BUKAN cuma sekali Societe Generale de Surveillance (SGS), dituding turut bertanggung jawab dalam penyelundupan barang ke Indonesia. Namun setiap kali dituding, surveyor terkemuka dari Swiss itu bisa berkelit, dengan alasan merasa tak ikut menyaksikan pembukaan segel SGS tutup peti kemas, yang berisikan barang tak sah itu. Tapi belum lama ini, SGS sudah tak bisa mungkin lagi. Amirudin Saud, Ketua I Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI), menunjuk adanya praktek busuk itu pada kasus pembongkaran tujuh peti kemas di Tanjung Priok. Ketujuh peti kemas itu, menurut dokumen PPUD (pemberitahuan pemasukan barang untuk dipakai) seharusnya berisi kaca. Tapi, namanya penyelundupan, di situ juga ditemukan sejumlah besar tekstil, sepatu olah raga, mesin diesel bekas, dan lain-lain. "Anehnya, segel peti kemas tersebut masih utuh, alias belum dibuka ketika diperiksa," tutur Amirudin kepada harian Bisnis Indonesia. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, dalam kunjungannya ke Taiwan, Hong Kong, Muangthai, dan Singapura pada akhir November sampai pertengahan Desember lalu, berhasil membongkar adanya praktek kongkalikong antara eksportir dan orang dalam SGS di Singapura. "Dari 2.000 inspeksi, ada sekitar 80 dokumen di antaranya yang dipalsukan," ujar Sukarton kepada wartawan, setelah menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Senin pekan silam. Ia memastikan, akan adanya kerja sama segitiga antara oknum SGS, eksportir Singapura, dan importir Indonesia untuk menyelundupkan barang ke Indonesia. Kepada wartawan TEMPO Sidarta SH, Asisten Jaksa Agung yang juga pergi bersama rombongan Kejagung kebeberapa negara tadi, menjelaskan bahwa SGS Singapura mengakui adanya kebobolan dari dalam, dan telah menyeret oknumnya ke pengadilan. Mendengar ada importir Indonesia yang terlibat dalam penyelundupan dari Singapura itu, pihak GINSI buru-buru menyatakan bahwa importir di luar GINSI-lah yang melakukan kejahatan berbau subversi di bidang ekonomi itu. "Pokoknya, setiap ada kejanggalan pada anggota GINSI, kami langsung bisa tahu," kata Amirudin Saud kepada TEMPO, akhir pekan lalu. Saat ini diperkirakan ada 6.000-an importir Indonesia, dan hanya 2.000 orang yang tercatat dalam keanggotaan GINSI. Dalam perkara penyelundupan seperti ini, tentu saja, GINSI ingin membersihkan namanya. Bagaimana tidak. Selama ini, adalah GINSI yang paling sering tarik urat leher lawan SGS, lantaran perbedaan-perbedaan dalam penafsiran klasifikasi barang dan tarif bea masuknya. "Importir senantiasa menginginkan CCCN (Customs Cooperation Council Numenclature) yang lebih rendah, sedangkan SGS menerapkan CCCN sesuai dengan klasifikasinya. Dari situlah bibit konflik GINSI-SGS bermula," tutur Dirut Sucofindo I Nyoman Moena kepada TEMPO. Tapi kalau sekali ini terbukti ada importir anggota GINSI yang terlibat penyelundupan, tentu organisasi importir ini akan kehilangan muka. Tapi perbedaan penafsiran terhadap klasifikasi barang dan tarif bea masuk itu, tak lama lagi tampaknya segera bisa diatasi. Mulai 1 Januari 1989, Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTMBI) alias CCCN yang dianut Indonesia sejak 1974 itu, akan digantikan dengan Harmonized System (HS). Dengan diterapkannya HS di Indonesia, maka sistem klasifikasi barang akan menjadi lebih mudah, karena sama dengan yang dipakai di negara-negara lain. "Perubahan mendasar dari CCCN ke HS adalah karena akurasinya lebih baik. CCCN memakai 4 digit, sementara HS memakai 6 digit," begitu penuturan Dirjen Bea Cukai Sudjana Surawidjaja. Bila penerapan HS ini lancar, tentu bea masuk yang diterima pemerintah akan lebih pasti dan terjamin. Dirut Sucofindo I Nyoman Moena optimistis, pada akhir tahun anggaran 1988/1989, penerimaan Bea Masuk dan Cukai akan mencapai sekitar Rp 3 trilyun, yang berarti akan melampaui angka RAPBN sebesar Rp 2,3 trilyun. Artinya, pemerintah tak rugi menyewa SGS sebesar Rp 145 milyar setahun -- bila saja hasilnya demikian meyakinkan. Tapi bukan berarti SGS boleh lenggang-lenggang kangkung. "Kami terus-menerus melakukan review, untuk melihat seberapa jauh keuntungan maupun kerugian bekerja sama dengan SGS," ujar Menteri Muda Perdagangan Soedradjat Djiwandono kepada TEMPO. Bachtiar Abdullah, Agung Firmansyah, Sidartha Pratidina, dan Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini