PANCINGAN Pertamina untuk memberikan perangsang baru kepada para
pengusaha minyak di Indonesia kini sudah mulai menunjukkan
hasilnya. Independent Indonesian American Co. (IIAPCO),
perusahaan minyak bagi hasil yang tergabung dalam kelompok
maskapai multinasional Natomas, bulan April lalu sudah
menyatakan setuju untuk melanjutkan pencarian minyak di
Indonesia. IIAPCO termasuk salah satu dari 'enam besar'
perusahaan minyak bagi hasil di Indonesia yang umumnya
beroperasi di lepas pantai. Produksinya sampai April lalu,
menurut catatan Departemen Pertambangan mencapai 128.217 barrel
sehari.
Kesediaan IIAPCO untuk melanjutkan eksplorasi itupun disebabkan
setelah Pertamina menawarkan perangsang baru yang dipandang
memadai. Berbeda dengan perangsang yang ditawarkan Pertamina
bulan Pebruari lalu - dan disambut dingin oleh para pengusaha
minyak asing - kali ini uluran pancing Pertamina boleh dibilang
membuat para pengusaha minyak itu mulai tertarik.
Mereka tak lagi diharuskan untuk menanam kembali bagian dari
hasil minyaknya yang dijual kepada Pertamina. Di bulan Pebruari
lalu, kewajiban untuk menyisihkan 20 dari produksi yang harus
dijual dengan harga 20 sen dollar per barrel pada Pertamina
memang sudah dihapuskan. Tapi kewajiban yang dikenal sebagai pro
rata crude itu meskipun sudah dinaikkan harganya setingkat
dengan yang berlaku sekarang masih diwajibkan untuk ditanam
kembali guna usaha pencarian minyak baru (TEMPO, 5 Maret 1977).
Kata Sadli
Selain itu mereka juga dibolehkan untuk menyisihkan 20, dari
produksinya dalam tahun pertama, begitu mereka berhasil
memperoleh minyak baru kelak. Penyisihan itu - seperti sudah
diungkapkan dalam paket perangsang bulan Pebruari lalu - boleh
mereka lakukan sebelum diadakan pembagian (split) yang 85 : 15.
Tapi berbeda dengan perangsang yang lalu, penyisihan yang 20,,
itu kini diberikan untuk semua perusahaan minyak yang bersedia
mencari ladang baru, tanpa memandang letak geografis dan
dalamnya pengeboran yang akan dilakukan. Tadinya perangsang itu
hanya diberikan bagi perusahaan yang akan mengebor sumur-sumur
baru di tempat yang dipandang sulit (56 km dari pantai) atau
untuk yang 'lepas pantai' berlaku bagi pengeboran yang dalamnya
lebih dari 100 M (300 kaki) Penyisihan tersebut, yang kini
terbuka bagi semua perusahaan minyak yang berminat, tetap
berlaku hanya selama 5 tahun pertama sejak masa dimulainya
produksi.
Apakah langkah grup Natomas itu akan diikuti oleh perusahaan
minyak bagi hasil yang lain, memang masih menjadi tanda-tanya.
Tapi Menteri Pertambangan Moh. Sadli - yang seperti tetap
optimis melihat ada tanda-tanda bahwa langkah Natomas itu akan
diikuti oleh yang lain. Tak syak lagi, salah satu optimisme itu
dikaitkan dengan kemenangan Golkar dalam pemilu yang baru lewat,
oleh Menteri Sadli kemenangan Golkar yang di atas 60% itu,
dipandang sebagai "positif bagi penanam modal asing".
Ucapan Prof. Sadli itu dikemukakan selepas menemani Presiden
Union Oil, Fred L. Hartley beraudiensi dengan Presiden Soeharto
5 Mei lalu. Ketika ditanya pers, orang pertama Union Oil itu tak
dengan segera menyatakan akan mengikuti jejak Natomas. "Saya ke
mari untuk memberikan ucapan selamat kepada Presiden atas
kemenangan partainya", kata Hartley. Tapi beberapa kalangan
pejabat menganggap pertemuan itu sebagai "pertanda bahwa Union
Oil ingin melanjutkan pencarian minyak di Indonesia". Hanya,
kata seorang pqabat minyak kepada TEMPO akhir pekan lalu,
"mereka mungkin punya persoalan lain yang mungkin berbeda dengan
IIAPCO".
Selain grup Natomas, adalah Union Oil yang kabarnya tergolong
agresif dalam pencarian minyak. Adalah Union Oil yang merupakan
perusahaan minyak bagi hasil pertama di antara 'enam besar' yang
menandatangani perjanjian bagi hasil baru di akhir Juli tahun
lalu yang didesakkan Pertamina. Produksinya di lepas pantai
Attaka, di Kalimantan Timur, menurut catatan Direktorat Migas,
mencapai 130.868 barrel sehari di bulan April lalu. Dan Fred
Hartley sendiri, sudah menyatakan akan melanjutkan penanaman
modalnya yang selama ini sudah mencapai sekitar AS$ 700 juta
itu.
Formul Lybia
Sementara itu ajakan Pertamina agar perusahaan-perusahaan minyak
asing melakukan operasi bersama di ladangladang Pertamina
sedikit banyak sudah pula disambut. Sekalipun, menurut mingguan
Far Eastem Economic Review yang terbit akhir April lalu, hanya
terbatas pada perusahaan minyak yang kecil-kecil dan umumnya
bukan dari AS. Kerjasama itu pada dasarnya agak mirip dengan apa
yang dikenal sebagai formula Lybia. Yakni, biaya-biaya operasi,
pembangunan dan produksi akan ditanggung bersama antara
Pertamina dan perusahaan asing yang bersangkutan secara
fifty-fifty. Sekalipun, bagian 50% dad hasil minyak fihak asing
masih tetap akan mengikuti pembagian 85: 15 lebih dulu untuk
kepentingan Pertamina.
Adapun perusahaan-perusahaan minyak yang sudah menaruh minat,
terdiri dari Aquitaine, Total (keduanya Perancis), Japex, IIAPCO
dan Shell (British Petroleum). Pertamina sendiri, dengan
anggaran tahunannya yang kini berjumlah AS$ 2,9 milyar itu,
sudah menyisihkan sebanyak AS$ 250 juta untuk kepentingan
eksplorasi dan produksi. Jumlah tersebut meningkat keras
dibandingkan dengan anggaran untuk eksplorasi dan produksi tahun
lalu yang hanya AS$ 145 juta. Adapun yang $ 250 juta itu akan
digunakan untuk pencarian minyak baru dan menggali dari yang
sudah ada (secondary recovery).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini