PROGRAM pemerataan dalam pembangunan tak bisa dipisahkan dari Bappenas. Dalam Kabinet Pembangunan V, lembaga ini dipimpin Prof. Dr. Saleh Afiff. Kamis lalu, usai menghadiri pelantikan Soeharto sebagai Presiden/Mandataris MPR, Afiff langsung ke kantor untuk memimpin rapat staf terakhir. Usai rapat, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional ini masih bersedia menerima wartawati TEMPO Siti Nurbaiti, yang datang untuk sebuah wawancara khusus mengenai kebijaksanaan pemerataan pembangunan. Petikannya: Program pemerataan sudah banyak, tapi kenapa kesenjangan masih saja ada. Kesenjangan masih ada, juga diakui dalam pidato Presiden. Kenapa ada kesenjangan? Karena ada kelompok tertentu bisa memanfaatkan kesempatan yang terbuka dengan cepat. Mereka lebih ahli, lebih cakap, lebih punya modal, lebih tangkas, sehingga lebih maju. Sedangkan yang lain masih harus belajar. Ini menimbulkan kesenjangan. Bagaimana dengan pemerataan? Yang dimaksud dengan pemerataan itu apa? Rakyat kan bukan hanya membutuhkan uang. Pemerataan itu bukan hanya pendapatan, melainkan juga tersedianya pelayanan dasar, misalya pangan atau pelayanan kesehatan. Contohnya, di daerah terpencil, 25 tahun yang lalu, orang tidak bisa masuk rumah sakit kalau sakit paru-paru. Sekarang pelayanan itu ada. Kalau pelayanan pendidikan tidak ada, kesenjangannya akan lebih besar lagi. Kalau sekarang masih juga ada kesenjangan pendapatan, sebetulnya apa kelemahan dari program yang sudah ada? Bukan kelemahan. Masyarakat kan tidak homogen. Ada yang sudah kuat, ada menengah, dan lemah. Dengan adanya pembangunan, dibuka kesempatan yang dimanfaatkan oleh orang yang lebih pandai, mampu, terampil. Yang lain belum bisa, karena masih harus belajar. Cara mengatasinya? Ya, sistem pendidikan harus diperluas. Selain itu, mereka juga harus sehat. Di daerah terpencil dibangun prasarana fisik, pelabuhan, dan sebagainya, agar mereka bisa berkomunikasi. Mengapa kesenjangan antarprovinsi semakin besar? Ketika pembangunan dimulai 25 tahun lalu, sudah ada perbedaan besar. Bandingkan Jawa, Sumatera, dan Irian. Di Irian, 25 tahun yang lalu, jalan saja tidak ada, pelayanan lain juga tidak ada. Maka tidak mungkin dalam 25 tahun bisa sejajar. Tapi kan semakin sangat jomplang? Kita harus membandingkan perkembangan dari daerah-daerah yang terbelakang sekarang dengan 10 atau 25 tahun yang lalu. Mereka sekarang jauh lebih maju, kendati masih ketinggalan. Sejak zaman Belanda di Jawa kan sudah dibangun macam-macam, di Kalimantan dan Irian belum, sehingga Jawa lebih cepat berkembang. Tapi kita juga sadar bahwa ada kantong-kantong kemiskinan yang kurang tersentuh. Kita programkan untuk kantong-kantong itu, 30% dari seluruh anggaran pembangunan dalam rupiah. Apa kesenjangan itu tetap ada karena kita lebih menekankan pertumbuhan? Itu salah. Pertumbuhan itu adalah investasi swasta. Swasta bikin pabrik tekstil, sepatu, dan lain-lain. Itu yang menyebabkan pertumbuhan dan ekspor nonmigas kita meningkat. Itu investasi swasta, Pemerintah tidak ikut-ikut. Kita menyediakan prasarana, jalan, telekomunikasi, listrik. Saya katakan tadi, anggaran pembangunan ditujukan untuk menunjang pemerataan. Kalau kita mengutamakan pertumbuhan, kita tidak akan membangun jalan di Irian, tidak akan membangun sekolah di daerah terpencil, atau jalan, pelayanan kesehatan. Dan kita tidak akan mengubah daerah kumuh. Proyek-proyek besar di daerah biasanya jatuh ke kontraktor Pusat, umumnya BUMN. Bukankah dengan demikian uang untuk daerah tidak berputar di sana tapi kembali lagi ke Pusat? Kalau kita berikan satu proyek ke kontraktor daerah yang tidak mampu, tahu apa akibatnya? Pekerjaan yang harus selesai tiga tahun, bisa enam tahun. Siapa yang rugi? Rakyat di daerah kan? Maka kita atur begini. Kalau memang ada kontraktor daerah yang mampu, proyek harus melalui tender. Kalau kontraktor besar yang menang, dia harus bisa membina sub-contracting pada kontraktor-kontraktor daerah. Misalnya memakai tenaga kerja dan bahan yang ada dari daerah. Dengan demikan, ada alih teknologi dari kontraktor Pusat ke kontraktor daerah, tanpa mengorbankan masyarakat. Apa ada kebijaksanaan yang lebih baik dari kebijaksanaan sekarang dalam mengatasi kesenjangan untuk lima tahun mendatang ini. Program pemerataan yang ada harus tetap dilaksanakan seperti bapak angkat, sebagian dari BUMN harus bisa membantu golongan ekonomi lemah, koperasi dengan perusahaan-perusahan besar itu. Di samping itu, lebih banyak prasarana dibangun, hingga kesenjangan terus berkurang, walaupun perbedaan akan tetap ada. Artinya, kalau kita melihat ada petani padi, cengkeh, atau jeruk yang tidak mampu membayar PBB, sementara ada yang bisa membayar pajak miliaran, apakah itu sesuatu yang wajar? Menurut saya tidak. Saya melihat produktivitas petani sangat bergantung pada teknologi yang dipakai. Misalnya menggunakan pupuk, air, bibit unggul, dan sebagainya. Tapi ada batasnya. Tanah ditambah pupuk 100 kg akan meningkat produksinya. Tapi bila ditambah pupuk 100 kg lagi, tidak akan meningkat lagi. Lain dengan industri, produktivitasnya lebih cepat. Karena itu kita perlu industrialisasi untuk menampung orang-orang yang nantinya pindah ke industri. Misalnya lahan 1 hektar dengan hasil 5 ton dikerjakan 5 petani, sehingga masing-masing hanya mendapat 1 ton. Padahal, tanah itu bisa dikerjakan oleh 3 orang saja. Kalau 2 orang bisa pindah ke industri, kan pendapatan yang 3 orang bisa lebih besar. Jadi perlu banyak industri untuk bisa menampung lebih banyak tenaga dari pertanian. Tapi semua ini memang ngomongnya gampang, pelaksanaannya...?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini