Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ada perbedaan mencolok antara gaji tenaga kerja asing (TKA) dan tenaga kerja lokal di Indonesia. Ini kembali menjadi sorotan setelah The Reform Initiative mengungkapkan data soal gaji TKA ternyata 10 kali lipat lebih tinggi dibanding tenaga kerja lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menilai kesenjangan tersebut terjadi karena standar kompetensi yang masih timpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau mau gaji lebih tinggi, kita harus upgrade skill. Sehingga kompetensi kita setara dengan tenaga kerja asing. Dari situ kita bisa bernegosiasi," ujar Esther saat ditemui usai acara Diskusi Hasil Riset Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral di Indonesia di Hutan Kota, Senayan, Jakarta Selatan, Senin, 3 Februari 2025.
Ia menambahkan regulasi soal upah sebenarnya sudah ada, tetapi selebihnya bergantung pada negosiasi individu dengan pemberi kerja. "Minimal upah harus dipenuhi, tapi lebihnya tergantung negosiasi mereka sendiri," katanya.
Esther juga menyoroti rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan data BPS, hanya 12 persen tenaga kerja di Indonesia yang memiliki pendidikan tinggi, sementara 88 persen lainnya berpendidikan SD, SMP, atau SMA.
"Kalau tidak ada perbaikan, 2045 kita bisa mengalami ledakan pengangguran. Bukan bonus demografi, tapi bencana demografi," ujarnya.
Menurutnya, masih perlu program dari pemerintah untuk meningkatkan keterampilan dan pendidikan tenaga kerja. Tanpa perbaikan ini, Indonesia bisa kehilangan momentum dalam persaingan global.
Tak hanya soal pendidikan, Esther menilai pembangunan ekosistem bisnis yang kuat menjadi kunci dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal.
"Hilirisasi butuh ekosistem yang baik. Bukan hanya dari pemerintah, tapi juga pelaku usaha, infrastruktur, regulasi, hingga UMKM yang bisa berintegrasi dalam rantai pasok," kata dia.
Dengan tantangan global yang semakin kompleks, reformasi di berbagai sektor dinilai mendesak agar Indonesia bisa benar-benar memanfaatkan bonus demografi, bukan justru terjebak dalam krisis ketenagakerjaan.