SEMUA orang tahu, aturan dibuat untuk ditaati. Dalam olahraga
bridge aturan pokok itu tersimpul di dalam Law of Duplicate
Bridge 1975, yang dikeluarkan oleh Federasi Bridge Dunh. Soal
teknis bermain bridge termasuk sanksinya, lengkap di sana.
Di semua negara, aturan ini sudah dijalankan dengan ketat.
Setiap olahragawan bridge memahami dan mengikutinya secara ketat
pula. Tak heran, setiap saat terdengar panggilan agar Pimpinan
Pertandingan mendatangi tempat berrnain, karena ada sesuatu
masalah pelanggaran. Dan Pimpinan Pertandingan selalu datang
dengan membawa buku aturan itu. Bila yang melanggar aturan tidak
dapat menerima keputusan pimpinan, maka ia boleh mengajukan
keberatan kepada Panith Arbitrase sebagai instansi tertinggi
yang segerai akan meradili pelanggaran itu. Putusan akhir dari
Panith Arbitrase nantinya sudah mengikat.
Akan tetapi di Indonesia, aturan itu masih dianggap semacam
embel-embel. Bila terjadi pelanggaran, sering diselesaikan
sendiri, tanpa memanggil Pimpinan Pertandingan. Akibatnya,
kesadaran untuk mentaati aturan tidak pernah dikendalikan dengan
baik. Selalu berusaha mengambil "kebijaksanaan". Soalnya jadi
susah memang. Faktor "ketimuran" lebih kuat. Bahkan Pimpinan
Pertandingan pun di dalam mengambil sikap, tidak bermaksud untuk
mendidik pemain agar mentaati aturan yang berlaku.
Jadi, soal protes dalam olahraga bridge Indonesia seakan masih
dianggap nomor dua. Kebijaksanaan selalu didahulukan. Akibatnya
tentu saja akan merugikan, bahkan tidak mendorong perkembangan
bridge.
Demikianlah, ketika Regu Nasional Pria berhadapan dengan Regu
Selandia Baru, telah terjadi sesuatu yang benarbenar memaksa
kita untuk mentaati aturan. Ceritanya beginf. Waluyan memegang
distribusi kartu: S -- AQ1098752, H -- 10 D -- 87 dan C-K8. Dan
membuka penawaran dengan 3H. Artinya ialah meminta transfer ke
3S. Alex Franzs yang duduk di Selatan berfikir cukup lama.
Tentunya ia berfikir untuk menuruti 3S atau langsung ke .4S.
Setelah agak lama, ia cuma menutup 3S. Tanpa fikir lagi Waluyan
menutup 4S. Serta merta Paul Marston mengajukan protes.
Pimpinan Pertandingan segera datang dan setelah mengetahui duduk
soal, menyuruh mereka memainkan papan tersebut. Lead QD, di mana
akhirnya kontrak lebih satu dan skor untuk Indonesia dicatat
plus 650. Di ruang tertutup lawan menutup kontrak 4S tidak
lebih, di mana Selandia Baru memperoleh plus 620.
Setelah setengah session, Pimpinan Pertandingan memutuskan bahwa
kontrak yang sah menurut aturan ialah cuma S. Sehingga Indonesia
memperoleh 200 saja dan kalah 420 alias 9 Imp. Atas putusan ini,
NPC (Kapten Tak Bermain) Indonesia. Rimbuan mengajukan protes
kepada Panitia Arbitrase. Walaupun dalam hati kecilnya Rimbuan
sudah tidak berminat mengajukan protes.
Yang jadi problim di sini ialah bahwa setelah Franzs lama
berfikir, apapun tawaran Franzs, Waluyan mesti pas. Sedangkan
menurut Waluyan, ia sendiri sudah dari semula menginginkan
kontrak 4S. Akan tetapi konvensi mereka tidak mengijinkan
penawaran yang demikian. Dan semua pemain baik lawan langsung
maupun pemain dari Australia, Jepang dan Taiwan mengatakan bahwa
bagaimana pun kontrak itu mesti 4S. Susahnya, mengapa setelah
Franzs lama berfikir Waluyan masih juga menawar?
Protes Indonesia yang disampaikan kepada Panitia Arbitrase
kemudian disidangkan, dengan memanggil yang bersangkutan dan
membahas aturan yang berlaku. Panitia ini akhirnya memutuskan
menolak protes Indonesia. Dan menerima keputusan yang telah
diambil oleh Pimpinan Pertandingan. Keputusan ini mengikat dan
tak dapat digugat lagi. Kecuali diajukan ke Federasi Bridge
Dunia.
Begitulah nyatanya, sebab secara etik, Waluyan memang salah.
Walaupun semua menyadari bahwa kontrak akhir itu adalah wajar
dan semua tahu bahwa Waluyan punya itikad baik, toh aturan
tetaplah aturan. Waluyan tahu aturan uni. Ia menerima putusan
itu. Jika peristiwa ini terjadi di Indonesia, konsensus umum
seolah-olah berkata: "Ala, itu sih soal kecil dan kontraknya pun
toh sama. Sudahlah, atur saja". Konsensus ini diterima, yang
justru salah.
Mengapa Franzs lama berfikir? Ia pegang distribusi S-K, H --
AQ87, D -- K9874 dan C -- 984 dan sedang mmpertimbangkan kontrak
4S, tanpa berfikir lama apahahwaluyan punya nilai lebih? Franzs
tak salah. Sebab ia berfikir ke arah yang baik. ang salah ialah
konvensinya yang memaksa Waluyan tidak bisa menawar di 4H untuk
ke 4S. Karena syaratnya haruslah solid. Franzs berfikir bahwa 6
lossers, Waluyan tidak bisa diselamatkan. Seandai AQ dari D
berada di kirinya daAQ dari C berada di kanan.
Suatu malam ketika kami sempat latihan di Auckland Bridge Club,
lawan saya telah melakukan suatu pelanggaran di mana seharusnya
Utara yang lead, tapi Selatan ambil alih lead. Saya sebagai
declarer waktu itu, menganggap kesalahan itu tidak prinsip Sebab
permainan sudah mendekati akhir kartu dan justru tidak merugikan
serta tidak menguntungkan saya. Artinya: tak ada problim. Lawan
saya itu justru minta dihukum yang menurut aturannya memang ada.
Saya bilang sudahlah, karena toh tidak berpengaruh bagi saya. Ia
tak puas dan memanggil Pimpinan Pertandingan. Oleh pimpinan
pertandingan ia dihukum, hukuman mana tidak ada soal dengan
saya.
Saya hanya berfikir, mereka tahu akan aturan. Dan mentaatinya.
Mentaati inilah yang belum kita lakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini