Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Khotbah di Lapangan Golf

Robert Redford sebagai sutradara, masih menjadi juru bicara spiritualitas bernama harmoni.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE LEGEND OF BAGGER VANCE Sutradara : Robert Redford Pemain : Matt Damon, Will Smith Produksi : Dreamworks FILM The Legend of Bagger Vance (2000) ini disutradarai oleh Robert Redford, yang mencuat sebagai aktor, tapi ternyata lebih unggul lagi sebagai sutradara. Sebagai aktor, seseorang berganti-ganti peran. Namun, sebagai sutradara, dalam pengertian sebagai auteur—sutradara sebagai penulis, suatu istilah yang dilontarkan gerakan Gelombang Baru di Prancis pada akhir dasawarsa 1950—ia menancapkan jejak-jejak yang kemudian akan menjadi sebuah ciri. Adalah ciri itu yang membuat seorang sineas mempunyai hak untuk mengklaim sebuah film sebagai ekspresi dirinya. Dalam film ini, memandangnya dari perspektif film-film Redford sebelumnya, kita akan melihat bagaimana jejak-jejak itu melangkah ke suatu gagasan yang makin eksplisit—dan itu adalah harmoni. Bagi Redford, harmoni merupakan spiritualitas yang dikejarnya, sehingga tindakan membuat film bagi Redford merupakan spiritualisme. Robert Redford telah membuat Ordinary People (1980), The Milagro Beanfield War (1988), dan A River Runs Through It (1992), yang menggambarkan suatu impian akan kehidupan bersama yang sungguh-sungguh harmonis, baik antarmanusia maupun antara manusia dan lingkungan hidupnya. Di antara ketiga film tersebut, kita menemukan jejak The Milagro Beanfield War kembali dalam The Legend of Bagger Vance. Sudah jelas, Bagger Vance (Will Smith) dalam film ini mempunyai peran yang sama dengan Coyote Angel (Robert Carricart) dalam The Milagro Beanfield War, suatu makhluk setengah malaikat setengah ratu adil, seorang juru selamat yang hanya lewat untuk menyingkirkan segala halangan, supaya cerita berakhir dengan kemenangan harmoni dan bencana terhindarkan. Dengan kata lain, Redford dalam konteks ini bersikap secara mesianistik, kemacetan dunia diselesaikan dari langit. Dunia dalam film ini adalah lapangan golf. Di lapangan golf, tujuan hidup adalah memukul bola begitu rupa supaya sebisa mungkin bola itu langsung masuk lubang. Antara manusia, bola, dan lubang, terbangun sebuah proses yang spiritual sifatnya karena mengenal lapangan golf diandaikan sebagai mengenal dunia di dalam diri sendiri. Maka, seorang golfer berbakat seperti Runnulph Junnuh (Matt Damon) bisa kehilangan dirinya di lapangan golf manakala jiwanya tergun-cang karena perang. Segera kita lihat perpadanan itu, antara perang-kehancuran dan golf-harmoni. Untuk mencapai form sebagai seorang atlet, menghadapi pertandingan terpenting di pulau kelahirannya, kita tidak terutama disodori prosedur latihan olahraga golf untuk menemukan kembali kemampuan sabetan Junnuh, melainkan sebuah proses mental. Bagger Vance adalah seorang caddy (pembantu golfer) yang membimbing Junnuh menemukan sabetannya kembali, yang hanya bisa dicapai dengan kemampuan Junnuh memasuki dunia golf sebagai dunia batinnya sendiri. "Dengarkan angin, dengarkan rumput," ujar Vance, "biarkan semuanya menghilang, sampai tinggal dirimu dengan tiang bendera." Tentu saja ini mengingatkan pada pelajaran memanah yang diberikan Guru Dorna kepada Pandawa dan Kurawa, ketika pemanah yang membidik sasaran burung-burungan hanya boleh melepaskan anak panahnya setelah melihat hanya leher burung-burungan itu, yang cuma bisa dipenuhi oleh Arjuna. Ini bukan berhubungan dengan suatu teknik demi canggihnya keterampilan saja, melainkan proses mental untuk suatu pencapaian spiritual. Proses semacam inilah yang membentuk cerita film dari sudut pandang penceritaan seorang anak sebagai kilas balik di masa tuanya, yang baginya golf juga merupakan jagat pengembaraan untuk mencari jatidiri. Memang, nama anak itu tertera sebagai merek peralatan golf. Menarik sekali untuk melihat ekspresi sinematik dari seluruh konsep ini, misalnya extreme close-up bola golf, sudut pengambilan gambar yang tampaknya membuat juru kamera harus berkali-kali tiarap, dan cara bagaimana seni bermain golf diungkapkan dengan gerak lambat, yang membuat The Legend of Bagger Vance tetap memikat tanpa kita harus mampu bermain golf. Simbolisasi lapangan golf sebagai perwujudan dunia batin juga ditampilkan dengan manis. Kenyataan bahwa lapangan golf merupakan alam terbuka dilayani dengan penggambaran alam yang menyadarkan kedudukan manusia di dalamnya. Banyak terjadi, posisi bola golf yang sulit dipecahkan dengan pemahaman terhadap cuaca, rumput, angin, dan banyak hal lagi. Ternyata, kebudayaan manusia hanya akan selamat dengan mempertimbangkan alam sebagai bagian tak terpisahkan. Maka, harmoni merupakan satu-satunya tujuan yang bisa dibenarkan. Dengan demikian, The Legend of Bagger Vance menjadi khotbah seorang sutradara, bukan dalam kata-kata, melainkan dengan penggambaran dunia manusia sebagai lapangan golf. Dengan ini pula kecanggihan sinematografi mengabdi bukan kepada spektakelnya yang jumawa, melainkan kepada kerendahan hati manusia di tengah semesta. Seno Gumira Ajidarma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus