. Waktu itu APPS belum menerima mahasiswa tingkat I. karena sarananya memang belum siap. Tapi untuk membuktikan bahwa akademi ini bisa berjalan, waktu itu ditampung sejumlah sarjana muda berbagi ilmu sosial. Dengan kuliah selama I tahun antara lain meliputi berbagai cabang hukum, Pancasila dan tentang peradilan, para mahasiswa sariana muda itu diberi kesempatan mengikuti ujian pengacara di Pengadilan Tinggi Semarang. Menurut Surono hasilnya tak mengecewakan, meskipun direktur ini tak memperinci berapa yang lulus. Berangkat dari "percobaan" itulah Suroso optimistis akademi ini bisa berlangsung. Dan 1981 dimulailah menerima mahasiswa tingkat I. Tersedia sepuluh dosen yang kebanyakan sarjana hukum anggota Biro Advokat dan Pengacara kepunyaan veteran, ditambah seorang pejabat dari Pengadilan Tinggi Semarang. Tapi di mata Peradin Yogyakarta, APPS yang gedung kuliahnya masih numpang di sebuah SMA swasta itu tidak jelas juntrungannya. Memang Marhaban Zainun, SH, ketua Peradin Yogyakarta mengakui, "bahwa fakultas hukum tidak mendidik pengacara siap pakai." Tapi pendidikan setingkat akademi itu, dinilainya tanggung. Maksudnya, pengacara yang praktek di gedunggedung pengadilan selama ini biasanya bergelar sarjana hukum. Dan akademi memang bukan mendidik sarjana. Selain itu ia pun belum pernah tahu atau mendengar lulusan APPS pernah membela perkara di depan pengadilan. Yang lebih menyangsikan manfaat APPS ialah Mr. Soemarno P. Wirjanto, advokat Solo yang terkenal itu. Bagi dia pengacara tidak dibentuk di fakultas, apalagi di akademi. "Pendidikan bagi calon pengacara itu ya, dilakukan di kantor advokat," katanya. Bagi Soemarno, pengacara hanya bisa lahir berkat latihan, langsung menangani suatu perkara, alias magang. Maka pendidikan yang berambisi langsung melahirkan pengacara, bagi ketua LBH cabang Solo ini, "ibarat pendidikan montir, tapi tanpa mobil untuk praktek." Toh, Suroso tetap melihat manfaat akademinya, terutama bagi mahasiswa APPS yang lurah. "Orang kampung yang punya masalah, sebelum mencari pengacara biasanya datang kepada lurahnya," tutur Mudjijono, 50 tahun, lurah dari Kelurahan Joyosuran, Solo. "Maka kalau saya melek hukum saya bisa memberi petunjuk yang tepat." Karena itu Lurah Mudjijono masuk ke APPS. Selain itu minatnya masuk akademi ini juga didorong senngnya muncul perkara warisan, soal sewa-menyewa tanah dan rumah di kelurahannya. Dan kini Mudjijono yang telah berkuliah beberapa bulan, mengaku sudah mendamaikan perkara-perkara perdata di kelurahanya. Sebelumnya, ia hanya memberikan anjuran ke mana warganya harus minta tolong. "Tapi kalau perkara pidana, tentu saja saya tak berani," tambahnya. Manfaat lain bila lurah memahami hukum dengan baik, diceritakan oleh Marwoko, lurah dari Sukoharjo. "Dulu warga saya dipanggil polisi saja, belum tahu urusannya sudah ketakutan. Kini berkat penerangan saya, mereka tak lagi takut," katanya. Ia pun kini merasa bisa mendamaikan perkaraperkara perdata di daerahnya. "Tapi untuk memvonis tentu saya tak berani," tuturnya. Dan baru untuk pak lurah, nampaknya sekolah itu dirasakan bermanfaat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus