Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehadiran pabrik-pabrik pembuat baja nonstandar mengganggu pasar baja Tanah Air. Pengusaha meminta pemerintah bersikap adil.
NIAT Hapsah, 59 tahun, menghemat biaya renovasi rumahnya yang rampung akhir Agustus lalu tak terlaksana. Mulanya warga Kramat Jati, Jakarta Timur, ini tergiur ketika pegawai toko menawarkan besi dengan harga lebih murah Rp 6.000 per meter ketimbang produk besi lain. "Tapi, saat saya lihat, penampilan besinya tidak meyakinkan. Diameter besinya kecil sekali," katanya kepada Tempo, akhir pekan lalu. Walhasil, Hapsah akhirnya memilih besi dengan diameter lebih besar untuk rangka rumah tingkatnya.
Hapsah bercerita, pegawai toko mengatakan batangan besi yang harganya lebih murah itu disebut dengan nama besi banci. Sedangkan produk besi lain yang biasa digunakan untuk rangka dan fondasi rumah, setahu dia, adalah besi penuh. "Saya pilih besi penuh karena khawatir tidak tahan lama kalau pakai besi banci." Setelah berkonsultasi dengan mandor yang mengerjakan renovasi rumahnya, Hapsah semakin yakin memilih besi penuh. "Supaya lebih aman."
Istilah besi banci dan besi penuh lazim digunakan di toko bahan bangunan untuk membedakan spesifikasi besi cor yang dijual. Besi-besi ini biasa dibeli konsumen untuk membuat rangka tembok, tiang, atau fondasi rumah. Selain kedua jenis besi itu, ada besi KS (merujuk pada kode besi buatan PT Krakatau Steel), yang harganya lebih mahal. "Tapi besi grade penuh dan KS kualitasnya sudah terjamin karena memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI)," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Hidajat Triseputro saat ditemui Tempo di kantornya, Kamis pekan lalu.
Kemunculan besi grade banci di toko-toko material, kata Hidajat, mulai marak lima-enam tahun terakhir. Sejatinya besi-besi ini hanya boleh dipakai untuk membuat perabotan, pagar rumah, atau benda ringan lain alias besi baja untuk keperluan umum. Tapi, pada kenyataannya, besi banci kerap dijual untuk rangka cor semen pada proyek renovasi atau pembangunan rumah. "Seharusnya tidak boleh karena, untuk keperluan konstruksi, besi yang digunakan harus sudah terstandardisasi."
Salah satu bukti besi-besi banci ini tidak terstandar, Hidajat menjelaskan, adalah diameternya. Baja tulangan beton polos biasanya dipasarkan dengan pilihan diameter 6, 8, 10, 12, 16, 19, hingga 50 milimeter. Lalu baja tulangan beton jenis ulir atau sirip biasanya berdiameter 13, 16, 22 milimeter, dan seterusnya. Tapi besi banci yang beredar di pasar menggunakan diameter tak lazim, seperti 7; 7,3; 7,5; atau 9 milimeter. Ukuran diameter ganjil seperti itu tak tertera dalam buku SNI baja tulangan beton nomor 2052:2014.
Besi banci membanjir di pasar hingga tingkat retail, menurut Hidajat, bersumber dari impor yang kebanyakan berasal dari Cina. Selain itu, sebagian besi-besi ini diproduksi perusahaan peleburan baja lokal yang menggunakan teknologi induction furnace (tungku induksi). Biasanya perusahaan yang memakai teknologi ini berskala kecil atau masuk kelas industri rumah tangga. "Teknologi induction furnace banyak masuk ke Indonesia pada 2010-2011," ucap Hidajat.
Waktu itu ada sepuluh perusahaan yang masuk ke Indonesia membawa teknologi ini. Padahal teknologi induction furnace sudah dilarang di banyak negara, termasuk Cina. Pasalnya, teknologi ini dianggap tak ramah lingkungan dan tidak hemat energi. "Jadi, setelah dilarang di negaranya, mereka lari ke sini." Perusahaan-perusahaan ini masuk dengan investasi rata-rata senilai Rp 30 miliar. Kapasitas produksinya pun kecil, 30-40 ribu ton per tahun. Jumlah perusahaan peleburan baja berteknologi tanur induksi disinyalir terus meningkat.
Berdasarkan data yang diperoleh IISIA, sepanjang 2015-2017 ada investasi baru di sektor industri baja dengan kapasitas total 300 ribu ton. Ketika diteliti, rupanya kapasitas total itu bersumber dari tujuh perusahaan. "Ini sudah pasti industri baja induction furnace karena kapasitas tiap perusahaan jadinya kecil, masing-masing sekitar 40 ribu ton," kata Hidajat. IISIA sendiri tak mengetahui pasti berapa total industri yang memakai teknologi tanur induksi di Indonesia. "Bisa jadi sudah ratusan."
IISIA telah meminta pemerintah menyaring investasi industri baja yang akan masuk ke Indonesia. Salah satu caranya dengan membatasi kriteria teknologi yang boleh digunakan pabrik. "Induction furnace jelas harus dilarang." Namun hingga kini aturan tersebut belum juga terbit. Padahal, sejak dua tahun lalu, IISIA bersama Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal berulang kali membahas rancangan aturan kriteria investasi.
Tanpa adanya kriteria investasi, Hidajat khawatir industri baja induction furnace makin merajalela. Dampaknya, baja yang diproduksi pabrik yang sudah sesuai dengan standar akan sulit bersaing. Menurut dia, kondisi ini sudah terasa dalam empat tahun terakhir. Banyak perusahaan baja anggota IISIA terpaksa mengurangi jumlah pegawai atau mengurangi produksinya gara-gara tak kuat bersaing dengan produk besi banci.
Perusahaan produsen baja terbesar di Indonesia, Krakatau Steel, ikut merasakan dampak kehadiran besi banci dan besi impor di bawah standar. Corporate Secretary PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Iip Arief Budiman mengatakan keberadaan produk-produk tersebut tak cuma menekan pasar, tapi juga mendompleng merek dagang yang ada. "Yang paling dirugikan tentu konsumen karena mendapatkan produk yang kualitasnya tidak terjamin."
Krakatau Steel sempat beberapa kali bersengketa dengan produsen besi lain yang mendompleng merek KS. Pada 2009, misalnya, perseroan menggugat dua perusahaan yang mencantumkan kode KS pada produk baja buatan mereka. Padahal kode ini adalah merek dagang Krakatau Steel yang sudah terdaftar. Dalam persidangan, perusahaan pelat merah ini berhasil memenangi gugatan. Kasus serupa terjadi pada 2013. Kali ini Krakatau Steel meminta pembatalan tujuh merek produk baja buatan PT Perwira Adhitama Sejati, yang juga mendompleng merek KS.
Seorang anggota IISIA yang cukup mengetahui isi dapur Krakatau Steel menyebutkan keberadaan produk buatan pabrik induction furnace membuat operasi anak perusahaan KS, Krakatau Wajatama, terganggu, bahkan sempat stop produksi. Namun, menurut Iip Budiman, kendala yang dihadapi Wajatama lebih pada pemenuhan bahan baku.
Adapun menurut seorang pengusaha baja yang memiliki pabrik peleburan berteknologi electric arch furnace asal Jakarta, para pengusaha yang menggunakan teknologi induction furnace juga banyak yang tak membayar pajak. Akibatnya, selisih harga jual produk baja banci bisa lebih rendah hingga 20 persen. Angka ini terbilang besar dan sulit dipenuhi pengusaha lain. "Mereka bisa jual dengan harga murah selain kualitasnya rendah karena tak membayar pajak pertambahan nilai."
IISIA pernah melakukan kajian, dari 15 juta konsumsi baja nasional per tahun, diperkirakan sekitar 60 persennya dikuasai baja induction furnace. "Ini pajak yang lari luar biasa besar," ujar pengusaha yang enggan disebutkan namanya itu.
Para pengusaha jelas gerah dengan praktik lancung ini. "Bayangkan saja, sudah mutu produk rendah, tidak bayar pajak, proses produksinya juga membahayakan lingkungan." Jika dibandingkan dengan pabrik lain, kata dia, rata-rata pabrik peleburan induction furnace berada di lahan terbuka dan tidak punya fasilitas pembuangan debu. Dia meminta pemerintah segera menerbitkan aturan dan melakukan tindakan tegas. "Ini soal keadilan. Masak, kami yang menjalankan usaha secara benar malah tidak mampu bersaing?"
Praga Utama, Ayu Prima Sandi, Khairul Anam
Lima Besar Produsen Baja Dunia (juta ton, 2016)
ArcelorMittal: 95,45
China Baowu Group:63,81
HBIS Group: 46,18
NSSMC Group: 46,16
POSCO: 41,56
Pengguna Baja Jadi (2016, 1,515 miliar ton)
Cina: 45%
Asia Lainnya: 16,9%
Uni Eropa: 10,4%
NAFTA: 8,7%
Jepang: 4,1%
CIS: 3,2%
Eropa: 2,7%
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo