Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa tiba-tiba muncul di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis pagi dua pekan lalu. Sempat menjawab pertanyaan wartawan, ia bergegas masuk ke gedung KPK. Di dalam, beberapa kolega sesama pejabat telah lebih dulu tiba.
Terlihat salah satunya Kuntoro Mangkusubroto (Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, UKP4) yang datang lebih awal.Ada pula Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, serta Deputi Kementerian BUMN Bidang Usaha Industri Primer Muhamad Zamkhani. "Rapat koordinasi masalah pupuk dan gas," Hatta menjelaskan pertemuan di kantor lembaga antirasuah itu.
Sekitar pukul 10.30, Kuntoro keluar meninggalkan gedung. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengantar hingga pintu utama. Bambang menjelaskan, pertemuan itu membahas kajian KPK terhadap pupuk bersubsidi. Komisi menemukan masalah pasokan gas untuk pabrik pupuk.
Pabrik pupuk yang dimaksud adalah PT Petrokimia Gresik dan PT Pupuk Kujang. Keduanya anak perusahaan PT Pupuk Indonesia (Persero), induk semua perusahaan pupuk milik negara. Mereka akan membangun pabrik untuk meningkatkan kapasitas produksi. Sejak tahun lalu telah dibahas alokasi gas bagi unit kilang baru Petrokimia Gresik, yakni dari Lapangan MDA-MBH di Blok Madura Strait yang dikelola Husky dan CNOOC.
Pada 20 Juni 2012, misalnya, digelar pertemuan di kantor BP Migas yang dihadiri perwakilan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), Husky-CNOOC, dan Pupuk Indonesia. Dalam rapat itu, Petrokimia Gresik menyatakan siap menerima gas dari Lapangan MDA-MBH. BP Migas meminta sinkronisasi jadwal operasi lapangan gas dengan pabrik baru. Selanjutnya kedua perusahaan dipersilakan merundingkan pokok-pokok perjanjian (head of agreement), paralel dengan pembahasan rencana pengembangan (planning of development) lapangan gas.
Pemanfaatan gas Husky untuk revitalisasi industri pupuk didukung oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Dalam suratnya pada 22 November 2012, Dahlan meminta bantuan Menteri Energi Jero Wacik merealisasi alokasi gas untuk pabrik amoniak-urea unit 2 Petrokimia Gresik. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengirimkan surat senada tertanggal 29 November 2012.
Pada 26 November, Direktur Jenderal Minyak dan Gas—saat itu Evita Legowo—juga menyurati Kepala Satuan Kerja Sementara Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi. Isinya, alokasi gas wilayah kerja Madura Strait untuk revitalisasi industri pupuk.
Sebelum itu, pada 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi telah lebih dulu membubarkan BP Migas. Selanjutnya lembaga ini menjadi Unit Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas di bawah Kementerian ESDM. Kemudian, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012, dibentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas) yang dipimpin Menteri Energi. Dengan begitu, Evita menyurati Jero Wacik yang tengah berperan ganda—sebagai atasannya sekaligus sebagai Kepala Satuan Kerja Sementara Pelaksana Migas yang selevel dirjen.
Sebulan kemudian terjadi perubahan kebijakan gas Husky. Dalam pertemuan pada 28 Desember, SK Migas tiba-tiba menyampaikan bahwa gas Husky akan dialirkan ke Bali dan Banyuwangi. Gas itu akan digunakan untuk memasok PLTU Bali 40 juta kaki kubik per hari (mmscfd) dan Banyuwangi 80 mmscfd. Adapun Petrokimia Gresik dan Pupuk Kujang akan mendapatkan aliran gas dari Blok Cepu. Tak mengherankan bila pengelola Blok Cepu—ExxonMobil Cepu Ltd dan Pertamina EP Cepu—diundang dalam rapat itu.
Keputusan itu dikukuhkan melalui surat Kepala SK Migas kepada Menteri Energi, 4 Januari 2013. Isinya, alokasi gas dari Lapangan Tiung Biru atau Jambaran-Cendana untuk pabrik baru Petrokimia Gresik dan Pupuk Kujang. Kali ini berarti Jero Wacik sebagai Kepala SK Migas menyurati dirinya sendiri selaku menteri.
Perubahan kebijakan itu segera menuai protes. Kuntoro melalui surat bernomor B-028/UKP-PPP/01/2013 mempertanyakan kesimpangsiuran sumber pasokan gas kepada Menteri Energi. Begitu pula soal harga gas Lapangan MDA-MBH, yang dalam surat SK Migas disebut US$ 8,8 per million British thermal unit (mmbtu), sedangkan Pupuk Indonesia sebelumnya dijanjikan hanya US$ 6,5 per mmbtu.
Jadwal produksi lapangan gas MDA-MBH ikut dipertanyakan. Kepala SK Migas menyebutkan produksi mulai 2017. Tapi Pupuk Indonesia memprediksi tahun 2016, bertepatan dengan rampungnya pembangunan pabrik baru Petrokimia Gresik.
Kekisruhan itu dinilai menghambat revitalisasi industri pupuk nasional. Padahal program ini merupakan perintah presiden sesuai dengan Inpres Nomor 2 Tahun 2010 tentang Revitalisasi Industri Pupuk. Inpres itu memerintahkan Menteri Energi memprioritaskan gas untuk bahan baku industri pupuk guna mendukung ketahanan pangan nasional.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat juga melayangkan surat ke Menteri Energi, yang mendesak Kementerian Energi memprioritaskan gas untuk pabrik pupuk. Adapun Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady menyurati Kepala SK Migas.
Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) bahkan melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. KTNA merupakan organisasi petani dan nelayan yang mewakili daerah. Ketua Dewan Pembina KTNA adalah Hatta Rajasa.
Sejumlah sumber Tempo menyebutkan ada "permainan" dalam kebijakan pemindahan alokasi gas itu. Di balik sikap ngotot Kementerian Energi dan SKK Migas memberikan gas Cepu ke pabrik pupuk, ada PT Bali Global Energi yang siap menampung gas Husky. "Pertukaran" gas itu diduga berkat peran staf khusus Menteri Jero, yakni Ketut Suardhana Linggih.
Linggih adalah kawan lama Jero Wacik—selain Susilo Siswoutomo. Ia dikenal sebagai pendiri Ganeca Exact, perusahaan yang mengelola bisnis bimbingan belajar dan percetakan. Pada 1980-an beberapa buku tulisan Jero diterbitkan Ganeca. Pada Pemilihan Umum 2009, konsorsium Ganeca Exact Bandung menjadi salah satu perusahaan pencetak surat suara.
Di Partai Demokrat, Suardhana Linggih adalah pengurus DPD Provinsi Bali periode 2011-2016, sedangkan Jero sekretaris majelis tinggi. Ia pernah menjabat President Indonesia Junior Chamber pada 1994. Juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ekonomi Kreatif dan Jasa Lain. Kini Linggih menjadi penasihat Kadin Indonesia.
Gas Husky, menurut sumber Tempo, sangat menggiurkan. Harga yang dipatok US$ 6,5 per mmbtu, dengan eskalasi tiga persen per tahun, tergolong murah. "Bayangkan kalau bisa mendapat jatah gas Husky, dijual di atas US$ 10 per mmbtu pasti laris."
Direktur Utama Bali Global Energi Ketut Susanthana mengaku tidak tahu-menahu soal gas Husky. "Itu wacana dari pemerintah. Kami menunggu saja," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ketut Suardhana Linggih membantah ada hubungan dengan Bali Global. "Perusahaan itu bukan punya saya," ujarnya. Adapun Jero Wacik memilih bungkam saat ditemui Tempo.
PETROKIMIA Gresik selama ini memproduksi dan memasarkan antara lain pupuk urea, ZA, dan SP-36/18. Perusahaan berencana meningkatkan kapasitas produksi menjadi 5,4 juta ton. Pabrik baru didesain menghasilkan 570 ribu ton urea dan 825 ribu ton amonia. Kebutuhan investasi diperkirakan US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 11,8 triliun). Pabrik akan dibangun tahun ini dan ditargetkan beroperasi pada 2016.
Pasokan urea ke sentra produksi pangan Jawa Tengah dan Jawa Timur nantinya diharapkan bisa dipenuhi dari sini, hingga 20 tahun ke depan. Bila unit kedua Petrokimia Gresik rampung, Petrokimia akan memasok separuh kebutuhan pupuk subsidi nasional. Saat ini kebutuhan pupuk urea nasional sekitar 25 juta ton per tahun.
Adapun Pupuk Kujang menghasilkan dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik, dan produk kimia lain. Perusahaan bertekad memiliki pabrik urea pada 2017, untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 1,1 juta ton menjadi 1,57 juta ton setahun. Kebutuhan investasi diperkirakan US$ 800 juta (sekitar Rp 7,9 triliun).
Saat ini Pupuk Kujang memiliki dua pabrik di Cikampek, Jawa Barat, yaitu unit 1A dan 1B. Masing-masing berkapasitas 570 ribu ton per tahun. Unit 1C dirancang berkapasitas 900 ribu-1 juta ton. Pabrik baru direncanakan mengganti unit 1A, yang beroperasi sejak 1979. Konsumsi gas pabrik yang telah tua dinilai tidak efisien, meski dirawat dengan baik. Lokasi pabrik baru ada kemungkinan di Cepu, Jawa Tengah, atau Bojonegoro, Jawa Timur.
Petrokimia Gresik dan Pupuk Kujang sangat mengharapkan gas dari Lapangan MDA-MBH. Direktur Utama Pupuk Indonesia Arifin Tasrif menilai proyek Husky lebih pasti daripada Tiung Biru. Apalagi infrastruktur untuk mengangkut gas telah tersedia, yakni jalur pipa gas Jawa Timur. Sedangkan gas dari Lapangan Tiung Biru Jambaran yang dioperasikan Pertamina EP Cepu akan dialirkan melalui pipa Semarang-Gresik. "Pipanya belum dibangun," kata Arifin setelah mengikuti rapat koordinasi tentang gas untuk pabrik pupuk di kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Senin dua pekan lalu.
Pertimbangan lain, harga gas Husky lebih murah, yakni US$ 6,5 per mmbtu di mulut sumur, dengan eskalasi tiga persen per tahun. Ditambah biaya angkut US$ 70-80 sen, sehingga total tak sampai US$ 8 per mmbtu. Bandingkan dengan gas Cepu, "Di well head saja sudah US$ 8 per mmbtu." Gas Husky juga akan diproduksi pada 2016, lebih awal ketimbang jadwal produksi proyek Cepu, yakni 2017.
Namun Kementerian Energi dan SKK Migas ngotot hanya akan memberikan gas Tiung Biru kepada Petrokimia Gresik dan Pupuk Kujang. Sebab, jadwal produksi Husky akan mundur menjadi tahun 2017. Alasan lain, gas Tiung Biru memiliki masa produksi lebih panjang, yakni 17 tahun. Sedangkan gas Husky cuma 9 tahun.
Rapat koordinasi yang dipimpin Hatta Rajasa pada 10 Juni lalu akhirnya memutuskan untuk memberikan gas Husky kepada Petrokimia Gresik. "Saya putuskan tetap mengacu pada rapat sebelumnya, yaitu gas untuk Petrokimia Gresik dipasok dari Husky, dan gas untuk Pupuk Kujang dari Cepu," kata Hatta. Untuk itu, ia meminta Kementerian Energi dan SKK Migas menganalisis teknis pemasokan gas dari Husky ke Gresik.
Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana berkilah pengalokasian gas Tiung Biru-Jambaran untuk Petrokimia Gresik untuk mendorong pengembangan pipa. "Kalau dikembangkan dari Tiung Biru akan mendukung pembangunan infrastruktur, ada pasar bagi gas Tiung Biru."
Gde mengatakan, jika Petrokimia Gresik memanfaatkan gas dari Lapangan MDA-MBH, yang akan digunakan adalah infrastruktur yang sudah ada, yakni jaringan pipa Jawa Timur. Sedangkan jika menggunakan gas dari Tiung Biru Jambaran, akan digunakan ruas pipa Gresik-Semarang, yang dijadwalkan selesai dibangun pada triwulan ketiga 2014. Pipa Gresik-Semarang sepanjang 261 kilometer itu akan dibangun oleh Pertagas, anak perusahaan Pertamina yang menangani distribusi gas.
Untuk soal harga, menurut Gde, gas Husky seolah-olah seharga US$ 6,5 per mmbtu. "Dengan eskalasi tiga persen, kalau dirata-rata harganya sekitar US$ 8,8 per mmbtu."
Kenyataannya, sumber Tempo menuturkan, Exxon Cepu menawarkan formula harga yang dikaitkan dengan harga gas di FSRU Jawa Tengah ke Petrokimia Gresik. Harga jauh lebih mahal karena terkena ongkos pengolahan dua kali: biaya mengubah gas menjadi LNG di Bontang, lantas ongkos regasifikasi mengubah LNG menjadi gas bumi kembali di Jawa Tengah. Ketika harga minyak mentah US$ 100 per barel, misalnya, harga gas FSRU Jawa Tengah bisa mencapai US$ 13 per mmbtu.
Arifin tetap berharap ada kepastian pasokan gas untuk program revitalisasi pabrik pupuk. Bila sukses, negara bisa berhemat Rp 4,2 triliun per tahun dari sisi impor dan transportasi. Selama ini 200 ribu ton amonia untuk bahan baku pupuk dipasok dari dalam negeri. Sisanya, 200 ribu ton, diimpor dari Timur Tengah dengan harga internasional. Pembangunan pabrik pupuk di Jawa juga akan membuat distribusi lebih efisien. "Kelangkaan terjadi karena pupuk harus diangkut dari Kalimantan atau Palembang ke Jawa. Boros."
Untuk mencegah kerugian negara itulah rapat koordinasi tentang pupuk digelar di KPK. Bambang Widjojanto mengatakan, kalau aliran gas berbelok, negara bisa rugi ratusan miliar rupiah. Atas temuan KPK itu, Bambang menjelaskan, Hatta berjanji mengubah kebijakan. "Gas akan diprioritaskan untuk ketahanan pangan sampai empat tahun ke depan."
Deputi Pengendalian Komersial SKK Migas Widhyawan Prawiraatmadja menegaskan telah mengusulkan ke Menteri Jero Wacik bahwa gas Husky bisa digunakan untuk Jawa Timur, Bali, dan Madura. "Terserah menterinya," ujarnya. Bola gas Husky kini ada di tangan Jero Wacik.
Retno Sulistyowati, Bernadette Christina, Angga Sukma, Rofiqi Hasan (Bali)
Distributor Gas Untuk Bali
PT Bali Global Energi tengah bersiap membangun dermaga. Tanah seluas dua hektare di Desa Patas, Buleleng, Bali bagian utara, telah dibebaskan. Kantor nonpermanen mulai berdiri. Upacara mecaru untuk membersihkan lokasi dan makelem—memberikan persembahan ke laut—sudah digelar pada 2 Maret lalu.
Rencana membina dermaga semakin mulus karena Peraturan Daerah Tata Ruang Buleleng telah disahkan. Salah satu isinya: menetapkan Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, sebagai kawasan industri. Semula Patas merupakan daerah pertanian. Di lokasi itu, Bali Global akan membangun terminal penyimpan dan regasifikasi terapung (FSRU) gas alam cair (LNG).
Bali Global Energi didirikan pada November 2008 oleh Perusahaan Daerah Bali dengan PT Haseba. Perusahaan penanaman modal asing ini bergerak di bidang niaga gas bumi/LNG. Perusahaan berkomitmen menanamkan investasi Rp 3,5 triliun.
Salah satu pemegang saham Bali Global adalah P3 Global Energy Co Ltd, yang menguasai 30 persen. Sepak terjang perusahaan itu di bisnis LNG pernah diungkap majalah Tempo edisi 9 Desember 2012. Dalam laporan investigasi itu, perusahaan minyak dan gas yang dimiliki pengusaha Thailand Poawpadet Vorabutr ini memperoleh jatah satu kargo LNG dari pasar spot Tangguh, yang kemudian dijual lagi ke perusahaan milik Thailand, PTT. Transaksi dilakukan pada Juli 2011 tanpa tender.
Dokumen dari ACRA menyebutkan P3GE didaftarkan di Singapura pada Agustus 2011 sebagai perusahaan terbatas. Kantor pusatnya di Thailand. Di Indonesia, perusahaan ini diwakili oleh Jeffrey Soebekti, yang juga Presiden Direktur PT Karya Bumi Lestari. Ketika dihubungi, Jeffrey membantah bahwa ia memperoleh perlakuan khusus dari BP Migas. Menurut dia, satu kargo gas yang diperoleh dari Blok Tangguh dibeli melalui mekanisme tender. Kargo dikirim ke Thailand.
Pada 31 Oktober 2012, Bali Global meneken nota kesepahaman dengan PT Odira Persada Resources untuk membangun FSRU. Nantinya gas akan dipakai untuk pembangkit listrik. Cita-cita mengganti BBM dengan gas telah lama diidamkan pemerintah dan warga Bali.
"Diharapkan pada Juli-Agustus ini pembangunan dermaga bisa dimulai," kata Direktur Utama Bali Global Energi Ketut Susantha kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Perusahaan telah mengantongi izin dari Dinas Perhubungan, yang diterbitkan pada 20 Juni lalu.
Susantha menyebutkan lokasi investasinya sempat dikunjungi staf ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis, I G.N. Wiratmadja Puja, 3 Mei lalu. Dalam pertemuan itu, kata Susantha, Wiratmadja menyatakan siap membantu proyek tersebut. Antara lain, akan diusahakan ada kontrak kerja sama dengan PLN untuk jual-beli gas.
Pasokan gas untuk FSRU, menurut Ketut, telah siap dari Qatar melalui agen di Malaysia, Teratai Tanjung Holding. Perusahaan itu memasok gas ke 13 negara di Asia Tenggara. "Sudah ada head of agreement, bukan sekadar memorandum of understanding." Bali Global, Ketut menambahkan, juga telah mendapatkan komitmen gas dari Lapangan Tangguh, Papua. "LNG Tangguh sudah disepakati, hanya menunggu penjadwalan. Sambil menunggu, kami mengusahakan dari luar dulu."
RS, Rofiqi Hasan
Kepemilikan Bali Global Energi, berdasarkan RUPSLB 25 April 2011
Komisaris Utama: Premchai Karnasuta Direktur Utama: Ketut Susantha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo