Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Freeport Indonesia masih menyelesaikan sejumlah persoalan lingkungan yang mengganjal proses pembayaran divestasi saham dari PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum. Saat ini, Freeport harus menyelesaikan sejumlah rekomendasi perbaikan operasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan sanksi administratif terkait pembuangan limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas optimistis penyelesaian isu lingkungan di lokasi tambang Grasberg, Timika, Papua yang dikelola perusahaannya, akan segera rampung.
"Sampai saat ini kami konsultasi terus, semoga bisa segera selesai," kata dia usai menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 17 Oktober2018
Sebelumnya pada Maret 2018, BPK merilis potensi kerugian negara akibat kerusakan ekosistem dari limbah Freeport sekitar Rp 185 triliun. Kemudian BPK menerbitkan delapan rekomendasi bagi Freeport. Laporan itu juga ditindaklanjuti KLHK. Sehingga, pada Juli 2018, KLHK menerbitkan 48 poin kelemahan Freeport dalam pengolahan lingkungan yang sekaligus menjadi sanksi untuk segera dibenahi.
Tapi, menurut Menteri Lingkungan Siti Nurbaya saat itu, perusahaan telah melakukan perbaikan sehingga 35 sanksi sudah selesai. Dari 13 sanksi yang belum selesai itu, yang paling berat persoalan tailing. Soal tailing yang belum tuntas, kata Inspektur Jenderal KLHK Ilyas Assad menjelaskan, akan diatasi dengan peta jalan penanganan yang digarap perusahaan dengan supervisi KLHK.
Tony menyebut bahwa dari enam dari delapan rekomendasi BPK sudah dipenuhi. Lalu saat ini, tinggal tersisa dua rekomendasi yang masih dalam proses penyelesaian yaitu: Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) dan kedua Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IIPKH) dari KLHK.
"Untuk IIPKH, sebenarnya sudah kami ajukan beberapa tahun, tapi disuruh ubah karena ada penambahan luas, tapi kami sudah masukkan lagi sejak September 2017," ujarnya.
Tony juga mengatakan bahwa KLHK memang menerbitkan sebanyak 48 sanki administrasi namun dipadatkan menjadi 30 instruksi bagi Freeport. Dari 30 itu, 24 sanksi sudah di selesaikan dan 6 sanksi masih dalam proses perbaikan. Tony menyebut perkembangan keenam sanksi atau poin ini sebenarnya juga disampaikan ke KLHK sehingga pihaknya tinggal menunggu kabar lebih lanjut. "Kan perlu proses," ujarnya.
Adapun keenam poin yang tersisa ini adalah pertama, DELH dari KLHK yang merupakan bagian dari rekomendasi BPK, kedua dan ketiga adalah mengenai air limpasan di lokasi pertambangan, keempat mengenai temuan emisi di Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), kelima pemasangan alat continiu di daerah Banti, Timika, lalu keenam pemenuhan baku mutu tambang di sejumlah lokasi.
"Kami progres terus, semua sudah kami sampaikan ke KLHK, dalam sebulan bisa meeting sampai enam hingga tujuh kali dengan KLHK," ujar salah seorang bekas pejabat Freeport yang membantu proses ini.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab mengenai isu lingkungan ini adalah PT Freeport Indonesia. Lantaran, proses pembayaran senilai US$ 3,85 miliar atau setara Rp 57,75 triliun (kurs Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat) belum selesai. Walhasil, Inalum saat ini masih menjadi pemegang saham minoritas dengan kepemilikan 9.36 persen saham.
"Kalau isu lingkungan tidak selesai, IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) tidak akan terbitkan, kemudian kami tidak mungkin membayar karena IUPK tidak ada," ujarnya.
Ketua Komisi Energi DPR Gus Irawan meminta persoalan lingkungan ini benar-benar diselesaikan Freeport agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Ia mencontohkan aksi korporasi PT Pertamina (Persero) yang justru membuat mantan Direktur Utama perusahaan tersebut, Karen Agustiawan, terjerat kasus pidana. "Ini saya mengingatkan Pak Budi (Dirut Inalum) sebagai sesama bekas bankir," ujarnya bekas Direktur Utama PT Bank Sumatera Utara ini.
FAJAR PEBRIANTO | MAJALAH TEMPO