RASANYA peristiwa itu belum hilang dari ingatan. Siang 7 Maret 2000, di Gedung Bank Mandiri, empat pelaku bisnis negeri ini menandatangani kesepakatan restrukturisasi utang Asia Pacific Resources International Holdings Ltd. (APRIL), anak perusahaan Raja Garuda Mas di Singapura, senilai Rp 1,260 miliar. Keempatnya adalah Ketua BPPN ketika itu Cacuk Sudarijanto, mantan Dirut Bank Mandiri Robby Djohan, Dirut Bank BNI Saefuddin Hasan, dan pemilik APRIL Sukanto Tanoto. Penandatanganan secara diam-diam itu menjadi antiklimaks "perlawanan" jajaran menengah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang sejak MoU itu diajukan pihak Raja Garuda Mas (RGM), Agustus 1999, sudah menolaknya.
Apa urusan BPPN dengan kasus ini? Kaitannya sangat erat. Status BPPN kini adalah sebagai kreditor alias pemberi pinjaman kepada anak perusahaan RGM yang sering disebut Riau Complex itu. Sebab, beberapa bank kreditor kelompok usaha itu kini dikuasai agen penyehatan perbankan itu. Jadi, kalau kelompok usaha yang sering disebut Riau Complex itu ngemplang, ya, BPPN-lah yang akan kalang-kabut. Utang RGM dicetak melalui APRIL, yang mendapat pinjaman dari tujuh bank dalam negeri dan kreditor asing. Utang itu terbagi pada tiga anak perusahaannya: PT Riau Andalan Pulp (US$ 550 juta), PT Riau Andalan Kertas (US$ 280 juta), dan PT Riau Prima Energi (US $ 428 juta).
Nah, belum dua bulan restrukturisasi berjalan (secara keseluruhan, prosesnya memang baru selesai November lalu), APRIL sudah meminta restrukturisasi utang lagi. Kali ini untuk utangnya sebesar US$ 70 juta yang akan jatuh tempo awal Maret 2001. Dow Jones menulis, APRIL mengalami kesulitan karena harga bubur kertas jatuh dalam enam bulan terakhir dan perusahaan mengalami kelebihan produksi.
Sumber TEMPO mengatakan, permintaan itu sangat aneh, karena itu berarti ketika restrukturisasi ditandatangani, mereka sebenarnya sudah tahu bahwa konsep restrukturisasi itu tidak bisa dijalankan. Dan kini APRIL menyodorkan konsep restrukturisasi yang dulu jelas-jelas sudah ditolak BPPN. Dalam restrukturisasi ini, RGM menginginkan utangnya diperpanjang hingga tahun 2012?enam tahun lebih panjang dari ketentuan dalam kesepakatan restrukturisasi yang telah diteken. Kenapa? Juru bicara APRIL, Chua Munyuen, seperti dikatakan Dow Jones mengatakan bahwa perusahaan sedang berusaha menyelesaikan utangnya dan menolak berkomentar lebih jauh.
Dirut BNI, Saefuddin Hasan, ketika dimintai konfirmasi menjelaskan bahwa sejauh ini pihak Riau Complex belum memberikan penjelasan secara resmi mengenai rencana mereka meminta restrukturisasi ulang utang mereka kepada BNI. "Saya belum melihat suratnya secara resmi. Mungkin mereka mengirimnya kepada direksi yang lain. Tapi saya akan cek terlebih dahulu," kata bos salah satu bank pemberi pinjaman kepada APRIL itu.
Hal senada juga diungkapkan Deputi Ketua BPPN, Irwan Siregar. "Saya belum mendengar hal itu. Saya akan cek dulu ke staf saya." Pada prinsipnya, kata Irwan, jika Riau Complex akan minta restrukturisasi lagi, mereka harus memberikan alasan dan penjelasannya kepada konsorsium. "Harus ada alasan yang kuat, dan hal itu harus disetujui semua kreditor melalui proses voting," ia menjelaskan.
Ketidakmampuan Riau Complex memenuhi kewajiban pembayaran utangnya yang jatuh tempo tentu saja menjadi persoalan serius bagi para kreditor. Tapi, Saefuddin memastikan non-performing loan (NPL) BNI tidak terpengaruh jika Riau Complex tidak dapat memenuhi kewajibannya. Menurut Saefuddin, upaya restrukturisasi pada prinsipnya malah akan membantu RGM. "Lo, jika ada upaya restrukturisasi lagi sehingga utangnya tidak default, ya, enggak berpengaruh terhadap NPL," tuturnya.
Sementara itu, Chief Operating Officer (COO) Prakarsa Jakarta, Samuel Tobing, mengaku sudah mendengar kabar mengenai permintaan restrukturisasi RGM tersebut, meski belum menerima surat dari mereka secara resmi. Dia juga membenarkan, utang RGM bakal jatuh tempo sekitar Maret. Yang pasti, Samuel yakin bahwa Riau Complex tentu bakal menghubungi Prakarsa Jakarta jika mereka memang berniat meminta restrukturisasi. Selama ini restrukturisasi Riau Complex menggunakan Prakarsa Jakarta sebagai mediator.
Dalam perjanjian restrukturisasi akhir tahun lalu, RGM diberi kesempatan untuk menunda pembayaran bunga (deferred interest) selama 18 bulan senilai US$ 165 juta. Sukanto Tanoto waktu itu mengatakan bahwa dana US$ 165 juta itu digunakan untuk membiayai pembangunan pabrik Pulp Line 2A, yang keseluruhannya membutuhkan dana US$ 350 juta. BPPN waktu itu tidak setuju karena RGM sebenarnya bisa mendapatkan dana dengan menjual 51 persen sahamnya di APRIL, yang ketika itu sudah ditawar pemegang saham lainnya, UPM Kymenne. RGM menolak karena bila itu dilakukan, akan mengurangi penetrasi pasar mereka di luar negeri.
Ternyata itu hanya akal-akalan mereka. Buktinya, ketika persetujuan restrukturisasi sudah dicapai, RGM menjual 51 persen saham tersebut dan dananya digunakan untuk pembangunan pabrik Pulp Line 2A, persis seperti yang diinginkan BPPN.
Para kreditor harus belajar dari kasus itu. Menghadapi permintaan restrukturisasi, kali ini kreditor mesti berhati-hati jangan sampai diperdaya lagi. Keledai saja tak mau terantuk dua kali.
Leanika Tanjung, Mohamad Teguh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini