Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh hari pertama dalam jabatan nya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian diisi Rizal Ramli dengan banyak bicara dan bekerja. Rapat dengan para menteri bidang ekonomi segera diadakan, sepuluh program pemulihan ekonomi sudah pula disusun, dan yang paling mengejutkan: mengambil alih urusan swastanisasi BUMN, yang semula berada di bawah Departemen Keuangan, dan sebelumnya lagi ditangani oleh kantor Menteri Negara Pemberdayaan BUMN.
Sebelum ada "interupsi" terhadap gagasan yang cukup berani inisebagai menteri koordinator, diasumsikan Rizal mengoordinasi para menteri teknis di bawahnya, dan bukan melakukan tugas itu sendiriia sudah lebih dulu menegaskan bahwa akan dibentuk sebuah badan, khusus untuk menangani swastanisasi badan usaha milik negara (BUMN). Badan itu langsung berada di bawah kontrolnya, dan jangan kaget, pembentukan badan itu sudah disetujui Presiden Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati. Seakan bisa menangkap kebingungan orang, Menko yang bekas kepala Bulog ini segera menambahkan, "Badan baru itu akan melibatkan kementerian dari departemen terkait." Dengan demikian, "Mereka bisa memberikan masukan terinci untuk proses swastanisasi."
Belum jelas bagaimana mekanisme kerja yang akan dikembangkannya, tapi harus diakui ada sense of urgency di sana, ada kebutuhan untuk suatu gerak cepat. Dulu Presiden Soeharto merencanakan swastanisasi BUMN untuk membayar utang pemerintah, tapi dalam pelaksanaannyadi bawah Tanri Abengpenjualan batal karena tercium aroma korupsi dan kolusi yang menusuk. Becermin pada kasus swastanisasi gaya Tanri ini, Rizal tentu tidak akan mengulangi kecerobohan yang sama.
Dan tampaknya, dia juga bisa tegar menghadapi para petinggi dari lembaga internasional yang memberi utang pada Indonesia. Berhadapan dengan pejabat IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia, mantan tahanan politik ini tampak tak berkedip. Seakan ingin menunjukkan Indonesia bukan sekadar anak manis, ia minta pada IMF untuk menunda pertemuan, agar ia sempat meninjau ulang letter of intent (LoI). Rizal tak gentar tatkala tindakan itu menyebabkan tertundanya pengucuran pinjaman dari IMF US$ 400 juta. "Tak masalah," kata Rizal enteng, "neraca perdagangan kami sedang surplus."
Lebih dari itu, ia menghendaki agar sepuluh program percepatan pemulihan ekonomi yang disusunnya masuk dalam LoI. Dan IMF tampaknya akan setuju. Wakil Direktur IMF untuk Asia Pasifik, Anoop Singh, sudah menyatakan akan mendukung tim ekonomi baru, berikut program mereka. Mengapa IMF kini lebih "lunak"? Menurut Rizal, mungkin ia terbantu oleh citranya sebagai pengamat ekonomi yang keras. Tapi ia yakin, pada dasarnya semua tergantung tawar-menawar. Bila orang lama belum apa-apa sudah menyerah, ia malah memasang call tinggi. "Itu yang namanya leverage," ujarnya seperti dikutip Kontan.
Dengan memilih posisi "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah" seperti itu, Menko Perekonomian yang baru ini juga mengisyaratkan bahwa ia tahu bagaimana mencapai sasaran pemulihan ekonomi. Mungkin bertolak dari sudut pandang itu pula, Rizal memilih untuk langsung menangani swastanisasi BUMN. Ia tampaknya berniat memulihkan ekonomi berdasarkan investasi. Jadi, tak lagi mengandalkan pinjaman seperti selama ini. Dan itu berarti, sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bantuan asing.
Untuk itu pula pemerintah, kabarnya, akan men-swap utang US$ 134 miliar dengan penyertaan modal. Bila berhasil, hal itu bisa sangat menolong kas pemerintah. Sebab, akhir tahun ini saja utang pemerintah sudah mencapai 91 persen dari GDP. Soalnya, kalau utang tak dipangkas, hampir seluruh penghasilan negara bisa tersedot untuk membayar utang.
Dalam kaitan dengan itu, Rizal akan mengundang para investor untuk membeli saham BUMN. Perusahaan yang hendak dijual, menurut dia, berasal dari sektor yang paling seksi, yaitu telekomunikasi, transportasi, perkebunan, hotel, dan pariwisata. "Di seluruh dunia," ujarnya, "yang namanya telekomunikasi itu, kalau dikerjakan dengan benar, bisa menghasilkan miliaran dolar." Namun, saham yang dijual cuma dari perusahaan lapis kedua. Hasilnya digunakan untuk menutup lubang di anggaran sebesar Rp 6,5 triliun. Dari sektor telekomunikasi, saham Indosat, misalnya, lebih diprioritaskan untuk dijual ketimbang saham Telkom. Sedangkan dari transportasi, yang diprioritaskan adalah saham Merpati Nusantara ketimbang Garuda.
Rizal mengharapkan para calon pembeli adalah pemain telekomunikasi kelas dunia, plus Singtel dari Singapura yang mewakili Asia. Alasannya, agar setelah masuk, manajemen baru segera membenahi lebih cepat dan kemudian membawa perusahaan ke lantai bursa dunia untuk menambah modal. Dari sini, investasi bisa lebih besar lagi.
Dengan swastanisasi perusahaan lapis kedua, sementara tetap menguasai BUMN yang lebih besar, pemerintah berharap menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih bersaing. "Perusahaan lapis kedua itu harus di tangan swasta agar dapat bersaing dengan BUMN," ujar tenaga ahli BPPN, Amir Sambodo, yang juga rekan sealmamater Rizal di ITB. "Dengan cara itu kita berharap dapat menciptakan perekonomian yang lebih sehat," tuturnya.
Namun, di mata Laksamana Sukardibekas Menteri Pemberdayaan BUMN yang dipecat Gus Durgagasan Rizal hanya indah di atas kertas. Menurut Laks, panggilan akrab Laksamana, "Investor biasanya ingin membeli perusahaan yang paling baik." Berarti, pemerintah tak bisa pilih-pilih. Apalagi kewajiban menyetor dana untuk APBN tak bisa ditunda. Tujuan swastanisasi sendiri, menurut Laks, adalah untuk menciptakan nilai tambah dan keterbukaan BUMN dengan proses yang sesuai dengan uji kelayakan dan kepantasan. Karena itu, ia mengusulkan lebih baik menjual saham BUMN, kendati sedikit. "Misalnya lima atau sepuluh persen," ujarnya. Tujuannya, agar manajemen asing yang profesional masuk dulu untuk membenahi BUMN tersebut.
Selain itu, dikhawatirkan bahwa pengelolaan BUMN oleh kantor Menko Perekonomian tak lebih dari upaya pemanfaatan sumber daya di sana untuk kepentingan kelompok tertentu. "Dalam hal ini orang-orang di sekitar Presiden Abdurrahman Wahid," ujar ekonom Sri Adiningsih dari UGM. Padahal, di semua BUMN itu terkumpul 40 persen aset nasional. Untuk mencegahnya, DPR, menurut Laks, akan segera membuat undang-undang tentang pemanfaatan kekayaan negara.
Berbeda dengan Laks dan Sri, ekonom Faisal Basri lebih menyoroti konsep pengelolaan BUMN yang katanya, "Masih belum matang." Padahal, pemerintah sudah membayar mahal konsultan asing, tapi hasilnya belum dibaca. "Saya enggak tahu, mungkin ini yang namanya action oriented tanpa baca-baca dulu," ujarnya. Contoh ketidakjelasan konsep itu adalah peran pemerintah di BUMN. "Sebagai perencana, pemain, atau wasit?" Faisal bertanya.
Pengelolaan BUMN di bawah kantor Menko Perekonomian pun tak lepas dari kritiknya. "Apa urgensinya?" ia menyoal. Justru dengan pengambilalihan itu, ia khawatir lingkup tugas Menko bukan lagi mengoordinasi tapi juga mengimplementasi. Di satu sisi, hal ini membuat Menko kelihatan bergigi. Tapi di sisi lain, membuat Menko terlibat pada hal-hal yang teknis dan rinci.
Tapi Faisal setuju bahwa BUMN memang harus diswastakan. Alasannya, BUMN tak akan maju bila tetap dikelola pemerintah yang aparatnya tak pernah memaksimalkan laba. Betul, akibat swastanisasi, pendapatan dari dividen akan berkurang. Namun, pemerintah bisa meraup pendapatan lain dari pajak.
Mengenai pelepasan saham BUMN, menurut Faisal, caranya bermacam-macam. Ada yang lewat penawaran perdana di bursa saham alias IPO; mencari mitra strategis, atau langsung private placement. Ada juga yang dilikuidasi dan dikorporatisasi dulu. Nah, semua proses itu, menurut Faisal, sebaiknya tak diserahkan ke birokrasi. "Serahkan saja ke konsultan," ujarnya.
Kriterianya sendiri untuk melakukan privatisasi adalah karena alasan internal dan eksternal. Alasan internal, ya, efisiensi. Sedangkan alasan eksternal berupa manfaat sosial. Berdasar kriteria itu, BUMN yang sudah efisien dan punya manfaat sosial, menurut dia, jangan diganggu dulu. "Kalau digerayangi, nanti jadi rusak," katanya. Sebaliknya, terhadap perusahaan yang tidak efisien dan manfaat sosialnya rendah, dianjurkan untuk segera dilikuidasi. "Jangan berpikir panjang," ujarnya, "wong boros ."
Lalu, BUMN apa yang bisa segera dilego? "Perusahaan yang efisien tapi manfaat sosialnya rendah," ujar Faisal. Perusahaan begini biasanya manajemennya oke, tapi tak perlu lagi ditangani pemerintah. Sebaliknya, yang eksternalitasnya tinggi tapi tidak efisien dibenahi dulu. Caranya? Lewat rekayasa, korporatisasi, atau mencari mitra strategis. Contohnya Garuda. Menurut Faisal, maskapai burung besi kepunyaan pemerintah itu harus segera beraliansi seperti dilakukan maskapai penerbangan lain di seluruh dunia saat ini.
Faisal menegaskan lagi, pembenahan BUMN tak perlu tergesa-gesa. Apalagi kalau sekadar memenuhi target setoran Rp 6,5 triliun ke anggaran. Toh, "Sudah ada tambahan Rp 10 triliun dari rezeki minyak," katanya menambahkan. Pembenahan itu, menurut dia, paling tidak makan waktu enam bulan. Di masa depan, para direksi BUMN, selain harus lolos uji kelayakan dan kepatutan, kalau perlu juga membuat kontrak manajemen seperti di swasta. Jadi, mereka dipacu lewat sistem hukuman dan ganjaran. Bila memenuhi target, mendapat bonus. Kalau tidak, ya, mesti siap mengundurkan diri. Dengan sistem ini, direksi BUMN tak perlu mencuri agar bisa kaya. Dan perusahaannya pun terhindar dari "keroyokan" partai-partai politik.
Nugroho Dewanto, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo