ADA kabar baik untuk para produsen rokok yang tergolong dalam kategori K. 1000. Terhitung 1 Juli 1990 pabrik yang berproduksi di bawah tiga juta batang sebulan ini dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN). Hal itu tertuang dalam surat keputusan Menteri Keuangan nomor 605/KMK 04/1990. Di situ disebutkan bahwa pengusaha rokok kecil digolongkan sebagai pengusaha tidak kena pajak. Sedangkan PPN untuk pengusaha rokok non-K. 1000 dinaikkan dari 7,7% menjadi 8,2% -- naik 0,5%. Jelaslah kini, pemerintah menerapkan subsidi silang di kalangan industri rokok. Ini juga dikemukakan oleh Bacelius Ruru, Kahmuas Departemen Keuangan. "SK ini bertujuan untuk melindungi pengusaha rokok lemah, yang rata-rata merupakan industri padat karya," begitu alasannya. Apalagi, selain nilai PPN-nya tidak seberapa besar -- hanya Rp 123 juta dari total PPN 1989-90 yang Rp 6,5 trilyun -- pabrik rokok kecil ini diperlakukan kurang adil. Buktinya, pabrik besar diperbolehkan mencicil PPN-nya dalam waktu dua bulan, tapi pabrik kecil diharuskan membayar tunai. Keputusan ini disambut hangat oleh si kecil. "Kebijaksanaan ini merupakan tindakan yang tepat, sebab beban yang kami pikul selama ini -- terutama cukai -- sudah cukup berat," kata Soeherman Tjondrokoesoemo, Direktur PT Karnia Niaga Bersama, yang memproduksi Grendel. Soeherman mengusulkan, sebaiknya pabrik kelas menengah pun memperoleh pembebasan PPN. Ini tampaknya bukan usul yang mengada-ada. Beberapa pengusaha rokok menengah, yang dihubungi TEMPO, menyatakan hal serupa. "Kenaikan PPN 0,5% sudah cukup merepotkan kami," ujar Kawit Subagio, pimpinan pabrik rokok cap Pompa Kudus, yang sebulannya memproduksi 10 juta batang. Tak pelak lagi, di samping si kecil, yang bisa menerima SK ini hanyalah raksasa kretek, seperti Gudang Garam, Djarum, Boentoel, dan Sampoerna. Bahkan Putera Sampoerna, Presdir PT H.M. Sampoerna, menyarankan agar pabrik besar tidak ikut-ikut mematikan yang kecil, dengan memproduksi rokok untuk kalangan bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini