Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyarankan pemerintah dan perusahaan sawit Indonesia untuk menerobos pasar Afrika Timur guna bisa menggenjot volume ekspor produk sawit tanah air. Adapun Afrika Timur terdiri dari 18 negara dengan populasi sekitar 380 juta orang dan relatif belum mengenal produk Indonesia.
"Itu adalah strategi yang paling tepat bagi Indonesia," ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga kepada Tempo, Ahad, 17 Juni 2018. Ia mengatakan volume ekspor minyak sawit Indonesia pada kuartal I 2018 lebih rendah 3 persen bila dibandingkan kuartal I 2017. Padahal distribusi produk sawit Indonesia didominasi oleh ekspor, dengan persentase 28-29 persen untuk pasar domestik dan 71-72 persen untuk ekspor.
BACA JUGA: Kolom Aktivis Lingkungan Mengenai Industri Sawit dan Isu Pelarangan Sawit di Eropa
Untuk itu, Sahat mengatakan ada sejumlah langkah yang terlebih dahulu perlu dilakukan Indonesia guna bersaing dengan Malaysia dalam menerobos pasar Afrika Timur. Salahsatunya adalah menjual minyak RBD (refined, bleached, and deodorized) dalam kemasan kurang dari 25 kilogram. Sebab, negara di kawasan itu tidak memiliki tangki-tangki besar sawit di pelabuhan.
Selain itu, Sahat mengatakan Indonesia juga mesti mengubah kebijakan soal dana pungutan. Dana pungut untuk minyak RBD dalam kemasan itu mesti diturunkan dari USD 30 per ton ke USD 5 per ton. Sementara minyak RBD dalam kemasan di bawah 25 kilogram dan bio-diesel harusnya diturunkan dari USD 20 per ton ke USD 2 per ton.
Usulan lainnya adalah perlunya menekan biaya modal kerja dengan cara mempercepat restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang ekspor, dari rata-rata satu tahun ke maksimal tiga bulan.
BACA JUGA: Ekspor Sawit Turun, Pengusaha Salahkan Tingginya Pajak Indonesia
"Kalau itu bisa direalisasikan secepatnya, volume ekspor ke Pakistan dan Afrika Timur serta Timur Tengah akan bisa melonjak ke level 2,5 - 3 juta ton tambahan per tahun," ujar Sahat. Bahkan, apabila kebijakan itu bisa diimplementasikan pada Juli mendatang, maka dia yakin backlog pada kuartal I tahun 2018, atau sekitar 1-1,3 juta ton produk hilir sawit, bisa dikejar.
Selain mengejar pasar di Afrika Timur, Sahat juga menyebut Asia Tengah, yang bertetanggaan dengan Pakistan, sebagai salah satu pasar potensial yang belum dimasuki Indonesia. Ia berujar Cina telah melihat potensi pasar itu sehingga membuka jalur sutera ke Eropa melalui Pakistan.
BACA JUGA: Simak Investigasi Soal Sengketa Tanah di Perkebunan Sawit
"Oleh karena itu Indonesia perlu membuka hub berupa pelabuhan sawit di Pakistan," ujar Sahat. Dengan begitu, para pembeli sawit berskala kecil bisa leluasa membeli sawit dalam ukuran misalnya 6-10 ton per pesanan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan melesunya ekspor, khususnya produk sawit Indonesia, berimbas pada defisitnya neraca perdagangan tanah air dalam tiga bulan terakhir. Sementara, defisit itu pun berandil pada tidak stabilnya nilai tukar rupiah belakangan ini. Untuk itu, pemerintah tengah memutar otak untuk menggenjot volume ekspor sawit Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini