Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESISIR selatan Jawa itu seakan tak pernah tidur. Tak sejam pun berlalu tanpa suara mesin menderu. Padahal, dua tahun lalu, daerah berupa rawa-rawa itu tak ubahnya—dalam istilah lenong Betawi—"tempat jin buang anak".
Adalah proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cilacap yang mengubah detak kehidupan Desa Karang Kandri itu. Sekitar 3.000 pekerja, didukung ratusan truk dan alat berat, berhibuk seperti diuber waktu. Satu pembangkit berkapasitas 300 megawatt ditargetkan sudah menyala pada akhir tahun ini.
Ketika Tempo berkunjung ke sana—hanya 500 meter dari bibir laut selatan—di kejauhan tampak menara setinggi 200 meter. Pucuknya masih ditopang besi pancang. Kerangka-kerangka besi juga menghias berbagai fasilitas lain yang sedang dibangun.
Hanya bangunan kantor dan manhouse yang telah rampung. "Ini baru selesai 80 persen," ujar Matoin, general manager proyek pembangunan PLTU itu.
Fabby Tumiwa dari Working Group on Power Sector Restructuring menyebut PLTU Cilacap sebagai contoh proyek pembangkit yang mengalami mark-up. DPR pun sempat meributkan proyek ini dalam dengar pendapat dengan PLN, Maret lalu. Pembagian sahamnya dinilai tidak fair.
Kejanggalan bermula ketika PLN memilih mitra untuk menghidupkan kembali proyek Cilacap. Semula, rekanan Pertamina dalam proyek yang ada sejak rezim Orde Baru ini adalah Mitsubishi. Namun, setelah krisis rupiah, konglomerasi Jepang itu seperti kehilangan minat.
Hak pembangunan pembangkit listrik pun dialihkan oleh PLN dari Mitsubishi ke Sumber Energi Sakti Prima (SESP). Pengoperan dua tahun lalu itu menimbulkan geger karena tanpa tender. Penunjukan dipertanyakan karena SESP dan induknya, kelompok Sumber Energi, terhitung anak bawang dalam perlistrikan.
Sebelum berkiprah di Cilacap, yang direncanakan berkapasitas 600 MW, Sumber Energi tak pernah memegang pembangkit listrik berkapasitas besar. Grup itu hanya pernah memiliki dan mengoperasikan pembangkit listrik di Palembang. Di kota yang menjadi basisnya, Sumber Energi mengoperasikan kapasitas kurang dari 100 MW.
Bisnis Sumber Energi tak berfokus di industri listrik saja. Grup yang dikendalikan pasangan suami-istri Yasin dan Dewi Kam ini juga berbisnis jasa kontraktor, properti, listrik, dan furnitur. Kantor SESP di Jakarta berbagi ruang dengan ruang pamer furnitur merek Dai Dova di Jakarta Pusat.
Di Cilacap, SESP menguasai 51 persen saham Sumber Segara Primadaya (S2P), yang merupakan pemilik PLTU Cilacap. Sisa saham S2P dipegang oleh anak perusahaan PLN, Pembangkitan Jawa-Bali (PJB).
"Kami ditunjuk karena bisa meyakinkan kontraktor asal Cina untuk membangun Cilacap," ujar Yasin, Komisaris Utama Sumber Energi Sakti Prima. Ketika itu PLN mengaku kesulitan mencari investor. "Saat itu risiko bisnis di Indonesia sangat tinggi," ujar Direktur Utama PLN, Eddie Widiono.
Kontraktor yang dimaksud Yasin adalah Chengda Engineering Corporation of China (CECC). Tawaran yang diajukan Chengda memang menggoda. Mereka berani membantu mencarikan kreditor untuk membiayai pembangunan pembangkit listrik Cilacap yang menelan biaya US$ 510 juta atau Rp 4,85 triliun.
Kreditor yang diundang adalah Bank of China. Nilai pinjaman yang dijanjikan US$ 408 juta. Biaya pembangunan selebihnya diharapkan tertutup oleh setoran para pemegang saham. SESP, sebagai pemilik 51 persen saham, diharap menyetor US$ 52 juta, sementara PJB wajib urunan US$ 50 juta.
Pembagian setoran ini ternyata tak berjalan mulus. SESP tak pernah menyetor modal yang menjadi bagiannya. Porsi modal SESP akhirnya malah ditalangi oleh PLN, tahun lalu. Tetapi, Yasin menampik jika SESP disebut bermodal dengkul dalam proyek Cilacap.
Yasin menyebut uang yang dikucurkan oleh kreditor, berupa suppliers credit, merupakan tanggungannya. Ia juga menampik isu bahwa Bank of China hanya mengucurkan US$ 60 juta karena terganjal oleh perizinan di Cina. "Kalau tak ada uang, bagaimana kami membangun proyek Cilacap?" kata Yasin.
Thomas Hadiwinata, Dara Meutia Uning, Agricelli, Ari Aji H.S. (Cilacap)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo