KALAU ada kebijaksanaan yang ditakdirkan berusia pendek, itulah kebijaksanaan yang dibuat oleh direksi Perusahaan Listrik Negara (PLN). Diumumkan awal Januari lalu, kebijaksanaan yang termaktub dalam sebuah surat edaran (SE) ini pada pokoknya melarang sektor industri menggunakan listrik PLN di saat beban puncak (pukul 18.00-22.00). SE itu juga menyebutkan, izin penggunaan listrik pada beban puncak -- yang pernah diberikan pada beberapa perusahaan -- dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain itu, mulai 1 April, pabrik-pabrik yang tetap memanfaatkan listrik PLN pada saat beban puncak akan dikenai sanksi berupa pemutusan sambungan sementara. Membaca "vonis" ini, banyak pengusaha kelabakan. "Kalau begini keadaannya, apakah niat Pemerintah untuk mengundang investor asing bisa terlaksana?" tanya H. Setyo Kasnan, Pimpinan PT Suri Mulia Permai, yang membuka kawasan industri seluas 200 ha di Tandes, Surabaya. Tatkala pengusaha kian resah, Dirjen Listrik dan Energi Baru, Artono Arismunandar, Sabtu lalu memanggil direksi PLN ke kantornya. "Keputusan itu sudah diralat. Dan tidak akan ada sanksi pemutusan saluran," katanya. Tak pelak lagi, SE yang dikeluarkan direksi PLN telah dinyatakan gugur sebelum "bertempur". Namun, "Saya tidak menyalahkan mereka, itu kan interpretasi para pemain di lapangan," kata Artono Arismunandar. Dijelaskan olehnya, sepanjang Pelita V, Pemerintah memperkirakan kebutuhan akan listrik naik cuma 14,6% saja. Ternyata, dalam dua tahun kebutuhan itu meningkat jadi 18,7%. "Wajar, kan, kalau ada imbauan pengereman," tutur Dirjen, sedikit bergurau. Adapun pemakai listrik terbesar berada di sektor industri. Dalam periode 1990-91, sektor ini diperkirakan mengonsumsi listrik sekitar 13,4 milyar KWH -- naik sekitar 22,3%. Menyusul sektor usaha (2,12 milyar KWH), dan industri perhotelan 521 juta KWH. Berdasar kenyataan itu, Indonesia sudah termasuk pemakai listrik yang produktif. Itulah kesimpulan Dirjen Arismunandar yang dikemukakan pada Sugrahetty Dian dari TEMPO. Namun, bila dibandingkan konsumsi listrik di negara-negara maju, tingkat produktivitas kita masih terbilang rendah. Sebab, sektor industri di negara maju mengonsumsi 70% dari total kekuatan listrik yang tersedia. Bahwa PLN tidak siap, itu bukanlah kesalahannya. Yang agak di luar perhitungan adalah, pada periode 1990-91, investasi PMDN (naik tiga kali lipat) dan PMA (dua kali lipat). Kok, bisa begitu? "Kami hanya memanfaatkan peluang," tangkis pengusaha Sofjan Wanandi, dalam sebuah dialog ekonomi di RCTI, pekan silam. Akibatnya terlihat nyata di Surabaya. "Setiap pengusaha yang masuk kemari harus bisa memenuhi kebutuhan listriknya sendiri," kata Ang Kian Hoo, manajer proyek PT Kasih Jatim, yang akan membuka kawasan industri seluas 400 ha. Di Sumatera Utara, Gubernur Raja Inal Siregar menegaskan, gara-gara listrik, industri di daerahnya tak mencapai pertumbuhan 10%. Lalu, adakah upaya untuk mengatasi paceklik listrik ini? Tentu saja ada. Menurut Dirjen Aris, akan dibangun pembangkit-pembangkit baru, dan serentak dengan itu Pemerintah membolehkan investor mengimpor genset. Tanpa bea masuk. Alternatif yang terakhir ini justru membawa hikmah. Hikmah itu sudah dibuktikan oleh E. Hasibuan, Kepala Divisi Listrik dari Grup Bukaka. "Menggunakan generator lebih murah ketimbang listrik PLN," katanya. Dia memberi perbandingan sebagai berikut. Untuk masa pemakaian empat jam, generator hanya menelan biaya Rp 83.400 per hari. Namun, PLN -- sesuai dengan tarif yang berlaku -- bisa mengajukan tagihan Rp 102.775. Jadi, PLN 23% lebih mahal. Budi Kusumah, Laporan Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini